webnovel

Lean On You

Hujan turun dengan deras tanpa permisi, seolah langit ikut menangis setelah menyaksikan kehidupan pahit gadis itu. Menghujam seluruh tubuhnya, membuatnya basah kuyup dalam hitungan menit. Tidak ada satu pun hal yang membuatnya berhenti berlari, seolah memang ada kebahagiaan di akhir langkahnya nanti. Suara decitan mobil terdengar sangat jelas, ujung mobil nyaris menabrak tubuhnya yang sekarang berdiri diam di tengah jalan, tubuhnya bergetar karena kedinginan dan terkejut dengan kejadian yang sangat cepat. Bukan kebahagiaan yang menunggunya di langkah terakhir.

Ripanii · Teen
Not enough ratings
10 Chs

10. Special

Seluruh murid TK berlarian keluar ruangan kelas dan melangkah menuju orang tuanya masing-masing yang setia menjemputnya setiap hari, tidak dengan seorang anak perempuan yang wajahnya melukiskan kesedihan, tidak ada yang menjemputnya, tidak ada ayah, tidak ada ibu, tidak ada siapapun. Merasakan hal seperti yang dirasakan teman seusianya mungkin tidak akan pernah terjadi. Menjadikannya anak perempuan pemurung yang jarang menampakkan senyuman.

"Reina," seorang anak laki-laki berdiri di hadapannya, tersenyum sangat lebar sampai gigi ompong yang belum tumbuh lagi itu terlihat. Anak perempuan itu tidak menjawab, dia melipat kedua tangannya di depan dada, menunggu hal apa lagi yang akan anak lelaki itu katakan. "Kakakku bilang, jangan biarin orang lain kesepian, jadi ayo temenan," ujarnya dengan senyuman yang semakin lebar.

"Ga mau," jawabnya singkat bersamaan dengan langkah kaki menjauhi titik berdiri anak lelaki itu. Anak lelaki itu tidak langsung menyerah, dia berlari mengejar langkah anak perempuan tadi. "Apa lagi?" anak perempuan itu menghentikan langkahnya setelah menyadari anak lelaki itu berjalan di sampingnya.

"Mau nganterin kamu pulang, kita temenan kan," jawabnya. Anak perempuan itu, Reina rasanya gemas ingin menutup bibir anak lelaki itu yang terus menyunggingkan senyuman dengan mulutnya, entahlah Reina tidak tahu apa yang bisa membuat anak lelaki seusianya itu tersenyum sangat lebar.

"Ga. Mau." Jawabnya, menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya, "Aku bilang ga mau," ujarnya lagi menegaskan.

Kedua anak itu berdebat kacil, satu pihak teguh dengan keinginanny untuk berteman dan satu pihak lain menolak tegas, hal kecil yang dianggap hal besar bagi anak-anak. Hingga seorang gadis berseragam SMA datang dengan dua es krim strowberry di tangannya, "Kalian mau es krim?"

Reina membuka matanya perlahan, ingatan itu lagi, ingatan yang sering muncul dalam mimpinya, seperti film rusak yang terus mengulang di adegan yang sama. Dia memejamkan matanya lagi, merasakan cahaya yang berusaha menembus gorden lalu membelai kulitnya. Terasa hangat, hangat yang sudah lama tidak dia rasakan dalam hatinya.

Tidak ada waktu untuk mengasihi diri sendiri, tidak ada lagi waktu untuk menyalahkan takdir. Dia bangkit dari ranjangnya, membuka gorden yang berada di samping ranjangnya, membiarkan cahaya masuk dengan leluasa, lalu langkahnya dilanjutkan menuju kamar mandi di pojok kamarnya. dia harus bangkit, sendirian.

***

"Ini," Ghani menyodorkan kotak bekal berwarna biru pada Reina yang malah meresponnya dengan mengangkat alisnya.

Dia sedang berada di taman fakultas MIPA, salah satu tempat yang sering dikunjungi mahasiswa fakultas ini, entah itu untuk mengerjakan tugas kelompok, melakukan diskusi, atau hanya duduk dan mengobrol. Tempatnya yang tenang dan sejuk membuat siapapun akan merasa nyaman untuk duduk ditempat ini meskipun berjam-jam lamanya.

Tanah yang dipenuhi rumput hijau dan terpotong rapih dan pohon-pohon yang berdiri menjulang tinggi mempunyai tangan-tangan yang bisa melindungi orang-orang yang duduk dibawahnya dari sinar matahari atau bahkan tetasan hujan, memberikan gambaran estetika yang indah.

