webnovel

Ch-2 Penembusan Dua Level Berbeda Dalam Sehari

Remaja itu memasuki Paviliun Segitiga Emas. Para penjaga dan pelayan menyambut kedatangannya dengan terpana. Bahkan, beberapa orang yang ingin menyapa, kehilangan kata-kata.

Remaja itu tertawa, "Mengapa kalian melihatku seperti itu?"

Mereka tersipu. Seorang remaja berusia tujuh belas tahun yang akhirnya berkata, "Tuan Muda Hindra terlalu perkasa. Aku saja seumur hidup satu kali mencicipi keluar gerbang istana, satu kali menikmati guyuran ludah naga, dan jera untuk beberapa tahun berikutnya."

Kalau sudah ada suara pertama yang memulai, suara kedua pasti muncul.

"Saya juga tuan muda. Dulu, karena ayah tuan menilai saya berbakat, setelah menelan inti api naga tingkat dua puluh, saya beliau bawa ke dunia bawah. Begitu kembali pulang, kena sembur ludah naga, sampai mati saya bertekad tidak akan keluar gerbang lagi."

"Sementara tuan telah keluar puluhan kali," sambung yang lain, membuat bergidik pendengarnya. "Tuan hanya butuh dua hari untuk berkultivasi meningkatkan kekuatan daya inti api naga dan ludah naga, begitu kultivasi selesai langsung keluar lagi. Saya yakin tubuh tuan adalah hasil tempaan surga."

Akhirnya para pelayan dan penjaga paviliun berebutan mengeluarkan pujian. Belum selesai kalimat kawannya, telah ditindih oleh kalimat lainnya.

"Saya lebih memilih direbus dari pada diguyur ludah naga."

"Saya lebih baik menguras kolam pemandian Tuan Hindra dengan menggunakan gayung dari pada melewati gerbang!"

"Saya akan menguras pakai sendok!"

"Saya menguras pakai kelingking."

"Saya menguras pakai lirikan."

"Bagaimana caranya menguras pakai lirikan?" Tanya yang lain heran.

"Nah, kamu bagaimana caranya menguras kolam menggunakan kelingking?"

"Urusanku lah, dari pada aku menguras kolam pakai Bapakmu!"

"Eh, kau berani bawa-bawa orang tua? Baik, aku akan menguras kolam memakai ibumu, moyangmu, tetanggamu dan kerabat sekitar."

Hingar-bingar suasana Paviliun Segitiga Emas. Dari pujian untuk tuan muda, berubah jadi pertengkaran antara pelayan dan penjaga.

"Ibuku yang menggaji Bapakmu!" Raung yang satunya.

"Bapakku yang menggaji majikan Ibumu!" Timpal yang lain sengit.

Yang satu tadi tidak terima. Dadanya mengombak menimbulkan deru napas memburu. Ia menekankan kalimat dengan wajah merah padam, "Majikan Bapakmu, majikan Ibumu ...," ia membuat tanda jempol terbalik, "Adalah ...."

"Adalah Bapakku!" Timpal suara lain tegas.

Pelayan itu menjerit ketika merasakan jepitan sekuat tanggam besi mendarat di telinganya.

Hindra membesarkan mata, "Kalian para kurcaci sudah mulai meremehkan pimpinan paviliun Segitiga Emas ya. Dapat uang dari mana untuk menggaji Ayahku, ha?!"

"Hi!" Begitu sadar, yang lain segera terbirit meninggalkan ruang utama. Sementara salah satu pelayan yang tertinggal meringis merasakan kebas di telinganya.

"Ampun tuan, tadi keceplosan."

"Untung keceplosan, kalau tidak, bukankah apa yang tersimpan di hati kalian selama ini tidak akan aku ketahui."

Pelayan merinding.

"Agaknya aku butuh teman untuk keluar dua hari berikutnya. Selamat, kau dapat giliran pertama menemaniku."

"Ampun tuan!" Jeritnya histeris.

"Terima kasih atas kesediaanmu."

"Ampun tuan bukan mau."

"Ya, ya. Kuampuni dirimu dan kuterima kemauanmu."

Pelayan itu semakin blingsatan. Kemana perginya keramahan tuan muda. Ia menyesali kalimat pujian yang mendadak jadi bumerang. Dan di saat seperti ini, semua teman kehilangan sifat setia kawan. Lenyap semuanya menyelamatkan diri masing-masing.

Hindra mempermainkan pelayannya itu sampai nyaris terkencing-kencing. Setelah puas, baru ia mengizinkannya pergi.

Lalu ia bergegas menuju kamar. Setelah menutup pintu, ia berdiri di depan cermin. Pantulan tubuh perkasa terlihat di depan mata. Gugusan-gugusan ototnya terpahat laksana susunan batu pualam.

Pada usia sepuluh tahun ia telah belajar pembajaan tubuh dalam Tehnik Tubuh Guntara. Itu penempaan kejam pertama dalam hidupnya.

