3 UANG 2 MILYAR DAN PERNIKAHAN

Kopi yang tante Utari simpan di lemari pojok merupakan kopi dengan kualitas sangat baik, ia bahkan tidak mengizinkan Angga untuk meminumnya.

Sebagai pecinta kopi, tante Utari hanya akan meminumnya apabila ada acara khusus saja, dan bila sekarang ia menyuguhkan kopi tersebut untuk tamu, tamu ini pasti merupakan orang yang sangat penting.

Karena terburu- buru, atau karena memang tante Utari tidak peduli, ia menabrak Naraya saat ia bergegas untuk keluar dapur untuk menyambut tamunya.

"Naraya gak apa- apa?" Tanya mbok minah, perempuan berusia lima puluhan yang masih sanggup menafkahi keluarganya.

"Gak apa- apa, mbok." Ucap Naraya pelan. Kalaupun dia sakit, tidak ada yang bisa dilakukannya kan? Mau protes? Mana mungkin.

Lagipula, rasa sakit seperti ini merupakan makanannya sehari- hari.

"Ya sudah, Naraya masuk kamar saja, nanti biar si mbok yang siapin minumannya." Mbok Minah menyarankan.

"Iya." Angguk Naraya. "Mbok, sekarang jam berapa ya?" Tanyanya.

"Jam 10 lewat 10." Mbok Minah segera meracik kopi yang diminta Utari dan mengeluarkan cangkir terbaik mereka.

"Oh, Naraya ada di kamar ya Mbok, kalau nanti Naraya di panggil dan tidak menyahut, masuk saja. Naraya mau mendengarkan radio." Seketika wajah Naraya sedikit bersemangat.

"Sip!" Mbok Minah mengacungkan jempolnya.

Di jam segini, Naraya memang terbiasa mendengarkan radio di saluran kesukaannya dengan penyiar favoritnya.

Perlahan Naraya berjalan menuju kamarnya yang letaknya memang tidak begitu jauh dari dapur. Kalau saja Mbok Minah tinggal di rumah tersebut, sudah pasti kamar yang di tempati Naraya sekarang merupakan kamarnya, namun karena setiap sore Mbok Minah pulang kerumahnya, maka kamar pembantu tersebut kosong tak terisi.

# # #

Di ruang tamu, Rafael harus menunggu sekitar hampir sepuluh menit, bahkan saat minuman yang tidak dimintanya telah datang, orang di carinya tak kunjung muncul.

Bagi orang sibuk seperti Rafael, waktu menunggu selama sepuluh menit ini sangatlah berharga, ada banyak hal lain seperti kontrak kerja milyaran rupiah yang bisa dia cek ulang dalam kurun waktu singkat ini.

Namun Amira Prahida memintanya dengan tegas agar pak Dirga dapat menemuinya, tapi karena yang bersangkutan telah wafat, paling tidak Rafael akan menemui istrinya.

Ia menghembuskan nafasnya dengan kesal saat melihat jam tangannya yang mahal. Sudah sepuluh menit lebih ia menunggu di sini.

Dan saat Rafael akan memanggil orang di dalam rumah lagi, seorang wanita di usia hampir empat puluh tahunan keluar dengan bibirnya yang merah menyala dan pakaian yang terlalu rapih apabila dipakai di rumah.

Tentu saja Amira Prahida dan wanita- wanita kelas atas akan berpakaian sangat rapih bahkan saat mereka berada di dalam rumah, tapi tentu saja Utari tidak bisa disandingkan dengan mereka sama sekali.

Sudah Rafael duga akan seperti ini jadinya.

"Maaf lama menunggu." Ucap Utari sambil tersenyum malu. "Saya Utari, silahkan duduk. Dengan pak Rafael ya?"

Uteri mengulurkan tangannya dan Rafael manyambutnya dengan sikap professional setalah itu ia duduk kembali.

"Dengan Ibu Utari? Istri almarhum pak Dirga?" Tanya Rafael memastikan.

"Iya benar, saya Utari, istri almarhum Dirga. Pak Rafae pasti lupa dengan saya." Jawab Utari.

Utari pernah bertemu dengan Rafael sekali, tapi itu sudah cukup lama. Lima tahun yang lalu saat ia menghadiri pemakaman ibunya dan membawa Naraya pulang untuk tinggal bersama.

