1 Hari Pertama

Malam, 31 Desember, didampingi dengan tawa ria orang-orang berselebrasi menyambut kedatangan tahun baru, empat saudara sedang berjalan pulang setelah membeli berbagai makanan dan minuman ringan dari minimarket. Merayakan tahun baru bersama merupakan tradisi yang tidak pernah dilupakan mereka berempat. Berbincang, bercanda, dan bermain sangatlah cocok serta memuaskan sebagai aktivitas untuk menutup tahun.

"Ah, lupa beli permen!" Sahut Arto tiba-tiba.

"Permen banyak di rumah; males gw ngantri lagi, rame banget tadi," kata Wahyu.

"Bodrex bukan permen, anjir."

Arto dan Wahyu, dua bersaudara yang sering mengadu kepala layaknya anjing dan kucing. Wahyu, sebagai kakak, dengan rambut keriting yang tidak dirawat dan perawakan tinggi, selalu berusaha untuk menahan emosinya dari tingkah onar adiknya. Dan Arto, sebagai adik, dengan rambut terawat yang tidak se-keriting kakaknya dan badan yang cukup proporsional, seringkali berlaku jahil karena senang melihat reaksi kakaknya.

"Lu ngemut ini aja, mas," kata Seno sambil menyuguhkan batu ke Arto.

"Ga usah, gapapa," kata Arto sebelum menyambung, "ga tega gw ngambil makanan anak kurang gizi."

Seno melempar kerikilnya ke muka Arto, dan ia dibalas dengan pukulan ke punggungnya. Anak yang duduk di bangku SMA itu hampir terpingkal kedepan karena badannya yang kurus dan gesit tidak kuat menahan tamparan kakak sepupunya. Steven, adiknya Seno, tertawa kecil melihat kakaknya meringis kesakitan. Perutnya yang sedikit chubby itu bergerak selagi dia tertawa; cukup normal untuk anak SMP yang masih melalui masa pubertas. Mereka berdua adalah sepupu Arto dan Wahyu yang sering berkunjung hari-hari libur bersama.

"Aduh, sakit kali lah kau mukulnya, binatang!" Kata Seno.

"Yaudah gw tendang ya," balas Arto.

Wahyu, Arto, Seno, dan Steven melintasi pinggir jalanan yang beberapa jam sebelumnya penuh dengan orang berlalu-lalang. Tetapi, sekarang jalanan itu sepi lantaran orang-orang terlalu sibuk bergembira di rumah masing-masing. Cahaya dari dalam rumah beserta bayang-bayang penghuni yang sedang berpesta menemani empat saudara itu mengukuhkan suasana tahun baru pada hati mereka.

Namun kebahagiaan tersebut berhenti seketika saat listrik padam. Sorakan gembira berubah menjadi gemuruh kebingungan dan keluhan akan inkompetensi PLN, tanpa menyadari bahwa yang terjadi saat itu sudah di luar tangan negara, bahkan dunia.

"Kak Seno, coba nyalain senter HP," kata Steven.

"Ah elah, baru juga mau party-party," gerutu Seno sambil menyalakan senter HP-nya.

"Mana ada 'party-party' make kacang, soda, sama kentut," sindir Arto.

Senda-gurau mereka terputus oleh getaran besar dari tanah yang mereka pijak. Terdengar lolongan kencang dari kejauhan seakan bumi sedang teriak kesakitan, meminta tolong ke siapapun yang mendengarnya. Jalanan yang sudah mendampingi begitu banyak pengemudi selama bertahun-tahun retak, pecah, dan terbelah.

Keempat saudara tersebut kocar-kacir; mereka berlarian tunggang-langgang di atas bumi yang sulit dipijak, menghindar dari retakan-retakan yang muncul, takut akan kemungkinan tertelan bumi. Belanjaan mereka sudah jatuh, berserakan dimana-mana. Gempa sebesar ini jauh lebih mengerikan dibandingkan kehilangan beberapa ribu-rupiah. Tidak masalah misalkan makanannya berhamburan dan penyek tertimbun aspal. Asal masih hidup, makanan bisa dibeli lagi!

Tak lama kemudian gempa mereda. Namun, keempat saudara yang berserakan di tengah jalan itu masih belum bisa beristirahat, lantaran mereka harus menghindari cairan kental yang memancarkan cahaya biru dan meluncur keluar dari belahan serta retakan di jalanan, layaknya lahar yang dimuntahkan gunung berapi. Lahar dingin itu menjulang ke atas dari berbagai arah, membentuk sebuah tembok biru yang mengalir namun diam secara bersamaan.

