1 Misteri Ruang Waktu

Jakarta, 11 Januari 1998

Jalanan padat seperti biasa. Pagi yang berdebu, sesak oleh suara nyaring kendaraan bermotor yang tiada hentinya mengepulkan asap hitam. Dari balik ramainya lalu lintas di kawasan Sarinah, gedung pencakar langit pertama di Jakarta, seorang laki-laki berusia 20-an tengah berlari kepayahan. Di belakangnya, dua laki-laki berbadan besar, berkacamata, serta berjaket hitam sedang berlari mengejarnya.

Pemuda itu bernama Ardani, pakaiannya lusuh dan lengket karena keringat di sekujur tubuhnya. Jantungnya berdetak cepat, napasnya sesak. Kehadiran Dani di tengah keramaian bukan tidak menarik perhatian, tetapi kebanyakan dari mereka lebih sibuk dengan urusannya masing-masing.

Beberapa menit yang lalu, Dani baru saja membasuh kakinya, bersiap untuk tidur di suatu tempat di tahun 2020 yang nyaman. Setidaknya di tahun itu dia tidak perlu berlari karena diburu oleh orang asing, dia juga tidak perlu khawatir akan makanan, atau setidaknya dia terlihat seperti pemuda pada umumnya. Meskipun sekali dia memejamkan mata, mimpi buruk menghantuinya.

Perempatan dekat gedung Sarinah tengah padat merayap. Ardani menengok kebelakang, dua orang itu masih mengejarnya. Langkahnya besar-besar, laksana robot yang takkan berhenti sampai tugasnya berhasil. Mungkin perkiraannya salah, tujuan dia berlari kemari adalah untuk mencari tempat ramai, dengan harapan orang-orang itu akan berpikir dua kali.

Tiba diujung jalan, Dani berhenti sebentar, bertumpu kaki. Napasnya tidak teratur, ia benar-benar kelelahan. Lampu lalu lintas masih menunjukan warna hijau.

"Ayo merah, merah, merah!" Serunya dalam hati.

Bodo amat ah. Dengan pandangan kabur -karena tetesan keringat yang jatuh di matanya- tanpa pikir panjang lagi dia menerjang padatnya jalanan. Meloncati satu dua moncong mobil, beberapa kali hampir tertabrak. Suara klakson pengemudi yang kesal saling bersahutan. Dengan susah payah, sampailah dia di seberang jalan, meskipun kedua kakinya benar-benar mau roboh. Ia tidak menengok kebelakang, Dani harus terus berlari. Hingga langkahnya tiba-tiba terhuyung, kedua kakinya saling mengikat satu sama lain. Membuatnya menabrak seorang pria paruh baya yang tengah menunggu taksi pesanannya.

Keduanya terjatuh. Dani hampir tidak bisa bangkit, beruntung lelaki paruh baya itu tak menghakiminya.

"Dek...Kamu gak papa?" Kata lelaki kantoran itu. Beberapa orang mulai mengerumuni mereka berdua.

Terengah-engah, Dani berbicara samar, "tolong Pak...Orang.."

Lelaki paruh baya itu tidak paham apa yang dikatakan Dani. Dia membantu Dani berdiri.

"Kacamata hitam, dua orang.." Kata Dani tertatih.

Laki-laki itu melihat sekelilingnya, tidak ada seorangpun memakai kacamata hitam. Lantas, lelaki itu membopong Dani untuk duduk di Halte Bus dekat mereka terjatuh tadi. Beberapa orang yang penasaran membubarkan diri.

"Makasih pak, makasih banget," Dani memegang tangan pria itu.

Sejujurnya, pria itu agak aneh dengan logat bicara Dani. "Nama saya Ridwan, panggil saja pak Ridwan. Nama kamu?"

"Ardani Pak"

"Rumahmu di mana?"

"Jl. Teluk Betung pak, belakang menara BCA..." Dani terdiam. Menara BCA itu belum ada di tahun ini.

Beruntungnya lelaki itu tidak menyadarinya.

"Ini saya ada minuman," lelaki itu menyerahkan botol air. Dani sebenarnya tidak enak untuk menerimanya. Tetapi dia sungguh kehausan. Alhasil, isi botol itu pun ludes dalam hitungan detik.

"Sebelumnya maaf ya nak Dani, saya harus pergi ke Kantor.."

Dani tersenyum, "iya pak, saya gak papa."

Sebelum berdiri, lelaki itu mengusap kemejanya yang kotor. Wajahnya begitu tenang, tampak tidak ada rasa marah sedikitpun dari wajahnya.

Dani merasa tidak enak, "maaf sekali pak, bajunya kotor"

"Gak papa, cuma kotor sedikit, dicuci juga bersih. Saya permisi dulu ya"

Ridwan berdiri, dia memandang pemuda itu sebentar. Melihat pakaian dan cara berbicaranya, jelas dia bukan gelandangan. Namun, dia juga bukan orang dalam kondisi yang baik untuk ditinggalkan. Namun, Ridwan harus pergi ke kantor sekarang jika tidak ingin disemprot bosnya.

