14 Back Home

"Aku ke sini untuk menghabisi mereka dan sama sekali tidak tertarik dengan keabadian yang kau punya." Leona berucap tegas.

Matanya terpaku lurus melihat  sang naga yang juga menatapnya. Meski ukuran tubuh mereka terpaut besaran yang berbeda, hal itu tak membuat Leona gentar.

Gadis itu masih saja menatap dalam keheningan, sampai pada akhirnya dia memilih untuk mengalihkan pandangan ke arah lain.Ya, Leona benar-benar tak mau berurusan dengan sang naga ataupun mati konyol karena terpanggang napas apinya. Dia ingin secepatnya keluar dari tempat ini dan kembali ke Nort Vale.

"Baru kali ini aku melihat ada seorang manusia yang tak tertarik dengan keabadianku?" batin si naga yang bisa di dengar Leona.

Kepalanya seketika tertoleh dan melihat kembali ke arah naga dibelakangnya.

"Aku hanyalah seorang siswa yang tersesat dan bukan orang yang serakah," balas Leona.

"Jika aku menginginkan sesuatu, mungkin hanya sebuah cinta. Kau tahu tuan naga, bahkan keabadian yang kau miliki akan kalah dengan setitik cinta yang diberikan oleh orang-orang yang kau sayang." Naga hitam itu tertegun.

Ia masih tidak percaya jika ada manusia yang menolak mentah-mentah keabadiannya. Kebanyakan para manusia berlomba-lomba untuk mencari dan membunuh dirinya, hanya untuk mendapatkan sebuah keabadian, yang pada kenyataannya menyiksa dirinya sendiri.

Memang, naga hitam itu termasuk hewan yang hidup dan tinggal sendirian. Mereka mencari sebuah tempat terpencil untuk akhirnya dijadikan sarang. Selain suka menyendiri, naga hitam juga tergolong hewan yang sangat arogan dan mudah sekali marah. Hal itu yang membuat mereka dijauhi oleh kelompoknya sendiri. Bahkan terasing.

"Menarik! Baru kali ini aku bertemu dengan seorang manusia yang bisa mengerti ucapanku," ujar sang naga.

Leona menatap sang naga sekali lagi. "Apa maksudmu?"

Bukannya menjawab, naga itu malah mendekatkan kepalanya ke arah Leona. Ditundukkan kepala si naga sedikit sebelum kembali berujar, "Tuan. Aku ingin kau mengangkatku jadi hewan pelindungmu."

Mata Leona membuka lebar, reflek kakinya langsung mundur beberapa langkah ke belakang. Dia benar-benar tahu apa maksud sang naga.

Hewan pelindung? Leona bahkan tak pernah membayangkan bisa memilikinya sendiri, apalagi untuk ukuran seekor naga hitam yang hampir punah ini. Seharusnya, Leona tak memiliki hewan pelindung karena dia bukan penduduk asli Nort Vale.

"A-ku tidak bisa!" ucap Leona lantang.

Naga hitam itu terkekeh pelan sembari mengitari tubuh Leona. "Apa kau takut denganku?"

"Aku tidak takut," ujar Leona.

"Lantas, kenapa kau menolakku?" tanya si naga mulai penasaran.

Ia masih mengitari tubuh Leona yang masih diam dan tetap tenang di tempatnya berpijak. Berbeda jauh dengan para pemburu yang akan langsung lari terbirit-birit jika bertemu dengannya.

"Karena aku tidak mempercayai apapun selain diriku sendiri di dunia ini." Leona berujar sembari menatap lurus ke arah si naga.

Tertawa keras, naga itu langsung menjatuhkan dirinya di depan Leona. "Kalau begitu mari kita buat kesepakatan."

"Kesepakatan?" tanya Leona.

"Ya, kesepakatan yang bisa mengikat satu sama lain," ujar si naga.

©©©

"Berapa lama kalian menungguku?" tanya Leona pada lelaki elf dan si badan kekar. Sesaat setelah keluar dari dalam gua.

Pria berbadan kekar itu menoleh. "15 menit."

Leona hanya ber-oh ria seraya melepas ikatan si pria kekar. Bukannya dia tak menggubris ucapan tadi, hanya saja pria kekar itu sudah terlalu lama terikat di luar. Ya, Leona masih punya rasa simpati untuk tak menyeretnya seperti budak.

"Jika benar kau penduduk asli Frozen Sea, lantas mengapa masih memerlukan calstone?"  tanya Leona berbasa-basi.

Ia ingin mengorek sedikit informasi tentang batu sihir itu.

"Sebenarnya aku hanya berjaga-jaga membeli batu itu supaya bos tidak curiga." Alis Leona menaut, masih tidak mempercayainya. "Eum, sekaligus untukku sendiri.

"Dengar nona, meskipun aku penduduk asli Frozen Sea, tapi mereka sudah mengusirku dari tanah kelahiranku sendiri. Dan jika seseorang yang telah terusir keluar, maka dia memerlukan calstone untuk bisa kembali masuk." Leona menggangguk paham.

Ia lantas menepuk bahu si kekar untuk memberikan semangat.

