webnovel

Pelamar

Beberapa hari kemudian.

Masa liburan Maya di Malaysia sudah berakhir, dan kini dia kembali disibukkan oleh pekerjaannya sebagai Head Office di salah satu cabang perusahaan **T**.

Target penjualan sudah terpampang di dinding ruang Breafing. Target perhari, bulan dan tahun nampak tersusun rapi memenuhi dinding.

Usai memimpin Breafing pagi ini, Maya segera menuju ke bagian administrasi yang berada tak jauh dari mejanya.

“Bagaimana Bu Linda, apakah ada kendala dengan administrasi?” tanyanya pada Bu Linda.

Bu Linda adalah Koordinator Administrasi & Finance sekaligus orang kedua yang bertanggung jawab terhadap Sales Office saat Maya sedang tak berada di tempat.

Usia Bu Linda beberapa tahun lebih tua dari Maya, sebagai senior dia adalah orang yang sangat profesional dalam pekerjaannya.

Walaupun Maya adalah juniornya, dia tetap memperlakukan Maya selayaknya pimpinan yang patut dihargai.

“Tidak ada masalah dalam administrasi internal Bu, hanya saja ada sedikit keterlambatan penyelesaian BPKB dari Samsat. Kami sudah menerima surat pemberitahuan resmi bahwa ada keterlambatan dalam jangka waktu 6 bulan ke depan.”

“Tolong surat pemberitahuannya di pajang di showroom ya Bu, agar teman-teman CS tidak mengalami kesulitan menjelaskan pada pelanggan.”

“Baik Bu.”

“Oh ya... Hari Minggu ini ada event pameran di Balai Kota, tolong ajukan dananya ke kantor pusat. Proposal bisa Ibu minta di Pak Iwan.”

Pak Iwan adalah salah satu Tim Leader yang bertugas memimpin salah satu tim pemasaran.

“Baik Bu... akan segera saya siapkan pengajuannya.”

Perusahaan tempat Maya bekerja adalah perusahaan yang bergerak di bidang penjualan kendaraan roda dua.

Dalam 1 cabang Sales Office ada 1 Head Office yang membawahi 1 Koordinator Adm & Finance, 1 Kepala Bengkel, dan beberapa Team Leader.

Bu Linda selaku Koord. Adm & Finance membawahi kasir, sales admin serta beberapa OB, Driver dan satpam.

Pak Beni, selaku Kepala Bengkel bertanggung jawab atas mekanisme kerja di Bengkel termasuk para mekanik.

Sedangkan Team Leader bertanggung jawab atas pemasaran termasuk juga para Salesman & Counter Sales.

Di cabang yang dipimpin Maya saat ini ada 4 Team Leader yang membawahi 10-12 orang Salesman.

Rutinitas pagi selesai breafing, kondisi kantor cukup lengang mengingat teman-teman salesman beraktifitas di lapangan.

Yang ada di kantor hanya bagian administrasi, Counter Sales, Office Boy dan satpam.

Sesekali Counter Sales atau Administrasi melayani pelanggan yang datang ke Showroom untuk melihat-lihat atau mengurus surat-surat pembelian.

Sedangkan para mekanik sudah memiliki bengkel sendiri yang letakknya tak jauh dari kantor cabang.

Namun saat jam di dinding menunjukkan pukul 4 sore, kantor akan ramai dengan kembalinya para salesman dari lapangan dan para mekanik dari bengkel untuk melakukan breafing sore.

Bip...bip...bip...

Di ruangannya, HP Maya tampak berkedip-kedip.

“Halo Bu...” Maya menjawab panggilan telepon dari Ibunya.

“Halo Maya... Kamu bisa pulang hari Minggu ini Nduk?” tanya Ibunya di seberang sana.

“Mmmm... Maya usahakan Bu.”

“Ada teman Ibu yang ingin ketemu kamu Nduk.”

“Siapa Bu?”

“Bu Leni.... yang punya toko baju di desa sebelah itu lho Nduk.”

“Bu Leni ada perlu apa sama Maya Bu?”

“Ya ndak tahu Nduk... pokoknya pengen ketemu kamu. Gitu bilangnya.”

“.....”

“Kamu usahakan bisa pulang ya Nduk. G enak kalo dibatalkan, Ibu sudah menyanggupi tadi.”

“Baik Bu... akan Maya Usahakan.”

Maya meletakkan handphonenya saat Ibunya menutup telepon lebih dulu.

Matanya menerawang mengamati langit-langit kantor.

Sedikit banyak, Maya sudah bisa menduga maksud Ibunya memintanya pulang.

*****

Hari Minggu, di rumah Ibu.

Dua orang di depannya, seorang ibu dan anak laki-lakinya, memperhatikan Maya dengan seksama.

Sesekali si anak membisikkan sesuatu ke telinga ibunya.

“Mas Burhan ini seorang duda Maya, istrinya meninggal 3 bulan lalu saat melahirkan bayinya.” Ibu menjelaskan.

