1 Bukan Aku Yang Membunuh Suamiku!

Arya memandang serius wanita yang berada di depannya. Sudah satu jam dia dan wanita tersebut duduk berhadapan, tapi wanita itu tetap dengan pendiriannya.

"Jadi...?" Arya kembali bertanya, dan sekarang menekankan intonasi suaranya. "Bukan!!! bukan aku yang melakukannya! Bukan aku yang membunuh suamiku! Aku tidak mungkin melakukannya, percayalah padaku. Aku mohon..." Ucap Wanita tersebut, dan ia masih mampu menghentakkan tangannya diatas meja walaupun borgol masih erat menjadi gelang tangannya.

Arya menghela nafasnya dengan panjang. "Ibu Mira, saya sangat bisa menemani anda untuk mengobrol semalaman di sini. Walaupun anda akan tetap mengatakan hal yang sama."

"Tapi anda tidak bisa mengelak dari semua bukti yang mengarah kepada anda." Arya mulai menyenderkan bahunya ke kursi. Ia sudah mulai merasakan ketegangan diantara pundaknya.

Arya pun memutuskan untuk bangkit dari duduknya, matanya masih menatap tajam ke arah Mira. Ia pun mulai membalikkan badannya, langkahnya terhenti ketika wanita itu mulai mengambil suaranya.

"Tunggu! Apakah kau akan percaya jika aku mengatakan sejujurnya." Wanita itu menatap dengan memohon. Arya kembali ke kursinya, Mira dengan cepat menggenggam tangannya.

"Setidaknya selamatkan anakku." Mira mulai memohon dan semakin erat menggenggam tangan Arya. Arya menatap dengan curiga.

"Aku mendengar bisikan gaib, aku yakin sekali malam itu. Dia yang mengontrol diriku." Ucap Mira dengan lirih.

Arya dengan cepat menarik tangannya sendiri. Dia berpikir wanita itu benar-benar sudah Gila. Mira menatap khawatir ke arah Arya.

"Aku tidak berbohong, seminggu sebelum aku bertengkar dengan suamiku. Kupikir dia sedang berselingkuh dengan seseorang." Raut wajah Mira semakin ketakutan.

"Aku ingat sekali, waktu itu suamiku sangat marah. Entah ia berbicara dengan siapa di telepon. Tapi aku mendengar ia mengatakan Kaum yang tidak boleh disebutkan namanya." Mira semakin mendramatisir ceritanya.

Arya semakin menaikkan alisnya, menatap tidak percaya. "Ahhh..kumohon kau harus percaya denganku." Mira mulai terlihat emosi, dia bangkit dari duduknya, dan menarik paksa tangan Arya berharap ia percaya dengan apa yang ia katakan.

Arya mulai menghentikan rekamannya, menganggap percakapan mereka sudah di luar jalur, dan sudah tidak berguna.

"Malam sebelum aku menusuk suamiku. Ia mengatakan agar aku bersiap-siap untuk pergi. Dia sudah mempersiapkan semuanya, paspor dan tiket." Mira sudah tidak peduli dengan Arya yang mulai tidak tertarik dengan ceritanya.

"Dia bilang, akan ada.... " Mira terhenti, dan seperti sedang mengingat-ingat. "Ahh aku lupa, aku lupa... " Mira mulai berteriak dengan histeris. Mira mulai mengacak-ngacak rambutnya sendiri, dan ia semakin histeris.

Arya hanya bisa memberikan tatapan dingin ke arah Mira yang masih dengan histerisnya, berteriak kesal dan terus mengatakan "aku lupa... sialll... aku lupa...".

Arya menatap gedung-gedung tinggi yang berjajar dihadapannya, masih berpikir keras dengan kasus yang baru saja ia terima. Sebatang rokok mulai ia keluarkan, dan mulai ia bakar.

Dengan cepat, ia menghisap rokoknya dan menghembuskan kembali. Langit sudah mulai sore, lampu-lampu mulai dinyalakan. Menjadikan pemandangan sore semakin indah.

"Disini kau rupanya." Suara Wanita yang ia kenal, sudah berada di sampingnya menatap dengan mencemooh. "Kau sudah mendapatkan sesuatu?" Tanya wanita itu.

"Dia gila. " Ucap Arya datar, wanita itu sepertinya tidak suka dengan tanggapan Arya. "Bukankah kau sudah tidak boleh merokok? Ingat merokok itu bisa membunuhmu secara perlahan dan pasti." Sindir wanita itu.

Arya tertawa kecil, "Bukan rokok yang membunuh manusia. Tapi manusialah yang membunuh manusia." Arya kembali menikmati rokoknya, asapnya yang mengebul pekat, ia hembuskan secara sengaja dihadapan wanita itu.

