Kota...
Clubbing...
Drugs....
Alkohol...
Fashion...
Mungkin kata-kata itu yang terlintas di dalam pikiran jika melihat sekumpulan remaja campur baur, berpakaian tak senonoh, dan beberapa botol minuman keras bertebaran di tiap sudut kota.
Siapa sangka anak perempuan satu-satunya Gunawan Wijaya –seorang pengusaha kaya raya– terlibat di dalamnya?
Bukankah mereka yang orang tuanya berpenghasilan di atas minimum menekankan pendidikan tinggi bagi anak-anaknya? Kesejahteraan serta karier yang bagus untuk anak-anaknya?
Namun, berbeda dengan Shakira Azzahra. Remaja yang tidak peduli dengan semua impian dan masa depan. Hura-hura, senang-senang, hanya itu yang menjadi kebiasaannya setiap hari.
"Halo.. Halo.. Ca, Lo dimana? Cepetannnn.. Keburu Bokap gue pulang..."
"Oke. Lo tunggu di tempat biasa gue jemput. Satu perempatan lagi gue sampai di rumah lo."
"Oke."
Ya. Tentu saja diam-diam. Pergi diam-diam pulang pun demikian. Orang tua mana yang mau anaknya terjerumus ke arah yang salah?
***
Jam menunjukkan pukul 09:00.
"Bi, Kira mana? Belum bangun?" Tanya Gunawan kepada Bi Iyem, asisten rumah tangganya.
"Sepertinya belum, Tuan. Karena tadi malam Non Kira pulangnya jam.... " Bi Iyem segera menutup mulutnya.
Hampir aku keceplosan. Kalau tidak... Bisa habis aku dimarahi Non Kira. Pikirnya.
"Apa? Jam berapa lagi anak itu pulang? Malam lagi?!" Kali ini volume suara Gunawan meningkat.
"I.. I.. Iya, Tuan. Tadi malam Non Kira pulang malam lagi." Ia menunduk takut.
"Tidak bisa dibiarkan!" Gunawan segera beranjak dari meja makan, membawa segelas air menuju kamar Kira.
Sesampainya di depan pintu kamar putrinya, ia menghela nafas sejenak, "Kira.. Sayang... Bangun.. Sudah siang.." Suara lembut Gunawan tak direspon Kira yang menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Ia pun langsung masuk ke kamar Kira sembari mengeraskan volume suaranya, "Kira! Bangun! Sudah jam berapa ini?! Kuliahhhh!!! Kira!!! Sha-ki-ra!!!"
Suara keras papanya membuat Kira berontak. "Apasih, Pa... Masih shubuh juga. Jangan bising ah... Ra mau tidur..." Jawabnya malas.
"Apa?!" Gunawan menyiram Kira dengan air yang dibawanya sedari tadi.
BYUUURRR!!!!
Refleks, Kira langsung terbangun. "Pa! Apaan sih! Basah semua, nih! Apa Papa tidak bisa baik sedikit sama Kira? Kira lelah lho, Pa..." Ia bangkit dan duduk di samping tempat tidurnya, berbicara dengan mata yang masih tertutup.
"Lelah? Lelah ngapain kamu?"
"Lelah pacaran. Clubbing. Karaoke." Jawabnya santai dan ia langsung menutup mulutnya. "Ups. Hehehe...
Gunawan mencoba menahan emosinya, "Sekarang kamu mandi, sarapan, dan pergi kuliah. Kamu sudah semester akhir, jangan main-main. Kalau kamu gagal harus ngulang lagi tahun depan. Tidak malu?!"
"Malu? Kenapa harus malu? Gelar mahasiswa abadi itu kan keren..."
"Astaga..."
"Papa gak kerja?"
"Bos mah bebas..." Seolah bergaya, Gunawan menyisir rambutnya dengan jari. "Sudah. Cepat. Papa tunggu di meja makan. Ada yang mau Papa omongin."
Laki-laki paruh baya itu memang tidak bisa terlalu keras pada Kira. Rasa sayang yang teramat besar dan wajah yang mirip almarhumah istrinya, membuatnya tak bisa berlaku kasar pada putrinya itu. Namun, bukan berarti ia tidak bisa tegas. Jika suatu perbuatan sudah melampaui batas, ia tak segan-segan melakukan tindakan yang tidak pernah diduga sebelumnya.
___
Satu jam kemudian....
Kira muncul dengan kaos hitam dibalut kemeja kotak-kotak berwarna merah maroon, celana jeans dengan robekan di lutut, serta sepatu boot dari kulit impor menghiasi tubuhnya.
Sontak saja Gunawan terkejut lagi dan lagi karena setiap hari ia harus melihat pemandangan semacam itu, bukan malah terbiasa. Ia justru risih. "Ra, Tidak ada baju lain? Kamu cewe atau cowo? Masa pakai baju begituan. Mau jadi preman pasar atau mahasiswi? Ganti sana." Pintanya.
"Ya ampun, Pa. Udahlaaah ini style zaman now. Biasa aja kali." Kira menaikkan satu kakinya ke kursi sembari mengoles roti dengan selai dan bersiap menyantap.
Gunawan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian, "Ra, Papa mau tanya. Kamu jawab jujur. Tadi malam pulang jam berapa?"
"Dua."
"Pergi sama siapa?"
"Pacar. Teman-teman juga."
"Suruh mereka semua ketemu Papa nanti malam."
Kira yang sedang mengunyah roti terhenti karena permintaan aneh yang keluar dari mulut papanya. "Ha? Ngapain?"
