22 Resah

"Eh ada Tama?" kata Rendra begitu memasuki rumah.

"Iya Bang. Abang baru pulang?" jawab Tama sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Rendra.

"Iya nih. Ini dari rumah atau dari kampus?".

" Dari kampus Bang, tadi mengantar Mimi pulang. Karena dia sempat sakit di kampus tadi."

Rendra langsung melihat kearah Mimi, "tuh kan, kamu tuh ngeyel sih kalau di kasih tau. Dia tuh udah beberapa hari ini sedang kurang sehat Tam. diajak ke dokter ngga mau, disuruh istirahat susah. Tadi pagi dilarang ke kampus malah ngga mau nurut. Apa yang dirasa tadi?" kata Rendra sambil menempelkan tangannya di dahi Mimi

"Tadi kepalaku berat Bang, tahu-tahu pingsan," jawab Mimi takut-takut.

Rendra melotot mengetahui Mimi sempat pingsan., "pokoknya kamu harus ke dokter malam ini. Biar Abang antar nanti."

"Aduh Bang, ngga usah deh! Aku udah mendingan kok, tadi udah dikasih obat di klinik kampus," kata Mimi memelas.

"Udah, pokoknya berobat. Kali ini harus nurut. Sekarang kalian lanjut dulu ngobrolnya. Abang mau mandi dulu."

Mimi menghela nafas kesal, "maaf ya Tam. Kamu jadi melihat aku diomelin sama Bang Rendra," kata Mimi tak enak.

"Hahaha ngga apa-apa, malah aku salut sama Bang Rendra. Dia kelihatan sekali sayangnya sama kamu."

"Kalau ngga sayang ya kebangetan, kan aku adik satu-satunya. Hanya saja dia suka over protective gitu."

"Sepertinya hampir semua kakak seperti itu deh Mi. Aku dan kakak-kakakku juga begitu pada Rani. Sampai Rani suka kesal sekali. Ya bayangin aja, kamu kan hanya Bang Rendra saja yang bersikap begitu. Kalau Rani punya 3 yang model Bang Rendra." kata Tama sambil tertawa.

"Bisa dibayangin sih," kata Mimi sambil tertawa geli. "Kasihan Rani. Ternyata dia lebih menderita daripada aku."

"Ya itu kan tanda sayang kami sebagai Kakak Mi. Begitupun Bang Rendra."

"Tapi ini aku disuruh ke dokter segala. Aku ngga mau ah! Tapi gimana ngomongnya? Kalau Bang Rendra udah gitu, ngga bisa dibantah. Dia lebih galak daripada Ayah." keluh Mimi.

"Memangnya kenapa kamu ngga mau ke dokter? Kan biar kamu cepat sembuh juga."

"Hmmm... aku tuh paling takut ke dokter Tam. Takut di suntik." kata Mimi malu-malu.

"Lho, kan ngga selalu harus disuntik Mi!".

" Tapi aku tetap takut Tam, ditambah Bang Rendra yang antar. Hadeuh... kebayang tegangnya."

"Ya udah, aku aja yang antar kamu gimana?".

" Ah aku ngerepotin kamu terus. Ngga usah deh!".

"Ngga, aku senang kok. Mau ya aku yang antar?".

Akhirnya Mimi menyetujuinya.

---

" Mi, ajak Tama makan malam dulu!" suara Bunda terdengar dari dapur.

"Yuk Tam, Bunda manggil tuh!" ajak Mimi.

Lalu mereka menuju ke ruang makan. Bang Rendra dan Bunda sudah duduk disana menunggu mereka.

"Lho, Ayah ngga makan malam di rumah Bun?" tanya Mimi.

"Ayah ada meeting sampai malam katanya. Jadi makan di kantor," jawab Bunda. "Makan seadanya ya Tam," kata Bunda pada Tama.

"Terima kasih Tante, maaf saya merepotkan."

"Ngga kok, malah Bunda yang harus berterima kasih karena kamu udah mengantar Mimi. Oya, panggil Bunda aja ya, seperti Rendra dan Mimi."

"Terima kasih Tante, eh Bunda maksudnya," kata Tama sambil tersenyum.

"Bun, nanti Rendra mau bawa Mimi ke dokter," kata Rendra saat mereka sedang makan.

"Ah ngga usah Bang. Nanti aku diantar Tama aja. Iya kan Tam?".

