53 TERGANGGU

Mendengar kata- kata Naraya, entah kenapa emosi Liam meluap hingga hal pertama yang ia sadari adalah dirinya tengah mengapit dagu Naraya dengan kedua jarinya, memaksa kepala gadis itu menengadah menatapnya.

Seketika itu juga Naraya terdiam, rasa kesal yang tadi ia rasakan karena Liam sudah menghina walkman milik almarhum kakeknya hilang, tergantikan oleh rasa was- was akan apa yang Liam lakukan selanjutnya.

Naraya tidak bisa melihat tatapan tajam Liam, tapi tentu saja dia dapat merasakan kemarahan di dalam dirinya.

"Jangan berbicara mengenai masa lalu denganku. Kamu tidak tahu apa- apa." Liam berkata lamat- lamat, sangat pelan dan jelas, sehingga Naraya dapat mendengar setiap kata yang terucap. "Paham?"

Naraya buru- buru menganggukkan kepalanya. Dia tidak mau mendapat masalah dengan Liam juga, kalau Liam sampai benar- benar marah, mau tinggal dimana nanti dia?

"Bagus." Liam mendesis. "Mulai dari sekarang berhenti berbicara seperti itu padaku. Mengerti?"

Naraya kembali mengangguk, dia menggigit bibir bawahnya karena takut sambil menggenggam walkman tua di tangannya erat- erat.

Awalnya Naraya tidak berniat untuk berkata seperti itu pada Liam, karena menurut apa yang dia dengar, Liam merupakan anak angkat keluarga Prihadi, yang mana berarti dia sudah tidak memiliki orang tua lagi, sama seperti dirinya.

Mungkin ada kisah pahit yang tidak mau Liam ingat dan tidak seharusnya Naraya berkata seperti itu…

Dia hanya terlalu terbawa emosi…

Disisi lain, Liam terdiam, mengamati Naraya yang tengah menggigit bibirnya. Bibir yang sama yang semalam telah ia llumat tanpa izin…

Izin?

Kata itu terdengar sangat aneh dalam pikiran Liam. Liam bahkan sudah lupa kapan terakhir kali dia meminta izin untuk melakukan sesuatu.

Dengan hati- hati Liam menarik bibir Naraya dari apitan giginya dengan ibu jarinya. Lalu mengusap bibir lembut itu.

"Bila aku berkata A, maka kamu akan berkata A. Bila kamu bilang B, maka kamu akan berkata B." Liam berkata dengan nada yang sama dinginnya, tapi matanya yang tajam terfokus pada bagian tubuh Naraya yang membuatnya tertarik. "Aku tidak terbiasa di bantah, terutama dari gadis sekolah seperti dirimu."

Naraya menelan ludahnya dengan susah payah. Takut. Nada suara Liam yang pelan dan dingin sangat menakutkan baginya.

"Jawab."

Naraya mengangguk.

"Aku ingin kamu menjawab pertanyaanku dengan jelas." Liam memicingkan matanya. "Jawab."

"Aku mengerti." Suara Naraya terdengar sangat pelan dan sedikit bergetar.

"Bagus. Ingat itu baik- baik." Liam kemudian melepaskan dagu Naraya dan berdiri.

Hari inipun dia akan telat datang ke kantor.

Ini merupakan suatu rekor baginya untuk datang terlambat ke kantor selama dua hari berturut- turut. Dan dua- dua nya di karenakan gadis yang tengah menunduk memegangi walkmannya di pinggir ranjang sambil sesekali menyeka wajahnya.

Apakah dia menangis?

# # #

Setelah kejadian itu, Liam lagi pulang ke apartmentnya.

Dan selama sepekan ini, Liam akan pulang ke rumah utama atau tidur di hotel dengan Rachel, seperti malam ini.

Biar bagaimanapun juga Liam adalah lelaki normal yang memiliki kehidupan sekks yang aktif.

Walaupun di malam pertama ia tidur dengan Naraya tidak terjadi apapun karena ia terlalu lelah dan banyak pikiran, namun di malam kedua…

Entah apa yang Liam pikirkan saat ia menccium Naraya. Beruntungnya itu hanya sekedar cciuman.

Liam tidak yakin kalau dia tidak akan melakukan hal yang telah ia lakukan di malam kedua pada Naraya, dan memilih untuk tidak kembali pulang ke apartment itu.

Dia memang brrengsek, tapi Liam tidak mau menjadi pria bejjat seperti apa yang telah Narendra lakukan pada ibunya.