***

Pukul setengah 7 pagi. Di sebuah rumah di kawasan Menteng, seorang Gadis masih terlelap, terbuai oleh kehangatan kasur, serta semilir angin dari jendela yang semalam lupa ditutupnya. Tirai melambai-lambai, terasa damai bagi gadis itu. Tidak ada yang mengganggunya, dunia ini miliknya.

"Wulan... Bangun..." Teriak seorang wanita 30 tahunan dengan nada tinggi yang panjang. Gadis itu mengendus, menutup kepalanya dengan bantal.

"Ibu mau berangkat kerja, kamu ada mata kuliah jam berapa?"

"Siang Bu..." Kata Gadis itu.

"Nanti Ibu pulang awal, kita keluar makan ya. Jangan ambil sambilan malam lagi, kamu jadi kecapean. Kamu udah pernah naik taksi belum, Ibu punya voucher daripada nganggur nanti kamu pake aja, ibu tinggal di meja makan vouchernya. Oh ya, jangan lupa makan, semalam jendelanya nggak kamu tutup kan, nanti kalau ada abang-abang ngintip loh."

Wulan mendengus. Dengan kepala masih tertutup bantal, dia berkata. "Matanya udah sakit duluan kali Bu."

Ibunya tersenyum. Dengan langkah perlahan, wanita itu mendekati tempat tidur Wulan. Memeriksa jam beker yang telah diatur untuk menyala jam 9 nanti. Wanita itu memutarnya setengah jam lebih awal.

Mereka berdua sama-sama menghembuskan napasnya. Wanita itu menyentuh pundak gadis itu. "Ibu berangkat dulu ya..."

Dua Jam kemudian, jam beker Gadis itu berbunyi. Pukul 08.30. Mata kuliahnya jam 10, perjalanan paling hanya setengah jam pakai sepeda, dia masih punya waktu banyak waktu untuk tidur. Wulan mematikan alarm jam itu.

***

Gadis itu bangun, mengucek matanya. Tidak biasanya dia bangun di siang bolong macam ini. Namun semalam benar-benar melelahkan. Untuk meringankan beban ibunya di tengah krisis moneter, dia mengambil sambilan di sebuah restoran cepat saji. Karena tugasnya yang menumpuk kemarin, dia terpaksa mengambil jam malam.

Wulan beranjak dari tempat tidurnya. Menggaruk rambutnya yang masih kusut. Meregangkan badannya, suara patahan tulang bergemeletuk. "Aaoh, wow wow woh."

Dengan langkah malas dia membuka pintu kamarnya. Baru beberapa detik keluar, gadis itu berteriak.

Dia menerjang pintu kamarnya, menghampiri jam beker kesayangannya.

"Aduh, tuh kan... Telat, kamu sih!" Katanya kesal, mengutuk jam bekernya.

Ia bergegas berganti pakaian dan meraih tasnya. Dengan langkah tergesa, gadis itu melangkah menuju meja makan. Membuka tudung saji. Ada semur ayam, makanan kesukaannya, sayang kalau dia lewatkan. Ia menyempatkan mengambil kotak bekal di dapur dan hanya mengambil ayamnya saja tanpa kuah. Kemudian dia menutupkan tudungnya lagi.

Dia sudah menuntun sepedanya keluar sebelum teringat voucher taksi yang dikatakan ibunya. "Butuh lebih dari setengah jam kalau aku pakai sepeda, jam 10, bismillah, semoga gak macet." Katanya dalam hati.

Segera dia mencomot voucher di meja makan. Berlari menuju jalan raya. Beruntung sekali, dia menjumpai taksi yang baru menurunkan penumpang.

"Kosong kan Pak?" Tanya Wulan.

"Kosong neng, sok kalau mau naik." Sahut supir taksi itu. Dia masih muda, berkacamata minus, dan memiliki senyum yang menjengkelkan.

Sebelum melangkah masuk, untuk meyakinkannya, dia bertanya. "Saya punya Voucher, boleh kan Pak?"

"Boleh neng, sok atuh, kita berangkat!" Gadis itu menaiki taksi sambil tersenyum. Setelah menutup pintu, udara dingin seakan menenangkan hatinya.

"Kemana neng?" Kata sopir taksi itu.

"UNJ Pak"

***

Ardani dapat bernafas lega. Beruntung dia tadi bertemu pria baik itu. Bus berhenti tepat setelah pria tadi mendapat taksinya. Ardani menyelinap ke dalam Bus itu, entah kemana tujuannya saat ini. Yang terpenting sekarang adalah menghilang sejauh mungkin.