"Jangan membantah. Lakuin apa yang Papa suruh. Kalau tidak...."
"Ya.. Ya.. Ya... Harta warisan tidak akan jatuh ke tangan Kira." Ia berlagak seperti nyonya-nyonya besar.
"Bagus."
Gunawan melihat jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 09:00. "Papa berangkat, sekretaris Papa barusan telpon ada rapat penting di kantor. Kamu kuliah. Jangan bolos. Wassalamu'alaikum."
"Iya."
"Jawab salam itu hukumnya wajib, Ra."
"Iya iya... Wa'alaikumussalam."
***
Di sebuah kampus ternama di Jakarta...
"Hai, Girlsss..." Sapa Dara kepada Caca, Luna, dan Pika ketika berjumpa di parkiran kampus.
"Kira mana? Tumben jam segini belum kelihatan?" Luna bertanya-tanya sembari memutar bola matanya melihat sekitar, mencari sosok perempuan berambut ikal terurai itu.
"Nah... Tuh dia orangnya." Tunjuk Caca.
"Hai..." Kira datang dengan wajah lesu.
"Lo kenapa, Ra?" Pika heran. Tidak biasanya ia melihat Kira seperti itu.
"Yaaa... Biasalaaah... Kena marah bokap lagi."
"Hahaha.. Kali ini apa permintaan bokap lo buat nebus kesalahan itu?" Luna berdecak dengan gaya songongnya mengejek Kira.
"Lo semua."
"Ha?! Ngapain?" Mereka menjawab serentak.
"Ntah. Gak tahu gue. Lo semua termasuk Ivan –kakak Caca, pacar Kira– disuruh ke rumah gue malam ini. Kalau lo semua gak datang, gak tahu lah gue gimana jadinya." Kata Kira dengan nada mengancam.
"Ck! Gila lo, Ra." Caca berdecak. "Kakak gue kena juga?"
"Ya iyalah... Tadi malam kan kita semua clubbing. Ga ingat? Ha???... Udahlah gue mau ke kantin." Kira pergi meninggalkan teman-temannya yang masih diliputi rasa gelisah.
"Mampus. Mau diapain kita ntar malam?" Tanya Pika pasrah. Sedangkan Caca, Dara, dan Luna hanya terdiam berpikir.
___
Universitas tempat Kira kuliah adalah perguruan tinggi terbaik di Jakarta. Rata-rata mahasiswanya berasal dari keluarga terpandang. Fashion, party, clubbing, adalah pembahasan yang tiada akhir bagi mahasiswa perempuan di sana. Tak jarang, sekalipun mereka pada mulanya bersikap baik, lama-kelamaan juga akan terbawa arus gemerlapnya ibu kota.
...
Jam menunjukkan pukul 13:00. Kuliah selesai.
"Girls, gue pulang duluan ya, ngantuk. Jangan lupa ke rumah gue malam ini." Sahut Kira.
"Iya. Bawel lo." Luna berdecak.
Saat berjalan di sepanjang koridor kampus sembari mengunyah permen karet, tiba-tiba ponsel Kira berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Ivan.
Beb, nanti malam seperti biasa, kan? Ketemu di best camp, ya...
Melihat pesan itu, Kira langsung menelponnya. "Haloooo bebebcuuuu... Nanti malam aku ga bisa nih. Aku lupa ngabarin kamu kalau kamu sama yang lain disuruh ke rumah malam ini sama Papa karena kemarin aku ketahuan pulang telat."
"Kok bisa sih? Ada hal penting apa sampai harus ngelibatin kami semua?"
"Gak tahu... Udah... Datang aja ya nanti malam."
"Oke."
"Aku mau pulang dulu, Beb, lelah."
"Iya.. Hati-hati ya, Sayang... Mau aku jemput, gak?"
"Gak usah.. Aku bawa mobil kok."
"Oke, Beeeebbb.. Luv yuuuu"
TIT TIT TIT...
...
Di perjalanan...
Apa yang akan Papa lakukan nanti malam?
Akan ada konflik apa lagi?
Tiba-tiba...
GUBRAK!!!
Karena melamun selama di perjalanan, Kira tidak sengaja menabrak seorang pedagang putu karena kantuk berat yang dirasakannya. Namun, karena sifatnya yang tidak mau disalahkan dan ingin menang sendiri, ia bukannya bertanggung jawab, tapi justru marah-marah pada pedagang tersebut.
"Mas punya mata, gak? Lihat, nih... Kan mobil gue jadi kotor. Bersihin, gih!" Katanya, kesal.
Pedagang itu hanya mengucap istighfar, menunduk, kemudian pergi tanpa sepatah kata pun setelah melihat penampilan Kira.
"Dasar orang aneh." Ia masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan.
***
Malam itu penuh dengan tanda tanya yang muncul di kepala Gunawan. Setelah sholat isya dan makan malam, ia menghampiri Kira yang sedang asyik nonton TV sembari menaikkan satu kakinya.
"Ra, teman-teman kamu kapan datang?"
"Sebentar lagi juga datang, Pa. Sabar, dong." Pandangan Kira tidak lepas dari TV dan setoples cemilan di tangannya.
TING NUNG!!! TING NUNG!!!
"Nah.. Tuh mereka sudah datang. Bukain gih, Pa."
"Kira??!!!"
"Hehe... Sebentar." Kira pergi membukakan pintu.
DEG!
Ia terkejut pada orang yang ada di depannya.
Untuk apa dia ke sini? Tahu alamat gue dari mana? Batinnya.