"Anjir, apaan ini? 2012 kan udah lewat, kok kiamat lagi?" Kata Arto sambil terengah-engah.

"Dik, liat itu," kata Wahyu sambil menunjuk ke arah tembok, "Kayak ada kata-kata."

Di tengah tembok besar dan megah, muncul garis-garis yang menggeliat, membentuk huruf, menjadi kata, menjadi dua baris kalimat.

Dia yang ragu kan membatu,

Dia yang berani kan abadi,

"the fuck?" ujar Arto, "itu kayak-"

"Gate! Ada gate asli dari manhwa!" Seno bersorak gembira dengan suara melengking, "ayo kita masuk, mas!"

"Kalau itu emang 'gate' seharusnya kita ga masuk, bodoh."

"Tapi baca tuh, 'dia yang ragu kan membatu, dia yang berani kan abadi.'" Seno berkata, "lu mau jadi batu apa immortal, mas?"

Kedua kalimat itu menggeliat lagi, kembali menjadi garis-garis yang terus bergerak dan membentuk dua kalimat baru.

Ambillah satu langkah,

Dunia kan kau ubah!

"Kak Seno mau masuk?" tanya steven, "Steven ikut deh kalau gitu."

"Lu gimana, dik?" kata Wahyu, "masuk apa engga nih?"

Arto mengernyit kesal, saudaranya terlalu fokus terhadap hadiah yang mungkin didapat sampai lupa kalau tidak ada yang gratis di dunia ini. Tembok yang datang entah dari mana tidak mungkin mengajak orang yang melihatnya untuk "melangkah masuk" tanpa ada gimmick di dalamnya, terlebih ajakannya menggunakan kata-kata manis dalam rupa puisi.

"Cupu lu, mas," sindir Seno sembari berjalan mendekati tembok biru itu, "lu disini aja dah, kita ae yang masuk."

Berdiri di depan tembok yang menjulang ke atas dengan tinggi lebih dari lima lantai sangatlah berbeda dibandingkan dengan melihatnya dari kejauhan. Cahaya biru yang dipancarkannya menutup keanehan dari cairan yang terus menggeliat dan mengalir di seluruh permukaan tembok itu. Semakin dekat seseorang dengan tembok itu maka akan semakin besar juga rasa tidak nyaman yang dialaminya. Keempat saudara itu tidak terkecuali, terlebih Seno yang mendekat ke tembok.

Seno mencoba untuk menyentuh tembok biru yang berdiri tegak itu; tangannya masuk dan tertelan cairan kental yang menggeliat tanpa henti. Kulit Seno yang tertelan terasa hampa, tanpa dingin maupun panas, tetapi masih bisa digerakkan seakan tangannya hilang dan ada secara bersamaan. Sontak dia mengeluarkan tangannya dan menjauh dari tembok.

Untungnya tangan Seno tidak kenapa-kenapa. Kehampaan yang dirasakannya menghilang, terisikan dengan dinginnya malam dan hangatnya darah yang mengalir di dalam tubuhnya.

Pandangan Seno kembali ke tembok itu. Kehampaan yang dia rasakan masih menghantui benak pikirannya bak benalu yang terus menempel tanpa izin. Memasuki tembok itu saja sudah menyeramkan, apalagi tantangan yang harus dilaluinya nanti.

Tapi dibalik tembok itu ada dunia baru, dunia yang sebelumnya hanya bisa ditemukan di fiksi. Dunia yang hanya ada di kepala para penghayal sekarang sudah ada di depan mata, terhalang oleh anomali berupa tembok besar. Harta karun yang disimpan dunia itu melebihi seluruh uang yang ada di bumi: kekuatan yang melawan hukum dunia. Siapa yang tidak tergiur akan kemungkinan harta karun seperti itu?

Seno, tangannya bergetar ketakutan, keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya, dan napasnya pendek terengah-engah. Tetapi senyum antisipasi atas harta yang hendak dia dapatkan tidak hilang dari wajahnya.

Terus kenapa kalau menyeramkan? Terus kenapa kalau berbahaya? Terus kenapa kalau ada kemungkinan tidak bisa kembali lagi? Dia Seno, impiannya sudah di depan matanya, dan ia hanya perlu memotong benalu yang mengikat rasa takut di benaknya untuk menggapai harta itu.

"Fuuuuuuck!" Seno berteriak sembari berlari ke tembok. Dia melompat dan memasuki cairan biru itu. Dan tak lama kemudian Steven mengikutinya.