"Apa kau masih punya keluarga?" tanya Leona.

Si kekar hanya menunduk sebelum pada akhirnya mengangguk lesu. Jika boleh jujur dia begitu merindukan keluarganya. Sungguh.

"Dari ekspresi wajahmu, sepertinya masih ada. Ayo, kita temui mereka sembari mencari baju yang lebih layak untuk elf ini."

Ajak Leona pada si pria kekar. Gadis  itu berjalan gontai di depan sembari tersenyum tipis ke arahnya.

"Lelaki kecil itu sulit sekali ditebak!" monolog si kekar mengamati bocah lelaki berambut putih yang tengah tersenyum sembari mengelus puncak kepala lelaki elf.

©©©

Setelahnya mereka bertiga kembali menuju Cryos Forest sebelum akhirnya sampai di pasar raya Frozen Sea. Si kekar bilang tempat tinggalnya tidak jauh dari pasar raya. Hanya perlu berbelok ke beberapa gang kecil.

Di pasar raya mereka mampir sebentar untuk membeli baju lelaki elf. Selain karena pakaiannya yang sudah tidak layak pakai, Leona juga ingin supaya orang-orang tidak mengenali pria elf itu. Gadis itu sengaja memilih jubah hitam yang cukup besar untuk menutupi telinga runcing pria elf.

Barulah setelah membeli pakaian, mereka sampai di rumah si pria kekar. Rumah itu berukuran kecil minimalis. Di depan rumahnya ada pandai besi yang sudah lama tak di gunakan.

Mungkin dulu pria berbadan kekar itu seorang pandai besi, pikir Leona.

"Aku tidak yakin." Pria kekar itu menghentikan langkahnya. Tubuhnya ia balikkan ke arah lain lagi bersiap untuk pergi.

Leona tahu, mungkin saja pria ini malu untuk bertemu keluarganya. Meskipun sebenarnya ia sangat rindu.

"Hey, bung. Kau belum mencobanya, siapa tahu selama ini mereka menunggumu untuk pulang juga," ujar Leona.

"Ta-tapi jika aku di sini, waktuku juga terbatas karena masa calstone yang hampir ha-"

"Batu itu tidak berfungsi padamu," potong lelaki elf.

Suaranya begitu pelan namun masih bisa di dengar Leona dan pria kekar. Elf itu mengambil calstone yang sengaja di gantung di celana pria kekar, lalu menaruhnya di atas telapak tangannya sendiri. "Lihat, batu ini tidak bercahaya."

"Bagaimana bisa? Padahal aku sudah-"

"Itu berarti, kau diberi kesempatan kedua untuk tinggal. Sudahlah jangan hiraukan batu itu. Bukankah kau begitu ingin bertemu mereka?" tukas Leona saat melihat seorang wanita keluar dari rumah kecil itu dan melihat mereka bertiga haru.

Matanya berkaca-kaca dan pandangannya lurus menatap pria kekar di samping Leona. Mulutnya menganga tak percaya sembari berucap, "Jeff. Apa ini sungguh kau?"

Jeff--si pria kekar itu akhirnya menumpahkan rasa rindunya yang sudah lama menumpuk. Dibawanya kaki itu berlari ke arah sang istri lalu memeluknya erat. Ia benar-benar merindukan keluarga kecilnya.

"Maaf, maafkan aku yang sudah begitu lama pergi meninggalkanmu sayang." Istri Jeff hanya menggangguk kecil sembari terisak pelan.

Melihat hal itu Leona hanya bisa tersenyum sembari menyenggol lengan lelaki elf untuk pergi dari sana. Dia merasa jika sudah tidak ada lagi urusan di tempat ini. Namun sebelum pergi Jeff mencegahnya.

Buru-buru dia menghadang  di depan Leona.

"Kalian mau kemana?" tanya Jeff.

"Melanjutkan perjalanan," ujar Leona.

"Kalian tidak ingin mampir terlebih dahulu?" tawar Jeff. Alisnya terangkat satu dengan tatapan memohon.

Leona hanya tersenyum sembari menepuk bahunya. "Lain kali saja, aku masih ada urusan untuk mengantarkan pria elf ini pulang dan kembali ke rumah."

"Baiklah," balas Jeff lesu.

"Kalau begitu aku pergi dulu."

"Tu-tunggu!" cegah Jeff. "Aku belum mengucapkan terima kasih dan tahu siapa namamu."

Leona menghentikan kakinya lalu menoleh, ke arah Jeff.

"Leon. Kau bisa memanggilku begitu. Ah, satu lagi bolehkah ku minta calstone itu?"

Jeff mengangguk lalu memberikan batu berisi mana sihir itu pada Leona.

"Terima kasih, akan kujaga batu ini sebagai kenang-kenangan. Sampai jumpa," ujar Leona.

Setelah mengatakan itu, sosoknya lenyap di telan gang pasar menyisakan Jeff dan istrinya yang tersenyum seraya melambaikan tangan di udara.

"Jadi namanya Leon? Aku akan mengingat namamu baik-baik kawan," gumam Jeff senang.

avataravatar
Next chapter