1 ~ 1 ~

"Maaf" berulang kali hanya kata itu saja yang terus terucap dari bibirnya. Sejujurnya tak pernah terpikirkan oleh ku, kejadian ini akan terjadi. Aku tak pernah membayangkan bahkan aku tak ingin membayangkan bagaimana hidup tanpanya. Aku tak ingin membayangkan melewati hari tanpa dirinya disisiku. Aku tak ingin membayangkan bagaimana melewati hubungan jarak jauh ini.

Aku sudah sangat rapuh, maka dengan kepergiannya membuat ku semakin rapuh dan tak berdaya.

Aku menarik napas dalam-dalam. Memijat pelipis ku yang mulai berdenyut-denyut.

"Aku janji akan sering pulang untuk menemuimu." Dia mengusap pelan kepala ku. Mengatakan padaku bahwa dirinya juga tak sanggup untuk meninggalkan ku.

Jujur saja, kepergiannya untuk mengambil program Master di sebuah perguruan tinggi di Belanda tidaklah benar-benar mendadak. Dia sudah pernah menceritakannya pada ku, bahwa kedua orangtuanya ingin dirinya pergi untuk menimba ilmu disana.

Namun aku tak menyangka bahwa dirinya benar-benar akan pergi jauh. Bahkan sangat jauh, hingga aku tak bisa lagi menjangkaunya.

"Hei, bicaralah. Jangan diam saja. Tolong jangan seperti ini pada ku. Aku tau ini sulit bagi kita berdua. Namun aku juga tak ingin membuat orang tua ku kecewa." Dia meletakkan jarinya di dagu ku, dan mengangkat wajah ku yang menunduk.

Pasti saat ini aku terlihat sangat rapuh dan lemah. Mata ku tak bisa berhenti berkaca-kaca. Bahkan aku merasakan pandangan ku kabur karena air mata yang ku tahan.

"Maafkan aku" dua kata itu benar-benar membuat ku tak bisa lagi menahan air mata ku. Namun aku menyadari bahwa diriku telah berada dalam pelukannya.

Aku hanya bisa menangis, mengeluarkan semua emosi yang sudah ku pendam. Aku memeluknya erat-erat, merasakan hangat tubuhnya. Merasakan bagaimana kerasnya degup jantungnya. Sedangkan dirinya mengelus pelan punggung ku seraya menenangkan diriku.

Aku mendengar kata "maaf" yang tak pernah berhenti terucap dari dirinya. Kata-katanya terdengar lirih dan bahkan suaranya terdengar serak.

Aku pun segera melepas pelukannya, dan kulihat ekspresi pada wajah tampannya. Ekspresi sedih, pasrah yang belum pernah aku lihat selama ini. Selama ini, saat sedang bersama ku, dia tak pernah menunjukkan kesedihannya. Selalu terlihat bahagia. Aku selalu terkagum-kagum pada dirinya yang mampu menyembunyikan semua kesedihannya. Namun hari ini, aku melihat sisi rapuh pada dirinya. Mata itu terlihat jelas memancarkan kesedihan, kerapuhan dan kepasrahan.

Aku tak ingin bersikap egois dengan menahannya untuk tidak pergi. Bagaimanapun juga ini semua demi rasa bakti pada orangtuanya. Jujur saja, aku tak pernah melakukan hal itu, karena aku sedari kecil tak mengenal siapa orang tua ku. Walaupun aku belum pernah melakukannya, namun aku sangat menyadari betapa pentingnya berbakti pada orangtua, terutama Ibu yang telah merawat kita.

Aku membuka mulutku hendak berbicara. Namun belum sempat aku melakukan nya. Sebuah ciuman mendarat di bibir ku. Melumat bibir ku pelan lalu melepaskannya. Bahkan rasa pasrah dan putus asa yang dirasakan dirinya terasa jelas pada ciumannya di bibir ku.

"Violet. Kedepannya aku tak lagi berada di samping mu. Tak lagi bisa menemani disetiap tidur malam mu. Tak lagi bisa menggenggam tangan mu bahkan aku tak lagi bisa merasakan manis bibir mu. Bahkan kau tak lagi bisa bergantung pada ku. Walaupun banyak orang mengatakan bahwa hubungan jarak jauh itu tidak akan berhasil, namun aku ingin percaya kita bisa melewatinya." Gilbert menyentuh pelan pipi ku. Tangannya yang hangat itu membelainya pelan.

"Aku juga ingin percaya bahwa kita bisa melewatinya." hanya kalimat itu yang bisa kuucapkan. Aku juga ingin percaya bahwa aku bisa melewati hubungan jarak jauh ini. Aku ingin percaya bahwa aku sanggup menahan semua rasa rindu yang panjang.

"Terima kasih." Gilbert tersenyum lembut pada ku, lalu menarik napas dalam-dalam.

"Apa aku bisa mendapatkan izin untuk menginap disini malam ini?" Gilbert tersenyum jahil. Baginya aku adalah seseorang yang sangat berarti pun sebaliknya bagiku. Gilbert adalah orang yang sangat berarti untukku.