" Iya Bang, nanti aku yang antar Mimi." kata Tama.

*Tadi pulang ngerepotin Tama, masa ke dokter juga ngerepotin dia lagi?" kata Rendra.

"Ngga Bang, ini aku yang mau kok. Biar aku saja yang antar Mimi."

"Baiklah, titip Mimi ya Tam!".

---

" Tuh kan ngga disuntik?" kata Tama begitu mereka keluar dari ruang praktek dokter.

"Hehehe iya Tam. Aku emang penakut sih ya?".

" Ya pokoknya kamu ikutin kata dokter aja, sakit kepala kamu itu dari asam lambung, jadi kamu harus benar makannya. Jangan sampai terlambat. Nanti aku yang akan jadi alarm kamu!".

"Duh, kamu mulai sama kayak Bang Rendra nih!".

" Maksudnya?".

"Iya mulai bawel!" kata Mimi sambil tertawa.

Tama hanya tersenyum mendengarnya. "Kita langsung pulang ya? Kamu harus istirahat."

"Iya, kamu juga kasihan sampai malam gini direpotkan sama aku," kata Mimi tak enak.

"Santai aja Mi. Kan aku yang mau."

"Makasih ya Tam. Kamu udah baik banget sama aku."

Tama hanya terdiam. Sejjenak keheningan melingkupi mereka, masing-masing tenggelam dalam pikirannya.

"Mimi, apa kabar Lelaki Kabut kamu?".

Mimi menoleh ke arah Tama. " Kamu penasaran Tam?".

"Ya iya. Kamu beneran suka sama Lelaki dalam mimpi itu? Walau kamu ngga tahu wajahnya seperti apa?".

" Ngga tahu Tam. Aku ngga ngerti, apakah ini hanya penasaran, benar-benar suka, atau malah obsesi. Aku belum tahu pasti, " kata Mimi.

"Aku sih kalau melihat keistimewaan kamu yakin, Lelaki Kabut itu memang ada di dunia nyata. Hanya saja pertanyaannya, kalau nanti kamu benar-benar ketemu, apakah kamu akan memutuskan untuk bersama dia?".

" Ah, terlalu jauh kalau berfikir kesana Tam."

---

"Kamu nginap disini aja Tam,! Udah hampir jam 12 malam, nanti kamu ngantuk dijalan bahaya. kata Rendra saat Tama mengantar Mimi.

"Aduh ngga lah Bang, ngga enak nanti sama orang."

"Ngga enak kenapa? Kan ngga cuma Mimi di rumah ini."

"Tama, jangan memaksakan pulang jam segini. Kamu juga sudah kelihatan lelah. Lebih baik bermalam disini. Nanti pakai baju Rendra saja," tiba-tiba Bunda sudah ada di dekat mereka.

Tama tampak bimbang. Memang dia merasa lelah dan juga mengantuk. Tapi apakah bermalam di rumah Mimi adalah keputusan yang benar?

"Besok kalian kuliah jam berapa?" tanya Rendra.

"Sepuluh!" jawab Mimi dan Tama berbarengan.

"Nah, berarti kan harus berangkat pagi. Kalau menginap disini, kamu bisa langsung istirahat, jadi besok bangunnya lebih enak. Udah, hayok masuk!" kata Rendra sambil menarik lengan Tama.

Tama memandang Mimi seolah menanyakan apakah dia keberatan. Mimi menjawabnya dengan seulas senyuman.

---

Tama tidur di kamar tamu. Pikirannya melayang mengingat kejadian hari ini. Dia tak percaya sekarang dia bermalam di rumah Mimi, sama halnya juga dia tak menyangka hubungannya dengan Mimi jadi sedekat ini. Entah skenario apa yang tengah Tuhan berikan untuk mereka.

Sementara Mimi, dia merasa ada yang aneh dengan hatinya. Jujur, sejak mengenal Tama lebih jauh, dia merasa sangat nyaman berada di dekatnya.

Mimi memandang kartu berhias edelweis dan kotak coklat yang ada dihadapannya.

"Seandainya PR dan Lelaki kabut itu adalah Tama, gue pasti akan merasa senang," batinnya.

Menyadari pikiran konyol itu, pipinya langsung memerah. " Ih... apaan sih gue!" katanya sambil menutup wajahnya malu.

Dan malam itu, baik Tama maupun Mimi, sama-sama resah, sehingga sulit untuk tidur.

avataravatar
Next chapter