12 BAGIAN 12

Siang silih berganti, langit tampak gelap, bintang pun tak kelihatan malam ini. Suasana mendung menyelimuti kota. Sepertinya hujan deras akan mengguyur seluruh kota.

Axel mengemudikan mobilnya membelah jalanan kota yang mulai gerimis. Dia berpakaian rapi dilengkapi  dengan rambut yang disisir kebelakang membuatnya terlihat seperti bukan Axel yang biasa. Ini gaya rambut terbaru, orang salon bilang jika model rambut seperti ini cocok dengan wajah Axel yang terlihat dingin.

Sekitar 30 menit, akhirnya ia sampai di tempat tujuan. Ia turun diloby kemudian memberikan kunci mobilnya kepada petugas valey. Sejenak ia merapihkan kembali jas yang ia pakai sebelum memasuki gedung tersebut.

Belum sempat Axel melangkahkan kakinya, tiba tiba seseorang memanggilnya dari belakang.

"Hey Axel" sapanya

Axel pun menoleh, mendapati Willy sedang berjalan kearahnya.

"Kau juga datang kesini?" Tanya Axel yang hanya dibalas dengan anggukan

"menggantikan ayah" sahut Willy

Melihat kedua orang ini berdiri bersama rasanya seperti melihat sepasang pangeran dari negeri sebrang. Tak ada cela untuk berada di antara keduanya seakan akan mereka tengah membangun benteng yang hanya bisa ditembus oleh orang orang sepantaran mereka.

Mereka berbincang cukup lama sembari menunggu acara dimulai. Orang orang mulai berdatangan dari segala arah. Ini adalah pesta relasi yang diadakan oleh salah satu pebisnis di kota.

"Hai, Axel. . ." Panggil seorang wanita yang mampu mengalihkan obrolan panas antara Axel dan sepupunya.

"Nyonya Dederick, bagaimana  kabarmu" Axel balik menyapanya dengan penuh senyuman

"Apa aku tidak salah lihat? Tumben kau datang di pesta kecil seperti ini" ucapnya disertai tawa

Axel menggaruk lehernya yang tidak gatal. Semua perkataan wanita berumur itu memang benar dan Axel tidak menyangkalnya. Ia memang tidak pernah datang kepesta manapun yang berbau bisnis jika tidak terlalu penting atau tidak menguntungkan baginya.

Lalu malam ini?

Ini hanyalah  pesta relasi yang dibuat oleh perusahaan A agar ia mendapat investor atau mungkin mendapat sponsor agar bisnisnya dapat berkembang lebih besar lagi.

Sedangkan Nyonya Dederick sendiri adalah pemimpin perusahaan yang biasa memberi kesempatan pada usaha usaha rintisan. Salah satunya adalah perusahaan ini, mengingat Nyonya Dederick adalah investor pertamanya, mereka tidak mungkin mengabaikan beliau begitu saja.

Nyonya Dederick terlihat sangat menantikan jawaban Axel. Ia begitu penasaran, hal baik apa yang membawanya sampai datang kesini, apalagi kondisi diluar sedang hujan deras. Orang orang akan memilih untuk menonton TV dirumah ditemani dengan secangkir cokelat panas, kan? Atau mungkin mereka bisa tidur di kasur yang empuk dan membungkus diri mereka dengan selimut tebal.

"Karena mereka mengundangku, mungkin?" balasnya kikuk

"Aishhh.. aku juga sering mengundangmu tapi kau tidak pernah datang. Aku yakin ada sesuatu yang mendorongmu untuk datang kemari"

"Aku menginginkan jawaban yang jujur" bisiknya lagi dengan suara yang sangat pelan

"Ah, maafkan aku soal itu. Anda selalu mengundangku disaat aku sedang sibuk" balas Axel

"Lalu alasan aku datang kemari adalah... ummm aku.. mengantarkan temanku, Harold . . . Flower. Dia ingin mengenal hal seputar investor karena ia ingin membangun perusahaan sendiri nanti" jawab Axel langsung merangkul Willy. Sedangkan Willy yang tidak tau apa apa hanya tersenyum dan mengangguk angguk saja. Bahkan namanya saja asal diganti oleh Axel menjadi Harold Flower dan ia terima terima saja.

Nyonya Dederick memincingkan sebelah matanya. Gelagat Axel nampak tidak meyakinkan.

"Jadi kau sedang mencari investor, huh?" Tanya beliau mendekatkan dirinya pada Willy, memandangi pria itu dari atas sampai bawah.

Willy kembali menganggukan kepalanya karena ia merasa jika Axel sedang melotot kearahnya.

'oh sial... suasana apa ini?' batin Willy karena sejak tadi merasa jika atmosfir diantara mereka sangatlah berbeda. ia pun juga jadi terintimidasi karenanya.

"Baiklah... aku ada kenalan. Dia senang membantu para jiwa muda dalam menjalankan usaha rintisan. Um, tunggu sebentar akan kucarikan dia" katanya kemudian pergi mencari seseorang.

