28 Melupakan? (Tentang Tama)

Tama POV

Sudah lebih dari sebulan aku tak bertemu Mimi. Aku melakukan itu agar perasaanku padanya tidak bertambah besar. Bagaimana mungkin aku mencintai gadis yang kelak akan menjadi jodoh sepupuku sendiri? Seandainya saja dari awal aku tahu bahwa Amira adalah Mimi, aku tak akan menyanggupi untuk menjaganya. Aku pasti akan memilih bersaing secara sehat dengan Pram, walau mungkin pada akhirnya nanti aku tak berjodoh, setidaknya aku ada perjuangan. Daripada sekarang, aku terpaksa mundur karena terikat janji.

Sebenarnya aku ingin jujur, tapi janji adalah janji. Aku tak boleh mengingkarinya. Apalagi yang bisa aku banggakan, jika hanya memegang janji saja aku tak mampu.

Aku tak tahu apakah Mimi merasa aku menghindarinya. Jika merasa, semoga dia mengerti dan tak sakit hati.

Tama POV end.

---

"Kak Tama kusut banget tampangnya?" kata Rani.

"Ah biasa aja!".

" Ngaca tuh sana! Lihat muka awut-awutan gitu."

"Udah ngga usah repot ngurusin Kakak deh! Kamu ngga ada kerjaan gitu? Kalau ngga ada, bantuin Kakak di cafe aja."

"Boleh, mau bayar berapa?".

" Kerja aja belum, udah nanya bayaran," kata Tama.

"Hehehe... aku kan profesional Kak! Ngga mau ya bayar pakai terima kasih mentang-mentang saudara."

"O... tenang, kakak akan bayar muahaal banget. Yaitu dengan hati."

Rani begidik ngeri mendengar gombalan Tama.

"Kak, aku adik kandungmu lho! Jangan dijadikan bahan latihan ngegombal, ngga asyik. Mendingan langsung kesasaran," goda Rani.

"Maksud kamu apa sih?".

" Udahlah Kak, jadi orang tuh jangan nyimpan semuanya sendiri, bagi-bagi sedikit biar ngga jadi jerawat."

"Tambah ngaco kamu Ran!" kata Tama kemudian melangkah pergi.

"Kakak sedang menghindari Kak Mimi kan?".

Pertanyaan Rani menghentikan langkahnya. Tama terdiam tak menjawab.

" Benar kan Kak?" tanya Rani lagi.

"Jangan sok tahu. Buat apa Kakak menghindari Mimi?".

" Ya karena Kakak sedang mengalah dengan seseorang kan?".

Lagi-lagi ucapan Rani benar-benar langsung ke sasaran. Entah mengapa mulut Rani terasa begitu tajam. Ucapan itu membuatnya urung pergi.

"Kamu nih suka banget ya menerka-nerka perasaan orang. Mentang-mentang calon psikolog."

"Makanya Kakak curhat aja sama aku. Aku ngga akan kenakan tarif kok!" kata Rani dengan nada menggoda.

"Apa yang kamu mau tahu?" kata Tama akhirnya.

"Harusnya aku yang tanya Kakak. Apa yang mau kakak ceritakan? Aku akan mendengarkan," koreksi Rani.

Tama hanya terdiam, dia memang bukan seorang yang mudah menceritakan tentang perasaan hatinya. Selama ini dia lebih sering menyimpan semuanya sendiri.

"Kak?".

" Eh ya!" kata Tama kaget.

"Okey, aku aja yang mulai nanya. Perasaan Kakak tuh sebenarnya gimana ke Kak Mimi?" tanya Rani to the point.

"Ya kamu sepertinya ngga perlu tanya Ran, kamu pasti paham kok!" kata Tama sambil menunduk.

"Okey, aku anggap Kakak suka sama Kak Mimi, dan seperti yang Kakak bilang dulu, Kakak terikat janji pada seseorang yang suka sama Kak Mimi untuk menjaganya. Begitu kan?".

" Ya!" jawab Tama pendek.

"Kenapa Kakak ngga jujur dan mulai berjuang saja? Memang siapa yang meminta Kakak berjanji untuk menjaga Kak Mimi? ".

"Kamu beneran mau tahu?".

" Ya!" jawab Rani.

Tama akhirnya menceritakan tentang janjinya pada Pram, tentang ketidaktahuannya bahwa Amira adalah Mimi, tentang perasaannya yang mulai tumbuh dan terakhir tentang lelaki kabutnya Mimi.

Rani tertegun mendengar rangkaian cerita itu. Rumit juga pikirnya. Dan Rani sama sekali tak menyangka bahwa Mimi memiliki keistimewaan.

"Kak, Kakak harus tahu bahwa jodoh itu rahasia Allah. Tentang Kak Mimi dan Mas Pram itu juga kita belum tahu. Okelah mungkin mimpi Kak Mimi selalu jadi nyata, tapi sampai hari ini Mas Pram juga belum ada aksi kan? Dalam artian Mas Pram belum melamar Kak Mimi. Jadi Kak Mimi belum terikat dengan siapapun. Itu ngga menutup peluang Kakak untuk memperjuangkannya. Abaikan mimpi kak Mimi, anggap ngga ada. Dan berjuanglah jangan kalah sebelum berperang. Tapi Kak, aku sejalan dengan sikap Mas Pram, dia tidak mengajak Kak Mimi pacaran, karena dalam agama kita tak ada kata pacaran."