"Ah terpaksa lah," Arti mencibir dan mengacak-acak rambutnya. "Ayo kita masuk, cuy."

Arto dan Wahyu meluncur masuk ke dalam gerbang ke dunia baru, mengikuti kedua saudara mereka. Sungguh malang nasib keempat saudara itu, apabila mereka berhenti dan berpikir sejenak lebih lama maka mereka dapat menghindari tragedi yang menunggu dibalik tembok biru.

Siapapun yang memasuki cairan biru akan merasakan kehampaan seakan-akan eksistensi mereka sebagai makhluk yang hidup di dunia ini dicuri. Pandangan mereka diisi putih, putih, dan putih yang diiringi dengan rasa mengambang dalam alam mimpi, sirna akan segala "keadaan". Arto, Steven, Seno, dan Wahyu mengalami hal yang serupa, dan setelah melewati sekian waktu, pandangan mereka digantikan dengan kegelapan.

"Kak Seno?" Steven berkata, "loh suara Steven udah balik."

"Eh gelap banget," kata Arto, "ayo absen."

"Steven hadir."

"Wahyu hadir," kata Wahyu sebelum diikuti keheningan.

"Seno?" Arto memanggil, "Seno ga ada?"

"Kak seno?" Steven, khawatir akan kakanya, beranjak dari duduknya, tetapi tertahan oleh suatu objek di depannya "aduh, apaan nih? Meja?"

"Woi Seno," Wahyu menyahut marah, "ga lucu bercanda kayak gini!"

Terdengar suara rintihan dari salah satu sudut ruangan. Lolongan kecil dari makhluk di sudut meresap kedalam tulang mereka, mengirim ketakutan pada tiap sendi dan meremas jantung bagi yang mendengarnya.

"Aduuh..." makhluk itu mengerang, "pengen boker gw."

"Ga sekalian mati aja lu, bodoh?!" sahut Arto kesal.

"Sumpah, ini gw udah di ujung tanduk," kata Seno sambil meringis, "gw rileks dikit kayaknya bakal meleber semua."

Steven meraba-raba objek di depannya selagi kedua saudaranya sedang bercekcok. Tekstur dari objeknya kasar dengan goresan-goresan tipis yang meninggalkan cerita tak tertulis dari pemiliknya. Serat-serat yang sudah mulai lapuk mengenang sejarah objek itu melayani tuannya selama bertahun-tahun, dan ketiadaan dari debu membuktikan bahwa ia masih melayani tuannya sampai saat ini. Terdapat lubang di bawah permukaan objek yang dapat menempat dua atau tiga buku.

"Iya ini meja," kata Steven, "meja sekolah yang ada lokernya gitu."

"Oh iya ya," kata Arto, ikut meraba objek di depannya. "Jadi kita ini di kelas?"

"Dih sok tau, emang lu pernah sekolah?" celetuk Seno.

"Bentar dulu deh, jangan ada yang kemana-mana." Wahyu menyela, ia mengedipkan matanya berkali-kali. "Mata kita bisa adaptasi, tunggu satu menitan."

Setelah beberapa saat berlalu, terlihat sebuah ruangan besar berisi bayangan-bayangan hitam menyerupai kursi dan meja yang berbaris rapi. Di dinding depan kelas ada papan tulis kapur, bukan papan tulis yang sering dipakai di sekolahan zaman sekarang, dan sebuah meja guru. Sebelah kiri kelas ada jendela-jendela yang tertutup rapat; di luar jendela itu terdapat kegelapan yang sangat pekat tanpa adanya tanda-tanda pancaran cahaya sedikitpun. Samping kanan kelas terdapat jendela-jendela serta pintu tertutup.

"Shit... mengkanya tadi gw bilang jangan masuk tempat aneh-aneh," kata Arto sambil menghela nafas panjang, "sekarang kita harus-"

"Ah gila bau apa itu," seru Wahyu. "Seno, lu beneran berak ya?"

"Kagak, sumpah demi dah!" Seno menjawab sambil membentuk huruf 'v' dengan jarinya.

"Terus ini bau apa, anjir?!"

Lantai kelas memiliki retakan-retakan yang tidak wajar, seakan lantai itu sudah hancur sebelumnya lalu buru-buru dibenarkan. Bau yang tidak sedap keluar dari sela-sela retakan itu, bau busuk, apek, dan amis yang menyengat hidung.

"Bukan bau tinja gw ini," Seno mengendus udara dengan seksama. "Apa ya... kayak familiar."