Setelah beberapa waktu ia dicekoki serta dimandikan air obat-obatan, kemudian bulan-bulan berikutnya tubuhnya direbus dalam air mendidih, dibakar bersama tumpukan kayu besar, ditimbun dalam bebatuan kemudian disucikan dalam salju.

Siksaannya luar biasa. Meski obat khusus mampu membuat segenap otot, kulit dan tulangnya melebur dan tersusun ulang dalam kekuatan baru, tapi, syarafnya masih bisa merasakan rasa sakit.

Entah keteguhan tekad dari mana dan dendam apa yang terjadi pada masa lalunya, sehingga seorang remaja yang dilimpahi kemewahan hidup sebagai putera dari pimpinan Paviliun Segitiga Emas, sanggup menghilangkan sisi manja dalam dirinya.

Tehnik Tubuh Guntara memiliki 9 level. Hanya sedikit orang yang mempelajarinya. Di samping karena tehnik ini harus dipelajari pada usia dua belas tahun ke bawah -sementara pada usia itu belum ada anak yang sanggup menjalani level pelatihan seperti itu-, juga sebab lain karena tehnik ini merupakan tehnik tingkat tinggi, keberadaan ilmunya tersembunyi dalam lemari besi klan teratas dan dalam gedung istana para raja beladiri.

Memasuki level empat Tehnik Tubuh Guntara membuat Hindra memiliki persyaratan untuk menelan dan berkultivasi pada Permata Inti Api Naga.

Kecepatan pelatihannya semakin mengerikan. Permata Inti Api Naga telah melebur dalam Tehnik Tubuh Guntara. Setiap level yang biasanya belum tentu tembus dalam satu atau dua tahun, kini meningkat pada terobosan baru.

Empat puluh tujuh hari kultivasi dengan menggunakan Permata Inti Api Naga, sembilan belas kali kena sembur ludah naga, dan Tehnik Tubuh Guntaranya melonjak sampai level ke delapan.

Kini, di hari ke empat puluh sembilan, pada semburan ludah ke dua puluh, apakah ia bisa mencapai level sembilan? Kalau dulu, hal ini adalah keajaiban mimpi yang tidak akan mungkin terjadi, tapi pada saat ini, semua itu sah-sah saja untuk dicapai.

Hindra tersenyum puas. Dengan jari telunjuk ia tekan dada bidangnya, mencoba merasakan kekokohannya yang laksana baja, tapi, mendadak ia menjerit. Cepat ditariknya jemari yang kesemutan tersengat arus besar.

Sisa panas ludah naga masih menyisakan sedikit hawa kehancuran yang belum terserap oleh wadah energinya. Rasa sakit yang sempat terlupakan kini datang lagi. Walau level sakitnya telah jauh berbeda, tapi itu cukup untuk membuat Hindra mengatupkan gerahamnya kuat-kuat.

Ia harus segera berlatih. Hindra mengetuk cermin tiga kali. Seiring suara gemuruh halus, lantai batu pualam yang dipijaknya bergetar terbuka. Di bawah sana, sebuah lempengan besi mirip dengan lempengan pada pintu gerbang segera terlihat. Tapi, kini bukan batu mulia warna-warni yang digunakan Hindra.

Ia melekatkan mata cincinnya pada cekungan dalam lempeng besi. Kembali suara gemuruh terdengar. Lapisan besi terbuka, memperlihatkan susunan undakan tangga yang menghilang dalam kegelapan di bawah sana.

Setelah menutup kembali jalan rahasia, Hindra melangkah turun. Dan undakan itu lurus saja, semakin ke bawah, semakin kental kegelapan yang menyebar. Tapi, bagi Hindra, tidak ada bagian tubuh yang tidak dilatihnya. Begitu juga sepasang mata. Hanya sesaat kebutaan menyerang dirinya, seiring dengan kilau cahaya seperti nyala mata kucing hadir di bawah alisnya, semua kegelapan pun punah tanpa sisa.

Seratus meter, dua ratus meter ....

Akhirnya pada kedalaman seribu lima ratus meter, rangkaian tangga itu berakhir.

Ruangan luas membentuk sudut segitiga telah menunggunya. Di sini energi mulia langit dan bumi menggumpal tebal, sehingga setiap tarikan dan hembusan napas biasa Hindra setara dengan kultivasi mendalam seorang maestro beladiri.

Selain ayahnya dan kekuatan paviliun terpilih, tidak ada yang diperkenankan memasuki wilayah ini. Karena setara dengan kemampuan ruang untuk membantu pencapaian kultivasi seseorang, ruang ini juga mampu membunuh para ksatria yang belum mencapai landasan kekuatan kokoh.

Dinding ruangnya suram. Rongga-rongga dalam dengan bebatuan runcing tersebar tidak beraturan. Di sudut kiri ada telaga kecil dengan air berwarna hijau kemerahan. Asap tipis mengepul dari sana, bahkan beberapa bagian air menggelegak mengerikan.

Kontras dengan sudut kiri, di bagian kanan terdapat telaga dengan kabut tebal mengambang di atasnya. Dari sini, hawa dingin tersebar menusuk tulang.