Saat itu, Rafael datang dan mengobrol sebentar dengan Almarhum Dirga, namun yang paling Utari ingat adalah Dirga mendapatkan uang yang sangat banyak dari Rafael. Oleh karena itu, hingga saat ini sosok Rafael masih membekas di benak Utari.

"Maaf, saya menemui banyak orang, jadi saya tidak ingat wajah mereka satu- persatu." Jawab Rafael dengan jujur dan diplomatis.

"Oh, tidak apa- apa, saya tahu kalau Pak Rafael adalah orang yang sibuk." Utari melambaikan tangannya seakan itu bukan merupakan masalah besar. "Ada yang bisa saya bantu pak Rafael?" Tanya Utari dengan senyum yang manis.

Mungkin saja Rafael datang kali ini untuk memberikan nominal uang yang sangat banyak lagi seperti dulu, lima tahun lalu.

"Saya datang atas perintah Ibu Amira Prahida." Rafael memulai pembicaraan.

Wajah Utari seketika menjadi lebih sumringah ketika nama itu disebut, ia ingat betul bahwa almarhum Dirga pernah mengatakan bahwa suatu hari nanti akan ada orang yang di utus oleh Amira Prahida, Istri dari Narendra Prahida, pengusaha sukses di negeri ini, untuk menanyakan Naraya dan saat tiba waktunya, Utari harus menyetujui apapun permintaan mereka atas Naraya.

Pada awalnya Utari tidak percaya, bagaimana mungkin kaum atas seperti mereka mengenal orang biasa seperti almarhum Dirga?

"Jadi… pak Rafael ini… siapanya Ibu Amira ya?" Tanya Utari tergagap. Mungkinkah ini saatnya ia menuai hasil dari usahanya merawat Naraya?

"Saya assistant pribadinya Ibu Amira." Jawab Rafael.

Bibir Utari membulat membentuk huruf 'o' saat ia mendengar jawaban Rafael. Pantas saja dulu saat Rafael datang, almarhum Dirga mendapatkan banyak uang…

Ternyata uang tersebut berasal dari Amira Prahida. Tapi, ada hubungan apa antara almarhum Dirga dan Amira Prahida? Selain sekali waktu itu almarhum Dirga membahas mengenai Amira Prahida, suaminya tidak pernah membahas apapun lagi mengenai wanita sosialita itu.

"Lalu… ada yang bisa saya bantu?" Tanya Utari bersemangat.

"Karena pak Dirga sudah tiada, itu berarti Ibu Utari adalah wali dari anak perempuan bernama Naraya Neena Paradina, betul?" Rafael memastikan.

"Iya, betul." Jawab Utari segera.

"Kalau begitu, bisa Ibu tolong baca surat ini dengan seksama, apabila ada yang kurang jelas, mohon ditanyakan kepada saya." Ucap Rafael sambil menyerahkan empat lembar dokumen yang ia keluarkan dari sebuah amplop putih. "Tolong untuk diputuskan segera, apakah Ibu Utari setuju atau tidak."

Utari mengambil dokumen tersebut dengan bingung tapi antusias. "Apakah saya harus memutuskan sekarang juga?" Tanya Utari saat melihat Rafael tidak ada niat untuk beranjak pergi.

Karena apapun permintaan di dalam dokumen tersebut, yang mengharuskan Utari memilih antara setuju atau tidak, setidaknya memberikan Utari beberapa hari untuk mempertimbangkannya?

"Ya." Rafael menegaskan dengan anggukan. "Hanya ada beberapa klausa di dalam dokumen tersebut yang membutuhkan beberapa menit untuk dibaca." Ia menerangkan.

Penasaran, Utari membaca dokumen di tangannya.

Sesaat kemudian matanya membelalak tidak percaya dengan apa yang tertera di dokumen tersebut, seraya dengan suara tercekat ia berkata. "2 Milyar!!? Saya akan mendapatkan 2 Milyar?!"

"Silahkan terus membacanya." Rafael meminta Utari membacanya sampai habis.

Di titik ini, Utari bertekad untuk menyetujui semua persyaratan yang di minta demi mendapatkan uang 2 Milyar tersebut.

Namun, alisnya bertaut bingung saat ia membaca halaman terakhir dokumen tersebut. "Menikah…? Menikahkan Naraya dengan Liam Prihadi!?"

Pikiran Utari melayang ke sosok pengusaha muda penerus satu- satunya kerajaan bisnis Prihadi.

Bagaimana mungkin mereka meminta Naraya yang buta menjadi menantu di keluarga tersebut?!

avataravatar
Next chapter