"Bau darah," kata Arto, "ini mirip bau darah. Kalau di pasar ada yang motong ayam, baunya kayak gini."

"Ada yang motong ayam di sini?"

"Lu beneran sekeluarga ga sih sama gw? Kayaknya lu kekurangan kromosom deh."

"Lah, yang ada gw kelebihan kromosom lah!"

Kriiit! Kriiiit! Kriiiiit!

Muncul tulisan-tulisan pada papan hitam di depan kelas, diiringi dengan suara bising yang menyayat telinga. Suara yang begitu tajam seakan merembes masuk ke kepala dan menggaruk-garuk kasar otak.

Keempat saudara itu sontak menutup telinga, berusaha melindungi gendang telinga mereka dari serangan suara melengking. Tetapi tidak peduli seberapa kencangnya mereka menekan tangan ke telinga, tetap ada suara yang terselip masuk lewat sela-sela jari mereka.

"Bangkeee, apa lagi ini?" kata Wahyu sambil menahan nyeri di sekujur tubuhnya.

"Ini semua salah lu, mas," Seno menunjuk Arto, "lu ngapain sih ngajakin masuk ke gate?!"

Arto mengabaikan kebodohan sepupunya dan terus mengamati papan tulis. Setelah melewati penderitaan selama beberapa saat, suara itu berhenti bersamaan dengan terbentuknya satu kalimat di papan tulis.

Temukanlah aku yang tertimbun waktu.

"Aduh, ga ngerti gw," kata Arto sambil mendekati papan tulis.

"Coba gw liat," kata Seno.

"Kalo gw ga ngerti, apalagi lu."

Mereka berempat berbarengan mendekati papan tulis, mencoba mengerti dari kalimat yang muncul. Juga mencari petunjuk-petunjuk yang mungkin ada di sekitar papan tulis, tetapi sayangnya tidak mendapatkan satupun petunjuk; papan tulis hitam itu hanya berisikan satu kalimat dengan tulisan tangan yang menyerupai ceker ayam.

DUAR!

Pintu kelas tiba-tiba terbuka kencang dengan suara yang menggelegar, mengejutkan penghuni kelas. Angin berhembus masuk ke dalam dan menyerbu keempat saudara dengan dinginnya yang membekukan.

"Kita disuruh keluar tuh," kata Arto, "sana gih keluar, Seno."

"Dih ga mau," Seno mencibir. "Lu lah yang keluar, mas. Badan doang gede, nyali kagak ada."

"Udah, udah," Wahyu menyela dan memposisikan dirinya di antara Seno dan Arto. "Kalian berdua berantem mulu sih. Mending kita di dalem aja, ga usah keluar-keluar; lagian belum tentu pintu kebuka artinya harus keluar kan?"

"Tapi mau diem disini sampai kapan, cuy?" Arto menunjuk ke papan hitam. "Ini soal," dia menunjuk ke pintu, "itu clue. Terus di luar mungkin ada jawabannya."

Perdebatan mereka terus berlangsung sampai akhirnya Steven menyarankan, "gimana kalau hompimpa aja?" Mungkin agak gegabah menggunakan permainan anak-anak untuk menentukan siapa yang harus menjelajahi kegelapan dengan visibilitas tidak melebihi dua meter, tapi apa boleh buat? Lantas, setelah beberapa ronde, akhirnya ditentukan bahwa yang kurang beruntung adalah Steven; tragis sekali nasibnya.

"Parah lu, Seno." Arto menyikut punggung Seno. "Masa lu numbalin adik lu."

"Yakin mau keluar, Steven?" Seno cemas, pandangannya tertuju ke pintu. Dia lanjut sambil sedikit mengesah, "atau kak Seno aja deh yang keluar."

"Gapapa, Steven aja yang keluar." Steven beranjak mendekati pintu. Udara dingin yang menusuk tulang berhembus; sekarang terasa lebih jelas saat dia di depan pintu. Terdapat dua jalur, kiri atau kanan, keduanya menuju ke sebuah lorong yang biasa ditemukan pada lantai atas gedung sekolah. Tembok setengah badan terlihat dari ujung ke ujung, berguna sebagai pembatas agar siswa tidak jatuh dari ketinggian. "Eh... tapi nanti kalo ada apa-apa Steven minta tolong ya."

"Cuy, temenin gih, " bisik Arto ke Wahyu. "Dia ga bakalan mau kalau Seno yang nemenin."

"Yaudah deh," Wahyu menghela nafas panjang. "Steven, Mas Wahyu temenin ya."