"Arya, kamu harusnya bangga. Jendral masih memanggil dan meminta bantuanmu. Tidak disangka kau sekarang malah bekerja dengan pihak swasta." Wanita itu semakin menyindir.

"Bayaran yang ku terima lebih tinggi." Ucap Arya dengan sombong. "Sudahlah Irma, ini adalah kasus sederhana. Wanita itu mengalami gangguan kejiwaan, sampai ia tega membunuh suami dan anak pertamanya." Arya melempar ke bawah sisa putung rokok dan menginjaknya dengan cepat.

"Hanya karena suaminya, seorang ketua parlemen. Itulah yang membuat heboh berita di media. Kemungkinan besar, dia mempergoki suaminya selingkuh dengan wanita lain." Arya mulai membalikkan badannya.

"Tunggu.." Ucap Irma mencoba menghentikan langkah Arya. "Jendral ingin aku memberikan ini kepadamu." Irma memberikan amplop cokelat besar. Arya memandang amplop tersebut dalam beberapa detik, sebelum memutuskan.

"Aku harap, ini bisa membantumu dalam memecahkan kasus ini." Ucap Irma masih menyodorkan amplop cokelat tersebut.

Arya pun menerimanya dengan berat hati. Ia mulai berjalan meninggalkan Irma yang masih diam terpaku.

"Arya, aku tau ini terlambat. Tapi aku turut berduka atas apa yang terjadi dengan keluargamu." Ucap Irma dengan sungguh-sungguh, sedangkan Arya yang mendengarnya hanya bisa menyeringai kecil.

--------

Alexander Richard, rambutnya yang terlalu pirang dan tingginya yang hampir dua meter. Membuat ia mencolok diantara yang lain.

Richard menempelkan kartu staffnya pada mesin pembaca. Dan mesin itu mengeluarkan suara "pip" kemudian lampu hijau menyala.

Seketika pintu baja di depannya terbuka dengan perlahan. Ia membetulkan jas labnya yang berwarna Putih, melewati beberapa anak tangga yang cukup banyak.

Orang-orang yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tampak tidak mempedulikannya pada saat ia masuk. Ruangan itu sangat besar, banyak tabung-tabung besar dan tingginya seukuran dua kali dirinya. Berjejer dengan rapi, dengan banyak selang-selang yang ukurannya juga besar.

"Selamat siang Mr. Saboru." Sapa Richard dengan ramah, dan Mr. Saboru masih terlihat sibuk dengan clipboard yang ia pegang sedari tadi.

"Siang Mr. Richard, akhirnya kau datang juga. aku dengar kau berada di India kemarin?" Saboru masih melakukan beberapa check list pada clipboard-nya. Bahkan seringkali ia mencoret panjang, dan menuliskan kembali apa yang ia pikirkan.

"Ya, ada beberapa hal yang harus kuselesaikan. Hampir saja, kalau bukan para pengganggu itu." Jelas Richard kesal.

"Sayang sekali bukan. Tapi setelah 24tahun, akhirnya kita mengalami kemajuan. Mereka menangkap salah satu dari mereka." Ucap Saboru dengan bangga dan Puas.

"Ya aku tau, yang aku dengar seperti itu. Tim X yang membawanya. Tapi apa kau yakin bahwa ini." Richard mendekati tabung, dan mulai menyentuh dinding tabung dengan tangan kanannya.

"Kosong, apa ini kosong?" Ucap Richard yang melirik ke arah Saboru, yang justru malah menyeringai ke arahnya.

Richard dengan cepat memandang kembali tabungnya. Cukup terkejut dengan apa yang ia lihat. Sebuah telapak tangan yang sangat besar dan jarinya panjang dan runcing menempel di dinding tabung. Warna jari jemarinya terlalu pucat, tampak tidak hidup.

Tidak lama, sebuah pasang mata muncul. Mata itu tidak bulat, dan meruncing di ujungnya. Warnanya hitam pekat, bahkan sosok tersebut tidak memiliki kelopak. Richard melangkah mundur, sedikit berhati-hati dengan apa yang ia lihat.

"Apa kau masih ragu?" Ucap Saboru dengan Puas. "Tenang saja, tabung ini aman dan bisa menahan energi yang mereka miliki."

Sosok tersebut seperti menatap Richard, Richard tidak melihat apapun selain mata dan tangan. Sisanya hanyalah kepulan asap berwarna biru.

"Apa bentuk mereka seperti ini?" Tanya Richard tidak yakin. "Tidak tentunya, tabung ini menahan energi mereka, dengan cara memecahkannya. Mereka tidak dapat kembali ke wujud mereka." Jelas Saboru.

"Aku harap kau mengerti, aku tidak perlu menjelaskan rumus dan hukum fisika kan?" Saboru menatap tidak percaya ke arah Richard.

avataravatar
Next chapter