Dua kekuatan telaga yang berbeda, saling berkumpul di udara dan bersatu dengan energi mulia yang tersebar dari segenap bebatuan, tumbuhan dan fosil-fosil ribuan tahun yang terpendam di sana.

Hindra masuk ke dalam ceruk batu yang mengeluarkan energi hijau redup. Setelah memantapkan hati, segera ia bersila memejamkan mata.

Energi batu mulai menerobos melalui pori-pori tubuh, gumpalan energi mulia di udara pun mengalir melalui tarikan napasnya.

Tubuh Hindra memancarkan cahaya keagungan. Permata Inti Api Naga di dalam wadah spiritualnya mulai bekerja menyerap sisa-sisa kekuatan ludah naga. Kemudian dengan kehendaknya ia bangkitkan kekuatan Tehnik Tubuh Guntara. Gumpalan energi tebal melonjak dahsyat, perwujudannya laksana naga batu. Energi itu mengaum di kedalaman diri, semakin meluas, semakin tinggi, kemudian melaju kencang mengaliri urat syaraf, lapisan tulang dan otot.

Hati-hati Hindra memasukkan kekuatan Permata Inti Naga ke dalam arus energi yang sedang menggila itu. Suara letusan besar terdengar. Energi Tehnik Tubuh Guntara semakin mengembang. Dari perwujudan naga, ia mulai berubah menjadi lapisan demi lapisan benteng baja bersusun-susun. Kemudian letusan berikutnya kembali terdengar. Pergolakan energi semakin kuat dan samar-samar dari warna abu-abu Tehnik Tubuh Guntara mulai tumbuh warna merah menyala.

Hindra terkejut. Agaknya Permata Inti Api Naga telah mendominasi Tehnik Tubuh Guntara. Karakteristik auranya yang sewarna logam telah disepuh oleh bara permata.

Sekarang gelora kekuatan bukan hanya mengamuk di dalam diri, perlahan ia keluar melalui seluruh lubang di tubuh Hindra.

Pijaran api dan suara desing besi berputaran mengelilingi Hindra. Rambutnya tersibak keras. Pakaiannya berkibaran.

'Apa ini?!' Batin Hindra gentar.

Ia tak bisa lagi menahan laju energi. Kekuatan laksana lahar meledak dalam tubuhnya, lalu bersama dengan hancurnya batu yang ia duduki, Tehnik Tubuh Guntaranya menerobos tingkat sembilan.

Hindra terangkat ke udara. Pusaran badai menyapu kencang. Sekujur kulitnya bersinar dalam kecemerlangan logam mulia.

Blegar!

Api besar menyapu seluruh kawasan dan dentumannya menggetarkan ruang kultivasi.

Telaga panas melonjak tinggi, telaga dingin melonjak tinggi, bebatuan hancur berguguran dan sebuah Tehnik Tubuh Guntara dalam penciptaan tingkat baru yang belum pernah ada sebelumnya akhirnya terlahir ke dunia.

Hindra membuka mata. Lalu dari ketinggian udara, gema tawanya berkejaran memukul dinding-dinding ruang kultivasi. Suara longsor terdengar di mana-mana.

Padahal sejatinya Tehnik Tubuh Guntara adalah sebuah ilmu pertahanan. Dengan itu, ia mampu menahan tajamnya senjata para ksatria hanya dengan tubuhnya, bahkan bila ia dihempas ribuan batu, lapisan pelindung kekuatan ini masih akan menyelamatkannya tanpa luka.

Tapi, akibat pembauran dengan Permata Inti Api Naga dan ludah naga, ilmu pertahanan ini mendapatkan kemampuan baru dalam seni api dan serangan. Hindra patut bahagia, ayahnya pantas bangga, sebagai jenius dari Paviliun Segitiga Emas ia telah membawa perbendaharaan baru dalam jalur beladiri keluarga mereka.

Satu hal yang baru Hindra sadari, ketika ia turun dan menapakkan kaki di tanah. Sebuah keterkejutan besar mendegupkan jantungnya.

Berulang kali ia menatap ke atas dan ke bawah dengan terkesima.

"Eh, aku tadi duduk di atas udara? Benarkah?!"

Nyaris gila Hindra rasanya. Dalam mimpi terliar pun ia tak menduga, bahwa hari ini dia menembus dua level berlainan secara bersamaan.

Pertama ia bisa menyempurnakan level akhir Tehnik Tubuh Guntara dan kedua ia telah masuk pada tingkat kultivasi baru. Kini, level Ksatria Perunggu yang jauh telah terengkuh dalam sekali jalan.

"Aku harus mencari Ayah!" Serunya gembira.

Sekali ia hentakkan kaki, tubuhnya meluncur deras ke atas. Deretan anak tangga yang harus di tapakinya satu-satu, kini berkelebatan cepat di ruang mata. Ringan tubuhnya membaur dengan udara dan sebagai Ksatria Perunggu ia tidak butuh tangga!

Next chapter