"Eh, yakin gapapa?"

"Iya gapapa, ayo kita barengan aja keluarnya."

Lantas Wahyu dan Steven keluar, meninggalkan kedua saudaranya di dalam kelas untuk mencari jalan keluar dari kegelapan itu. Mereka yang ditinggal bertatapan sejenak hingga salah satunya bertanya, "terus ngapain kita disini?"

"Tuh," Arto menunjuk ke pojokan kelas. "Ayo kita ngumpet di situ. Misalkan nanti ada monster, kita ga bakal keliatan di belakang sana."

Wahyu dan Steven berjalan perlahan melalui koridor, berusaha agar tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Selain dari kegelapan yang mengelilingi mereka, koridor itu tidak jauh beda dari koridor biasanya. Tentunya, dengan koridor panjang, sudah pasti ada ruangan-ruangan lain yang terhubung, dan jika ada satu kelas maka akan ada kelas-kelas lainnya.

"Mas, liat itu di atas." Steven menunjuk ke sebuah papan kayu, bergelayutan di atas pintu terbuka. X IPS-3, terukir pada papan itu. Goresan-goresan tidak sengaja di permukaan papan menunjukkan bahwa pengukir bukan seorang profesional. Steven berbisik, "di dalam kira-kira ada orang ga ya, Mas?"

"Coba kita tes." Wahyu meraba-raba lantai, mencari sesuatu yang bisa di lempar ke dalam. Setelah sejenak, dia menemukan serpihan lantai yang bisa diangkat. Lantas dilemparlah serpihan lantai itu ke dalam kelas, melambung ke atas dan turun pas di kepala seorang wanita.

"Aduh," wanita itu terkejut terhantam suatu benda yang keras. Dia memegang-megangpelipisnya, tempat benda keras itu mengenainya. Tidak sakit, tapi terasa sedikit becek.

"Sayang, kamu gapapa?" Suaminya, seorang berbadan tinggi dan besar, hampit seperti Samson dari legenda, menatap istrinya dengan penuh kasih sayang. Tetapi setelah melihat pelipis istrinya dilumuri cairan merah, tatapannya berubah tajam, dan dia memandang ke arah pintu keluar. "Siapa itu?!"

"Eh, ada orang, mas." Steven kaget tiba-tiba ada yang teriak. "Kayaknya dia marah deh."

Laki-laki bertubuh Samson itu sontak berdiri saat mendengar ada yang berbicara, tetapi saat dia ingin merangsek maju, istrinya menahan dan berkata, "jangan emosi; aku gapapa kok."

Samson berhenti sejenak, mengambil nafas dalam-dalam dan membuangnya. Amarahnya sudah berkurang, tetapi bukan berarti yang melempar benda itu ke istrinya akan tenang-tenang saja. Paling tidak satu atau dua pukulan bisa meredakan api kekesalannya.

Pria berbadan besar itu pun berjalan ke pintu, hingga akhirnya dua orang terlihat sedang mengintip. "Kalian yang lempar batu?"

"Saya yang lempar batu," kata Wahyu. "Tadi cuma mau tau aja ada orang enggak di dalam. Sori kalo-"

"Batu lu kena kepala istri gw, tolol." Samson mendorong Wahyu dengan telunjuknya. "Lu udah gede kan? Ga bisa dipake otaknya? Ga mikir dulu kalo asal ngelempar bisa kena orang?"

"Ini namanya hati-hati; lagian di tempat kayak gini makhluk apa aja bisa muncul." Wahyu kesal dengan arogansi orang di depannya. Mentang-mentang badan gede bukan berarti dia bisa seenaknya memperlakukan orang. Jidat wahyu mengkerut, "ngapain sih marah-marah? Cuma batu kecil aja dilebih-lebihin masalahnya."

"Tau," celetuk Steven dari belakang Wahyu. "Mas Wahyu cuma hati-hati. Salah istri bapak yang ga menghindar."

Sebuah tamparan keras mengenai pipi Wahyu. Dia pun terjatuh diikuti dengan gema dari nyaringnya bunyi tamparan tidak diduga itu. Mukanya memerah, tetapi bukan karena barusan dia ditampar dan akhirnya meninggalkan bekas, melainkan karena kesal dengan Samson yang berlaku semena-mena dan ringan tangan.

"Bangsat lu berdua!" Hidung Samson kembang kempis, terengah-engah, berusaha menahan amarahnya. Tangannya dikepal, bergetar saking gatalnya ingin meninju Wahyu.