Kedua pria itu menghela nafas lega. "Kenapa kau selalu bertindak seenaknya saja?" Protes Willy

"Maaf. Kalau dia tau jika kau anaknya paman, dia pasti akan menggila" bisik Axel

"Kenapa bisa begitu?"

"Nyonya Dederick itu dulunya pacar ayahmu. Dia dicampakkan oleh paman. Dan mirisnya ibumu adalah sahabat dari Nyonya Dederick itu sendiri. Jadi kau pasti bisa membayangkan kalau jadi beliau" kata Axel

"ahh.. jadi begitu" ucap Willy pada akhirnya.

Tak lama kemudian Nyonya Dederick kembali bersama pria berumur 40 tahunan.

"Ini yang kubilang tadi. Axel kenalkan, dia Robert Woods anak didikku dulu. Dan Robert, dia Axel pemimpin perusahaan Lausel. Sedangkan dia, Harold Flower, teman Axel" ucapnya saling mengenalkan.

Axel sedikit tercengang. Dunia begitu sempit ternyata. Mau bagaimanapun juga ia harus berpikiran positif.

"Bulan depan dia akan menikah jadi kalau ada yang ingin ditanyakan tanyakan saja sebelum ia sibuk dengan istrinya nanti" bisik Nyonya Dederick pada Axel.

"Oh hei, aku bahkan belum memberitahukannya padamu. Bagaimana kau tau??" Protes Robert

Nyonya Dederick hanya tertawa ringan. "Isu beredar sangat cepat, sayang" jawabnya

"Oh, selamat tuan. Semoga pernikahanmu kali ini akan lebih bahagia" sahut Willy

"Tidak. Kau salah, nak. Aku tidak akan menikah lagi. Kita hidup cuma sekali, mati sekali, dan menikah pun juga harus begitu" ucap Robert.

"Kau benar, ahaha" sahut Willy

Mereka membaur dengan cepat. Pendekatan secara perlahan tentunya harus disertai dengan penghubung yang kuat. Namun tiba tiba saja seorang wanita cantik menghampiri mereka dan merangkul tangan Robert tanpa memperhatikan orang orang di sekitarnya. Dia nampak anggun dengan minidress warna merah yang ia pakai. Dikatakan menor, riasannya justru lebih mengarah ke kuat dan berani serasi dengan warna bajunya. Mereka terlihat mesra jika dilihat berdampingan.

"Ini kah calonmu?" Tanya Nyonya Dederick nampak terkejut.

Bagaimana tidak terkejut? Wanita ini terlihat sangat muda, hubungan mereka lebih cocok sebagai ayah--putrinya dibanding sepasang kekasih.

"Sudah kubilang dia bukan calonku. Aku hanya menikah sekali jadi, tolong hargai itu, Nyonya haha. Kecuali jika kau mau, aku tidak akan menolak" ucap Robert bercanda.

"Tidak terima kasih" tolak Nyonya Dederick yang dibalas dengan tawa oleh yang lain.

"Maaf kalau aku tidak sopan. Aku tidak terlalu  memperhatikan. Kenalkan, aku Alice Diora" ucapnya dengan nada yang manis.

Alice memperhatikan orang orang satu persatu dengan jeli. Kemudian Ia menatap mata mereka seakan ingin memperkenalkan dirinya lebih jauh. Hingga ia terhenti pada tatapan tajam dari seseorang disana. Tubuhnya terpaku, rasanya sulit sekali menggerakkan setiap bagian  tubuhnya. Untuk bernafas pun kelihatannya juga sulit. Wajahnya juga langsung pucat pasi sehingga orang orang langsung menyadarinya.

"Alice, kau tidak apa apa?" Tanya Robert khawatir karena Alice terus memegangi kepalanya.

Sedangkan wanita itu masih menatap kesatu titik di hadapannya. Tempat berdirinya Axel.

"Ya, aku baik baik saja. Aku akan duduk disana. Temui aku jika kau sudah selesai" kata Alice

"Maaf jika aku mengganggu kalian" ucapnya lagi kemudian pergi.

"Tidak. Kita sama sekali tidak terganggu, nona. Ayo tuan dan nyonya, sebaiknya kita mencari tempat duduk yang kosong dan menemani nona ini. Apakah ada yang keberatan?" sahut salah satu dari mereka.

"Tidak terima kasih nyonya, aku sangat menghargai itu. Aku baik baik saja, sungguh. Kepalaku hanya sedikit pusing karena belum makan" kata Alice.

Tapi sayang hidup tidak semulus itu. Seberapapun Alice menolak, justru mereka lebih menawarkan diri mereka dengan alasan sepele.

Dan disinilah mereka sekarang. Duduk di kursi sofa dan minum wine bersama sembari melanjutkan obrolan  yang tadi sempat terhenti.

Semua terlihat senang, kecuali Axel dan Alice. Muka mereka sangat tegang dan kaku.

'Tanpa disadari, semuanya sudah terbongkar dengan sangat mudah. Sepandai pandainya tupai melompat, ia akan jatuh juga. . .Ya kan, Alice?' Batin Axel yang terus menatap tajam kearah Alice sejak tadi.

avataravatar
Next chapter