Maya tertunduk dengan berbagai macam hal di pikirannya.

“Jadi bagaimana Nduk?” tanya Bu Leni kemudian

Maya menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata

“Terima kasih atas maksud niat baik Bu Leni dan Mas Burhan. Namun, saat ini saya masih belum berkeinginan untuk berumah tangga. Saya khawatir saya tidak bisa menjadi ibu yang baik bagi anak Mas Burhan. Saya sama sekali tidak berpengalaman merawat anak-anak. Saya takut nanti saya malah melukainya.”

“Semua perempuan yang belum pernah memiliki anak pasti mengalaminya Nduk, seiring waktu naluri keibuanmu pasti akan tumbuh juga.” Ibu mencoba membujuknya.

“Maaf Bu... Maya benar-benar belum siap.” Jawabnya tak bergeming.

Maya menundukkan kepalanya.

Beberapa bujukan dan rayuan yang dilontarkan Ibu dan Bu Leni tetap tak bisa mengubah pikirannya. Dia masih saja menolak.

Karena tak kunjung mendapatkan persetujuan, Bu Leni & Burhan akhirnya undur diri. Ibu berjanji akan mencoba sekali lagi untuk membujuk Maya dan berjanji memberikan jawaban pasti 3 hari kemudian.

“Apa benar kamu menolaknya karena hanya alasan takut merawat bayi Nduk?” tanya Ibu saat tak ada orang lain lagi di rumah.

“Ibu tahu... pikiranmu tak sependek itu.”

“....”

Maya terdiam seraya memandang Ibunya yang menatapnya menuntut penjelasan.

“Ibu tadi juga sudah mendengar kan, kalo mereka meminta Maya untuk tak bekerja setelah menikah?”

“Iya... Ibu dengar.”

“Kita hanya hidup berdua Bu... Hanya Ibu yang Maya miliki. Apa jadinya nanti kalo Maya menikah kemudian bercerai, sedangkan Maya sudah tidak memiliki pekerjaan lagi? Bagaimana cara Maya bisa menghidupi kita berdua, membahagiakan Ibu, sedangkan mungkin saat itu Maya sudah tak muda lagi seperti sekarang?”

“Tidak ada suami istri yang berharap bercerai saat berumah tangga Nduk.”

“Tapi tidak ada yang tidak mungkin Bu, Ibu sendiri .....” Maya menghentikan ucapannya. Tak ingin membuka kisah lama itu lagi.

“Tidak semua laki-laki itu seperti Bapakmu Nduk, masih banyak laki-laki yang baik dan bertanggungjawab.” Ibu berkata bijak

“....” Maya terdiam.

“Jangan jadikan Bapakmu sebagai patokan Nduk, yang Ibu lihat dari Burhan, dia cukup bertanggung jawab dan tidak kasar.”

“Tapi usianya di bawah Maya Bu.”

“Hanya beda 2 tahun kan Nduk. Kalo sudah jadi suami istri, perbedaan usia tidak akan kentara Nduk.”

“Heehhh.....” Maya menghela nafas panjang.

“Tolong jangan paksa Maya lagi Bu.... Maya benar-benar belum siap.”

Maya membaringkan tubuhnya di atas kasur. Perasaan lelah tiba-tiba mendera begitu saja.

Bukan hanya sekali ini sang Ibu mencoba menjodohkannya dengan putra teman-temannya.

Beberapa bulan sebelumnya, Ibu pernah mencoba menjodohkannya dengan salah satu putra teman pengajiannya. Usianya seumuran dengan Maya, seorang dokter anak di sebuah rumah sakit swasta di kota K. Karena menyukai anak-anak, dokter itu meminta pada Maya jika kelak mereka menikah, dia ingin memiliki minimal 5 orang anak. Syukur-syukur jika lebih.

Maya yang mendengar itu, tanpa berpikir panjang langsung menolaknya. Memiliki 2 anak saja dia masih harus berpikir ulang, apalagi 5.

Permintaan dokter itu masih belum seberapa dibandingkan dengan pelamar sebelumnya.

Seorang pengusaha batu bata yang berjarak beberapa km saja dari rumah Ibunya.

Mengatakan pada Maya bahwa setelah menikah, Maya diwajibkan tinggal di rumah suaminya, selalu mentaati Ibu mertuanya, harus berhenti bekerja, semua waktunya hanya untuk mengurusi suami dan anak-anaknya.

Dan yang lebih parah lagi, Maya hanya boleh mengunjungi sang Ibu 1 bulan sekali. Itupun harus bersama dengan suaminya. Padahal jarak rumah Ibunya hanya butuh waktu kurang dari 10 menit saja.

Mendengar semua syarat yang diajukan, Maya menjawabnya dengan senyuman menahan tawa. Dan dalam sekejap dia menolaknya tanpa ampun.

Bukannya Maya sama sekali tak ingin berumah tangga, hanya saja dia merasa bahwa dia belum menemukan seseorang yang dapat menyentuh hatinya.