Mereka bertiga mulai beradu mulut. Kegaduhan mengisi koridor yang sepi. Samson marah istrinya disakiti dua anak kecil yang tidak mengerti sopan santun mengaung dan melemparkan segala macam umpatan. Wahyu dan Steven membalikkan umpatannya dengan berbagai alasan dan kecurigaan akan identitas Samson serta istrinya. Pertengkaran suara mereka menggema hingga terdengar oleh semua orang yang masih ada di kelas.

"Babe, kan aku bilang tadi jangan emosi." Seorang wanita keluar dari pintu kelas X IPS-3. Parasnya cantik dengan badan yang lebih tinggi dari standar wanita Indonesia, layaknya model yang lebih dari cukup untuk masuk kompetisi Miss Indonesia. Tetapi yang paling mengejutkan adalah perutnya yang besar; perut seorang ibu hamil lima bulan. "Aku beneran gapapa kok." Wanita itu memperlihatkan Samson pelipisnya yang tadi berlumuran darah. Pastinya Samson terkejut karena di pelipis istrinya tidak ada luka sama sekali, hanya bekas noda merah yang sudah mengering. "Kayaknya batu yang kena aku ada darahnya deh." Dia menyodorkan bongkahan ubin yang barusan dilempar Wahyu. Bongkahan ubin itu berwarna putih, layaknya ubin biasa, tetapi dibaliknya ada lapisan tipis dari cairan merah yang mulai mengering.

"Ada apa ya kok ribut-ribut?" Arto muncul dari kegelapan. Setelah mendengar kegaduhan dari luar kelas, dia dan Seno memutuskan untuk mencari tau apa yang terjadi, terlebih karena suara yang mereka dengar sangat familiar. "Loh, ada orang lain di sini?"

Pertengkaran mereda setelah kedatangan istri dari Samson dan dua saudara itu. Mereka pun mulai menceritakan awal mula pertikaian. Wahyu dan Steven menjelaskan tentang mengapa mereka melempar batu ke dalam kelas dan tirani dari Samson. Samson juga menjelaskan sisinya, menekankan bahwa istrinya adalah korban dari keonaran dua orang tengik bernama Wahyu dan Steven. Walaupun ketiga orang tersebut masih panas dan ingin berkelahi, paling tidak karena intervensi orang lain mereka masih adu mulut, bukan adu tinju.

"Maaf banget ya, Mba Rani," kata Arto ke istrinya Samson. "Emang kakak ku sedikit confrontational kalo nyelesain masalah."

"Aku juga minta maaf ya," Rani tersenyum tipis. "Sejak aku hamil, suami ku protektif banget jadi kadang kelewatan. Mungkin nanti kakak kamu juga bakal kayak gitu kalau sudah nikah." Dia tertawa kecil, mencoba meringankan ketegangan antara suaminya dengan dua saudara itu; senyumnya yang manis, dan sifatnya yang tidak kalah cantik dari wajahnya sangat membantu mencairkan suasana. Apabila dia bisa keluar dari tempat ini, pasti dia akan menjadi ibu yang baik.

Saat Arto dan Rani sedang berbincang, Seno celingak-celinguk melihat isi kelas X IPS-3. Arto sedikit bingung saat sepupunya mondar-mandir tanpa alasan, tapi dia teringat sesuatu dan berkata, "itu kelas, bukan toilet."

"Iya gw juga tau, anjir." Seno mengintip ke dalam kelas melalui pintu masuk, namun karena terlalu gelap dia tidak bisa melihat dengan jelas. "Mba, saya boleh masuk kelas ya? Penasaran soalnya."

Seno masuk setelah Rani meng-iya kan permintaannya. Kelas itu sama saja dengan kelas Seno tadi. Mulai dari jumlah deretan kursi hingga blackboard yang ada di depan kelas. Bahkan satu kalimat petunjuk juga terpampang di papan tulis, semua sama seperti kelas sebelumnya.

"Gimana? Nemu sesuatu lu?" Arto bertanya ke Seno yang baru keluar kelas. Seno menjawab hanya dengan mengangkat bahu. "I knew it... ga mungkin segampang itu kita dapetin clue."

"Terus harus nyari dimana lagi?"

"Ini koridornya masih bisa lurus terus loh." Wahyu yang sedang jongkok untuk istirahat menunjuk ke kegelapan. "Terus juga ada arah kiri dari kelas kita. Tinggal pilih salah satu, atau kita dibagi dua tim aja."