"Belum tidur?" Suara Rachel yang lirih terdengar dari balik selimut, tangannya yang halus melingkari pinggang Liam sambil mengellus perut pria tersebut.

Rachel menyukai tubuh Liam yang atletis seolah ia merupakan pahatan sempurna dari dewa yunani kuno.

"Hm." Liam hanya bergumam, memandangi langit- langit kamar sambil menumpuk lengannya di belakang kepalanya sebagai bantal.

"Mau main lagi?" Rachel berbisik lembut ke telinga Liam sambil mengullum daun telinga pria tersebut, menggessekan tubuhnya dengan sengaja.

Tapi, tidak ada reaksi dari Liam, dia sama sekali tidak terpengaruh.

"Tidurlah." Ucap Liam dingin sambil melepaskan lilitan tangan Rachel di sekitar tubuhnya.

Liam kemudian beranjak turun dari ranjang, mengambil rrokok dan koreknya, kemudian berjalan menuju balkon, meninggalkan Rachel sendirian di kasur.

Wanita itu mengerutkan keningnya, Liam bersikap aneh, bahkan pada saat mereka 'melakukannya' pun Liam seperti terganggu akan sesuatu, tapi apa?

Liam tidak pernah menceritakan hal apapun pada Rachel, hubungan mereka hanyalah sebatas ranjang saja, tidak lebih.

Tapi, Liam yang biasanya bergonta- ganti pasangan hampir di setiap minggunya, kali ini justru tidak memutuskan hubungan dengan Rachel.

Ini sudah hampir sebulan dan Rachel masih menyandang status sebagai 'wanita Liam', oleh karena itu dia berpikir, Liam tengah mempertimbangkan hubungan mereka.

Karena selama ini tidak pernah ada satupun wanita yang bertahan hingga menginjak satu bulan seperti dirinya.

Sambil melilitkan selimut ke tubuh tellanjangnya, Rachel berjalan menuju balkon kamar hotel yang biasa mereka booking, lalu memeluk Liam dari arah belakang.

"Ada sesuatu yang mengganggumu?" Tanya Rachel dengan suaranya yang menggodda. Dia merebahkan kepalanya ke punggung Liam yang terbuka, karena saat ini, Liam hanya mengenakan boxernya saja.

Liam tidak menjawab pertanyaan Rachel. Ia terus menghidu dalam- dalam temmbakau di tangannya. Menikmati setiap kepulan asap tipis yang terbawa angin sesaat setelah ia menghembuskannya.

"Apakah karena pernikahanmu nanti? Kamu tidak menyukai calon pengantinmu?" Rachel menebak. Dia tahu bahwa pernikahan Liam akan di langsungkan secara tertutup kurang dari satu minggu lagi.

Mungkin karena itulah Liam terlihat terganggu.

"Kembali ke kamar. Udara di luar dingin." Ucap Liam, tidak kalah dinginnya dengan udara malam ini.

Tapi, bukannya menuruti kata- kata Liam, Rachel justru memperarat pelukannya di tubuh Liam. "Ayo kita masuk ke dalam, aku akan menghangatkanmu…" Bisiknya, mengindikasikan hal lain.

Hal yang dapat membuat mereka berdua jauh lebih baik dengan berbagi kehangatan.

"Kembali ke kamar." Liam kembali menghidu canndunya, matanya terfokus pada kerlap- kerlip lampu ibukota yang terhampar di depan mata.

"Ayo kita kembali…" Tangan Rachel bergerak turun dari perut six pack Liam hingga menelusup ke dalam boxernya.

Namun, sebelum Rachel bisa bertindak lebih jauh, Liam dengan cepat menyambar tangan Rachel dan memutar tubuhnya hingga tubuh wanita itu membentur pembatas besi balkon.

"Aku tidak suka kalau harus mengulangi perkataanku lagi dan lagi." Liam berkata, rahangnya mengeras menandakan dia sedang tidak dalam mood yang baik.

"Aku…" Rachel terbata, tangannya terasa sakit dalam genggaman Liam yang erat. Hingga sekelebat pikiran menghantuinya; apakah Liam akan mematahkan tangannya?

"Pergi dari kamar ini." Ucap Liam tanpa intonasi. "Di saat rrokok di tanganku habis dan kamu masih berada disini, maka tidak perlu menemuiku lagi."

Setelah itu Liam melepaskan tangan Rachel dengan kasar.

Seketika itu juga, anggapan delusional Rachel mengenai Liam yang tengah mempertimbangkan hubungan mereka, sirna.

avataravatar
Next chapter