Di perjalanan itu, Ia menyaksikan jalanan di tahun yang asing baginya. Mobil-mobil jepang belum terlalu mendominasi saat ini, waktu luang tanpa ponsel genggamnya dihabiskan untuk membaca tiap merek kendaraan yang melintas, Ford, Volvo, Peugeot, Audi. Hingga tak lama kemudian, tubuh lelah itu mengantarkannya untuk terlelap.

Jakarta, 11 Januari 2020

Ardani terbangun dari tempat tidurnya. Sebuah kamar yang hangat dan nyaman. Meskipun sekujur tubuhnya basah karena keringat. Pakaiannya bahkan sama basahnya ketika dia lari maraton. Tubuhnya kelelahan meskipun secara fisik baru terbangun dari tidur.

Entah sejak kapan Ardani tidak bisa tidur dengan tenang, ia tidak ingat. Yang jelas, tubuhnya seakan tidak pernah tidur, loncat dari sana ke sini, seakan dia hidup dalam dua waktu.

Malam itu, masih pukul 11 malam. Ardani mencari ponselnya, mencari temannya yang masih terjaga, untuk sekedar mengusir kantuk. Dani masih mengira bahwa dia hanya mengalami lucid dream, tetapi semakin hari, mimpinya nampak seperti kehidupan nyata.

Dia berharap menemukan jawaban yang logis tentang kondisinya, psikiater mungkin bukan pilihan yang tepat jika tidak mau dibilang sinting, tapi berlangganan aplikasi tanya jawab dokter pun bukan pilihan tepat.

Pukul 12.00, dia berusaha tidak tertidur. Sesekali dia berdiri, meloncat-loncat kecil, sit-up, push-up. Tetapi rasa kantuk membawanya terbaring tanpa sadar di lantai kamarnya.

Jakarta, 11 Januari 1998

Ardani terbangun. Bus tengah berhenti untuk menurunkan penumpang. Dani menengok luar, banyak pemuda seusianya, mungkin ini kampus atau semacamnya.

Beberapa penumpang turun, Ardani mengamati kenek bus, dia berdiri di pintu depan. Menarik uang bus. Ardani menengok ke belakang, pintu belakang tampaknya tertutup. Dia menyelinap menuju belakang bus, merangkak. Beberapa orang di bangku belakang melihatnya. Ardani menempelkan telunjuk tangan ke bibirnya, memohon kepada mereka untuk tidak mengadu. Kebanyakan dari mereka membiarkan Dani -mungkin karena kasian. Dia membuka pintu belakang dan segera bergegas keluar.

***

"Sampai neng!" Kata sopir taksi itu.

Gadis itu memberikan lembaran kertas itu. Lalu bergegas keluar.

Sopir taksi itu berteriak. "Neng, tunggu!"

"Kenapa Pak, ada kembaliannya ya!" Serunya sambil tersenyum.

"Ini mah kadaluwarsa neng, promo tahun baru ini mah." Kata sopir itu.

"Ah masa Pak..." Gadis itu mulai bingung, sekaligus malu.

Sopir taksi itu memperlihatkan voucher itu, tampak tertulis 25 Desember 1997-05 Januari 1998.

Gadis itu menggaruk kepalanya. "Masak gak bisa diperpanjang sih pak?"

"Emangnya ini apa neng, diperpanjang!" Seru sopir taksi itu.

"Tukar tambah deh..." Wulan tetap saja protes.

"Yaudah, boleh"

Wulan tersenyum lega. "Berapa pak totalnya?"

"54.789 di kargonya. Vouchernya saya hargai 500 perak jadi 54 aja neng." Kata sopirnya.

Wulan tersenyum pahit. Dia merogoh sakunya yang dalam, itu bayarannya lembur semalam. Di awal tahun 1998, nilai tukar rupiah 6.000 per dolar, ini merupakan awal dari krisis moneter.

Dengan wajah sedih, dia menyerahkan uangnya. Tidak lupa dengan senyum. Masam. Gadis itu keluar dari taksi. Mendapati seseorang pemuda yang sedang berlari kepayahan-

***

Selang beberapa detik Ardani keluar bus. Sopir yang memergokinya berteriak.

"Woi, Bayar!"

Kenek bus segera menyusul, dia muncul dari depan bus dan langsung mengejarnya. Ardani yang kesal memaki sopir itu. Lantas dia berlari. Lagi.

Tiba di depan jalan masuk Universitas Negeri Jakarta, pandangan Ardani agak teralihkan ketika seorang gadis keluar dari Taksi. Orang kaya pasti, Pikir Dani. Tiang pun hampir ditabraknya akibat tidak melihat jalan.

"Maling!" Kenek Bus itu meneriaki Dani.

Beberapa preman sekitar mulai membantu mengejarnya. Kali ini, Ardani tidak tahu harus apa.

BERSAMBUNG...

avataravatar
Next chapter