"Kalau dibagi jadi tim, gw ga mau sama dia," gerutu Samson.

"Gw juga ga mau sama orang kayak lu."

"Udah, udah cukup, jangan berantem lagi," kata Arto. "Kalau mau dibagi mending kita berempat aja-"

"Di sini buntu," suara perempuan memotong perkataan Arto. Terdengar hentakan nyaring antara sandal dengan ubin dari kegelapan. Seno yang kaget langsung masuk lagi ke dalam kelas untuk bersembunyi.

"Sori ya ngagetin, aku bingung mau ngenalin diri gimana pas kalian lagi seru banget ngobrolnya," kata perempuan dengan senyuman maafnya yang muncul dari kegelapan.

Perempuan itu memperkenalkan dirinya sebagai Dian, seorang dokter berumur 28 tahun yang baru saja menjalani pendidikan spesialis. Badan kecilnya yang ditutup dengan piyama, ditambah dengan kacamata bulatnya bak donat di mukanya membuat Dian terlihat imut.

Di belakang Dian ada lelaki yang tidak jauh lebih tinggi dari dia, tetapi itu karena posturnya yang jelek. Punggungnya yang membungkuk dan kulitnya yang pucat membuat dia terlihat murung, mungkin karena terlalu lama duduk di depan komputer dan kurang terkena sinar matahari. Adi namanya, adiknya Dian.

Dian dan Adi, bersama dengan dua adiknya yang lain, muncul di kelas X IPS-4. Berdasarkan yang Dian temukan, X IPS-4 adalah kelas terakhir karena di ujung hanya ada jalan buntu. Sebagai dua kakak tertua, mereka berdua memutuskan untuk mencari tahu sumber kegaduhan di luar kelas.

"Tadi sebenarnya kita berempat lagi nonton TV di rumah," kata Dian dengan senyum tanggung. "Tapi tiba-tiba ada gempa besar. Terus keluar cairan biru gitu dari tanah yang nyedot kita. Akhirnya kita disini deh."

"Kami juga begitu," sambung Rani. "Aku sama suami ku lagi duduk di trotoar habis gempanya reda. Tiba-tiba kami disiram cairan biru dari atas."

"Kalau kalian gimana?" Dian bertanya ke empat saudara yang sedang menyimak. "Pastinya ga jauh beda lah ya sama kita."

"Iya ga jauh beda, mba." Arto sontak menjawab. Tidak mungkin dia berani bilang mereka sebenarnya disini karena ulah satu anak yang gegabah ingin memiliki 'kekuatan.' Arto memandang tajam orang di sebelahnya sebelum berkata, "kita ga mungkin asal nyebur ke cairan aneh, mba. Masa iya ada yang sebodoh itu, iya kan, Seno?"

"Iya bener banget, mas." Seno menjawab cepat. Gercep mengganti topik, Seno bertanya Dian, "Mba di kelas ada tulisan-tulisan itu juga ga?"

"Tulisan? Oh, iya ada di papan tulis, sama kita juga dapet ini dari loker meja!" DIan menyuguhkan sebuah benda berbentuk bola. Warnanya hitam pekat, seperti sebuah lubang hitam yang meyerap segala cahaya di sekitarnya. "Dua adik ku yang di kelas masih nyari-nyari, siapa tau ada lagi benda kayak gini."

"Duh ga kepikiran cari di loker tadi," kata Arto. Dia melihat ke Rani, ingin tahu apakah Rani sudah mencari di loker atau belum, kemudian dibalas dengan Rani menggelengkan kepala. "Yaudah kalo gitu gimana kalo kita cari di kelas masing-masing?"

"Mas Arto, terus yang di situ gimana?" Steven menunjuk ke arah berlawanan dari kelas Dian. "Kan ada X IPS-2, X IPS-3, sama X IPS-4 jadi seharusnya ada X IPS-1 dong."

Betul kata Steven. Secara logika seharusnya ada X IPS-1 di ujung koridor itu, sama seperti adanya X IPS-4 di ujung koridor tempat Dian dan saudara-saudaranya berada. Tetapi ada sesuatu yang janggal dari kelas itu, dan yang merasakan itu tidak hanya satu orang saja.

"Jangan ke sana," kata Samson, mata tajamnya melihat ke arah kelas X IPS-1 yang dibalur dengan kegelapan. "Gw feeling-nya ga enak sama kelas itu."

"Iya, mending kita balik ke kelas masing-masing dulu buat cari benda kayak punya mba Dian." Arto mengangguk setuju dengan feeling-nya Samson. "Aneh mereka, tadi kita berisik di sini tapi ga ada yang keluar kelas."