"Lalu aku harus berjuang dengan apa?".

" Kakak bawa nama Kak Mimi dalam doa, perbaiki diri Kakak dan ngga perlu menjauhi Kak Mimi juga. Biarkan semua mengalir seperti biasa. Memutuskan menjauh sama halnya dengan memutuskan tali silaturahim. Ngga baik Kak. Dan kalau sempat, coba Kakak ikut kajian-kajian yang membahas konsep ta'aruf dalam Islam. Oya, selain berjuang untuk menang, kakak juga harus bersiap untuk kalah, pasrahkan semuanya pada Allah Kak."

Tama mendengarkan Rani dengan seksama, rasanya tak menyangka kata-kata bijak itu keluar dari mulut adiknya. Tama mengelus kepala Rani dengan penuh sayang.

"Makasih ya Ran!" katanya.

"Yang terpenting Kak, jangan terlalu berlebihan dalam mencintai seseorang. Aku memang akan sangat senang kalau Kak Mimi jadi jodoh Kakak kelak, tapi sebelum ijab kabul, apapun bisa terjadi. Jadi berjuang ya Kak, berjuang sesuai dengan tuntunan agama kita. Aku doakan yang terbaik untuk Kakak," kata Rani seraya memeluk Tama.

"Kakak juga harus jujur sama Mas Pram, katakan bahwa Kakak mau melepas janji, karena memang bukan Kakak yang harus menjaga Kak Mimi. Kakak kan bukan mahromnya Kak Mimi."

Tama mengangguk paham, "mungkin memang benar kata Rani, aku harus jujur pada Pram." batin Tama.

---

"Pram, lagi sibuk ngga?" kata Tama lewat sambungan telepon.

"Ngga, kenapa Tam?".

" Aku mau ngomong sama kamu. Kita bisa ketemu?".

"Aku ketempat kamu deh. Kamu dimana? Di cafe atau di rumah?".

" Di rumah."

"Okey satu jam lagi aku sampai sana."

Sambungan telepon ditutup, Tama merasa sedikit cemas. Hari ini dia akan berbicara jujur pada Pram. Dan Tama tak dapat memprediksi apa reaksi Pram jika mendengar kejujurannya.

Satu jam kemudian, Pram sudah duduk di salah satu kursi yang ada di kamar Tama.

"Ada apa Tam? Kayaknya serius banget nih?".

" Aku mau bicara soal janjiku sama kamu Pram. Janjiku untuk menjaga Mimi. Aku mau membatalkan janji itu," kata Tama hati-hati sambil memandang Pram.

"Kenapa Tam?" tanya Pram dengan tenang.

"Hmmm... karena aku sepertinya menyukai Mimi juga," jawab Tama.

Mereka saling pandang setelah Tama mengatakan itu. Sesaat suasana hening. Namun tiba-tiba Pram tersenyum dan beranjak bangun menghampiri Tama yang duduk di ranjangmya. Sejenak Tama berpikir Pram akan memukulnya. Namun ternyata dia salah. Pram hanya menepuk bahunya, lalu berkata,

"Ngga masalah, aku tahu kok kamu suka dia. Aku senang kamu jujur daripada kamu nikung dari belakang. Kita bisa sama-sama berjuang. Lantas kamu mau apa? Mau macarin Mimi? Karena kalian kan sudah cukup dekat kurasa."

"Ngga Pram, aku juga seperti kamu, aku akan datang padanya saat aku memang sudah siap. Dengan catatan aku belum keduluan sama kamu," kata Tama.

Pram tertawa mendengar penuturan Tama. "Tapi kamu satu langkah di depan aku Tam. Kamu lebih dekat dengan dia, " kata Pram.

"Kami memang dekat, tapi dia ngga tahu perasaan aku."

"Lho, dia juga ngga tahu perasaan aku."

"Dia tahu Pram, aku udah kasih tahu dia," kata Tama jujur.

"Sial!" kata Pram sambil mengavak rambutnya. "Nanti aku harus gimana kalau ketemu dia?".

" Ya biasa aja. Pura-pura kamu ngga tahu. Tapi kamu mungkin bisa ambil langkah untuk mengenal dia. Karena sekarang kamu ngga bisa mengandalkan aku." kata Tama.

Pram tersenyum pada Tama, "Okey Bro, terima kasih atas kejujurannya. Apakah salah satu dari kita akan bersamanya, atau malah orang lain. Mulai sekarang kamu ngga terikat janji lagi denganku," kata Pram sambil mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.

Mereka bersalaman sambil tertawa. Ada kelegaan dalam hati mereka. Setidaknya cinta tak membuat persaudaraan mereka rusak.

avataravatar
Next chapter