"Tentu." Aku tertawa pelan menjawab pertanyaannya.

****

Malam sudah semakin larut, namun aku tidak kunjung tertidur. Aku masih memikirkan bagaimana menjalani hidup ku tanpa dirinya. Aku menghela napas pelan. Meyakinkan pada diriku sendiri bahwa semua ini dilakukannya demi rasa bakti itu.

Aku pun memutuskan untuk keluar kamar dan menuju kamar tamu, tempat Gilbert tidur.

Saat sedang menginap, Gilbert akan tidur di kamar tamu. Sedangkan aku tidur di kamar utama. Walaupun kami sudah menjalin hubungan cukup lama. Namun Gilbert tak pernah melewati batasnya.

Aku benar-benar bersyukur memiliki dirinya disisiku.

Saat sampai di depan kamar tamu. Dengan pelan aku memutar kenop pintu dan membukanya.

Aku pun melangkahkan kaki dengan pelan agar aku tak sampai membangunkan dirinya. Kemudian aku duduk di pinggiran ranjang itu.

Dengan seksama aku memperhatikan dirinya yang tertidur pulas. Tanpa sadar aku menyentuh wajahnya. Alis, mata, hidung, bibir. Semua ku telusuri satu persatu. Untuk kedepannya, kesempatan seperti ini tidak akan ada lagi.

Kembali aku menghela napas. Aku sendiri tak mengerti, selama satu hari ini sudah berapa kali aku menghela napas.

"Mengapa kau menghela napas mu?" Aku terlonjak kaget dan dengan spontan berdiri menjauh. Rasanya jantung ku berdegup dengan sangat kencang karena terlalu terkejut. Bahkan aku merasakan darahku berdesir karena terkejut.

"Kau membuat ku terkejut, Gilbert." Aku menarik napas pelan seraya mengatur degup jantung ku. Aku meletakkan kedua tangan ku di dada ku yang masih saja berdetak dengan hebatnya.

"Maafkan aku. Kemarilah. Aku tak bermaksud menakuti mu." Gilbert meminta ku untuk mendekat kearahnya, aku pun dengan gemetar berjalan ke arah Gilbert.

Lalu tanpa aba-aba, Gilbert sudah menarik ku ke dalam pelukannya. Dengan posisi berbaring, Gilbert memeluk ku.

"Apa kau tidak bisa tidur?" Gilbert mengelus lembut rambut pendek ku. Aku pun hanya mengangguk sebagai balasan.

"Apa kau ingin mendengar aku bercerita?" mendengar itu aku mendongakkan kepala ku melihat ke arahnya, namun dirinya menutup matanya.

"Tentang apa?" aku bertanya, karena jarang-jarang Gilbert ingin bercerita.

"Kalau begitu dengarkan saja aku bercerita." Gilbert memulai ceritanya. Aku kembali menenggelamkan wajahnya ku di dadanya yang bidang sembari mendengarkan nya bercerita.

Ternyata, Gilbert bercerita tentang masa sekolahnya ketika di sekolah dasar. Menceritakan betapa dirinya dulu sangat nakal, menceritakan tentang kejadian lucu yang dialaminya selama masa sekolah itu.

Aku yang mendengar cerita lucu itupun tertawa terbahak-bahak, begitupun Gilbert. Dirinya tak berhenti tertawa mengingat kembali kejadian itu.

"Lucu sekali. Apa kau benar-benar mengalaminya?" kataku disela-sela tawa ku.

"Itu benar, Violet. Kejadian itu benar-benar masih teringat jelas dalam ingatan ku."

Aku menarik napas agar aku berhenti tertawa. Tangan kekarnya masih memeluk ku dengan erat.

"Lalu, kejadian lucu apalagi yang kau alami?" Aku mendongakkan lagi wajah ku dan bertanya lagi padanya. Aku ingin lagi mendengarkan cerita tentang dirinya dulu.

Kulihat Gilbert yang membuka matanya, sepertinya pikirannya menerawang jauh ke masa lalunya. Lalu kulihat Gilbert yang tersenyum lebar. Dan mulai bercerita tentang kejadian lucu lainnya yang terjadi dalam hidupnya.

Aku pun lagi-lagi terbahak-bahak karena cerita Gilbert. Sampai kurasakan perut ku sakit karena tertawa. Sejenak aku melupakan kesedihan ku akan kepergiannya.

"Sudah-sudah. Aku tak akan bercerita lagi. Ayo kita tidur saja." Gilbert mencium pelan puncak kepala ku. Lalu mengatakan kalimat yang sejujurnya sangat ingin ku dengar.

"Aku mencintaimu, Violet." Kurasakan senyum pada bibir ku dan ku balas ungkapan itu.

"Aku juga sangat mencintai mu, Gilbert."

Lalu aku menutup mata ku dan dengan begitu saja tertidur.

avataravatar