Mereka kembali ke kelas masing-masing setelah mereka setuju untuk mengesampingkan dulu kelas X IPS-1. Walaupun sejujurnya Dian, sebagai calon dokter spesialis dengan rasa tanggung jawab yang tinggi, ingin mengikuti instingnya dan mencaru tahu siapa sebenarnya yang ada di kelas X IPS-1, argumen Arto juga ada benarnya.

Bukankah di tempat sream seperti ini orang akan mencari kawan yang bisa di ajak kerja sama? Lantas kenapa mereka berdiam diri saja di kelas setelah mendengar kegaduhan? Atau mungkin mereka takut karena kegaduhan di luar terdengar seperti perkelahian? Dan mereka tidak mau terjerat dalam perkelahian? Tidak ada yang tahu pada saat itu.

Akhirnya dengan berat hati, Dian kembali ke kelasnya sambil berharap agar siapa pun di kelas X IPS-1 tidak kenapa-kenapa. Namun sayang sekali, harapan Dian tidak akan terkabul.

"Steven belum nemu apa-apa," sahut Steven dari belakang kelas.

"Masih belum dapet apa-apa juga gw," gerutu Arto, frustasi sudah lama mencari tanpa hasil yang pasti.

"Cari make mata, bukan mulut," celetuk Seno.

"Ya ini gw make mata," balas Arto. "Kalo make idung yang kecium cuma tai di celana lu."

Mungkin sudah sekitar 20 menit mereka mencari benda misterius yang diperlihatkan Dian tadi. Seharusnya merogoh loker kelas untuk mencari satu benda tidak memakan waktu lama, tapi Arto bilang benda itu bisa dalam bentuk apa saja (tidak hanya bentuk bola) jadi mereka memeriksa dengan teliti. Mulai dari sudut-sudut loker hingga dinding-dindingnya pun mereka cari. Waktu juga akan termakan bagi yang tidak beruntung, seperti Seno, dimana tangannya akan kesusupan serpihan kayu yang telah rontok dari loker.

Wahyu yang sedang mencari benda itu memiliki ekspresi yang sangat serius di wajahnya, seperti sedang mengerjakan soal ujian CPNS. Kegiatan seperti ini sangat cocok bagi Wahyu yang sangat keras kepala dan tidak mudah untuk menyerah setelah dia melakukan sesuatu. Beruntung bagi Wahyu, kerja kerasnya terbalas dengan buah yang manis.

Ujung-ujung jarinya merasakan sebuah benda yang dingin, seperti besi yang dimasukkan ke dalam lemari es. Dia menggenggamnya erat-erat dan menariknya keluar dari loker. Benda itu berbentuk seperti piramida, dengan permukaan yang hitamnya tidak kalah pekat dari bola yang ditunjukkan Dian tadi. Tetapi sebelum Wahyu bisa memahami benda itu lebih dalam, terdengar suara dentuman kencang dari luar kelas.

BUM! BUM! BUM!

Dentuman yang berasal dari arah kelas X IPS-1 itu memekakkan telinga. Lantai kelas terasa bergetar setiap dentuman itu muncul. Selang dari suara itu tidak terlalu lama, hanya beberapa detik saja, tetapi setiap satu dentuman berlalu getaran di lantai terasa lebih besar dari sebelumnya, seakan sumber dari suara yang menyeramkan itu semakin mendekat. Benar saja, sekarang dentuman itu berada tepat di depan kelas.

Steven yang sedang di depan kelas langsung siaga. Dia melihat kanan-kiri, dan ternyata sudah tidak terlihat siapa-siapa lagi di kelas. Kakak-kakaknya sudah sembunyi duluan tanpa mengajak dia. Napas Steven tersenggal sejenak dan punggungnya mulai berkeringat, apabila sumber suara di luar itu berupa monster maka habis sudah hidupnya. Steven pun mengendap-endap untuk bersembunyi di bawah meja, tetapi dia terselengkat oleh kaki kursi dan jatuh menabrak dinding kelas dan deretan meja disekitarnya. Hiruk-pikuknya terdengar sampai ke luar kelas.

Dentuman itu pun berhenti.

DUAR!

Jendela di atas Steven serta dinding di sekelilingnya meledak dengan dahsyat. Serpihan kaca dan bongkahan batu bertaburan di dalam kelas, membuat debu dan asap. Steven terkubur di dalam bebatuan, tak sadarkan diri.

avataravatar
Next chapter