"Dari ibu, dia bilang mungkin aja kamu ga keburu bikin sarapan,"

Gadis itu tidak langsung menerima kotak bekal itu, dia hanya menatap kotak itu lekat. Setelah sekian lama, dia kembali merasakan perhatian dari seseorang. "Kenapa?" lelaki itu meletakkan kotak bekal itu di atas pangkuan Reina.

"Ah ternyata begini rasanya" ujarnya tiba-tiba, dia menengadahkan kepalanya menatap langit di balik daun-daun yang menghalangi, seolah menjadi cara menahan ari matanya yang ingin tumpah, mungkin ini terdengar sangat berlebihan, tapi sangat mengharukan untuknya. "Awan gelapnya terlalu banyak," ucapnya.

"Apa?" tanya seorang lelaki yang duduk disampingnya, menoleh pada wanita itu. Tidak mengerti dengan arah pembicaraan yang gadis itu mulai. Tatapannya berpaling menatap objek yang juga gadis itu lihat. Tidak ada awan gelap, berbanding terbalik dengan yang gadis itu ucapkan.

"Butuh hujan yang deras dan waktu yang lama untuk membuatnya kembali putih, langit kembali dengan warna asalnya. Aku, terlalu banyak rasa sakit karena cinta, menciptakan awan gelap yang terus membisikan kata, 'tidak ada cinta, semua orang akan pergi dengan sendirinya', aku terlalu takut untuk melanggar," jelasnya, lelaki itu menoleh padanya, menatapnya dengan sorot matanya yang lembut.

"Aku bisa jadi cahaya, sinar matahari, membantumu kembali cerah," ujarnya.

Gadis itu menoleh pada lelaki disampingnya yang tengah tersenyum, "Kamu tahu, sinar matahari malah menambah uap air di udara dan awan hitam semakin hitam?"

"Lalu akan terjadi hujan lebat, langit kembali cerah, kembali menjadi awan gelap, terus seperti itu" jawabnya. Reina menoleh pada lelaki itu yang juga sedang menatapnya. "Dunia itu adil" bibirnya melengkung membentuk senyuman, "Ia nyiptain duka dan suka, nyiptain air mata dan senyuman,"

"Aku cuma kenal air mata," jawabnya, dia menurunkan pandangannya, menatap sepatu putih yang sedang dia kenakan, objek yang menjadi pelarian setelah matanya beradu pandang dengan lelaki itu, menetralkan lagi degup jantungnya yang semakin gila, mungkin ada hal yang tidak beres dengan jantungnya, dia harus bergegas mengumpulkan uang dan memeriksa kesehatan jantungnya.

"Kamu juga bakal kenal senyuman juga,"

"Kapan?"

"Segera" jawabnya dengan senyuman yang semakin melebar.

Diam-diam bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil, mungkin ucapannya benar. Gadis itu cepat-cepat menggelengkan kepalanya, seolah menjadi salah satu cara untuk menapis perasaan dan keyakinan yang terbesit dalam dirinya.

"Kenapa?" lelaki itu kembali bersuara, diikuti dengan mengacak-acak pelan rambut Reina yang tergerai, lalu tertawa kecil saat si empunya menatapnya dingin. "Imutnyaaa," Ghani tidak takut sama sekali, dia malah menambah kekesalan Reina karena mencubit pipinya.

Sekarang dia tidak lagi hanya menatap lelaki itu dingin, tetapi membalasnya dengan mencubit balik kedua pipi lelaki itu sekuat mungkin. Membuat Ghani meminta untuk dilepaskan, tetapi Reina tidak mau dengar, dia akan berhenti sampai kekesalannya hilang. "Aaa.. mau es krim?" ujar lelaki itu, tidak terlalu jelas hal yang dia katakan tapi Reina bisa memahaminya dengan baik.

Cubitannya melonggar, bukan karena dia tertarik untuk membeli es krim, tetapi satu hal kecil yang membuatnya teringat seseorang. "Gilang?"

***

Mira menonton setiap adegan yang dilakukan dua insan manusia yang sibuk dengan dunianya, tawa renyah lelaki yang menjadi temannya sejak beberapa tahun yang lalu membuatnya senang sekaligus sedih. Dia senang akhirnya menemukan seseorang yang selama ini dia tunggu, dia sedih karena mereka terlihat serasi bersama.

Melihatnya seperti ini, dia ingin menarik lelaki itu menjauh dari seseorang yang menurutnya sangat berharga sejak dulu, dia ingin menarik lelaki itu dan membuat kenangan bersama hingga lelaki itu lupa keberadaan wanita itu, dia ingin menarik lelaki itu dan menggantikan posisi Reina.

Ghani menyukainya? Ya, cinta sesaat, itu hal yang Mira yakini, lelaki itu tidak benar-benar menyukai dan mencintainya. Cinta sejatinya adalah dia.