23 SEORANG SUPIR UNTUK NARAYA

"Pasti suka." Jawab Liam asal saja.

Kalaupun Naraya tidak suka, Liam akan menemukan puluhan cara agar Naraya mengenakan gaun tersebut, lagipula perempuan itu tidak akan dapat melihat tampilan dirinya sendiri nanti atau entah apa yang akan di kenakannya, hal itu akan sama saja bagi Naraya.

"Tolong aturkan pertemuan nenek dengannya ya? Nenek ingin bertemu dengannya sebelum pernikahan kalian." Nenek Asha menelusuri jari- jarinya di permukaan halus gaun pengantin putih di atas tempat tidur.

"Iya, nek." Jawab Liam dengan lelah. Hari ini dia harus menghadiri lebih dari empat meeting yang kesemuanya menguras pikiran dan tenaganya, oleh karena itu dia tidak ingin memiliki obrolan panjang dengan siapapun untuk sementara waktu.

"Liam," panggil nenek Asha yang sejurus kemudian menatapnya dengan tatapan penuh kasih sayang, tatapan yang hanya pernah Liam temukan dalam mata ibunya. "Pernikahan itu hanya sekali, walaupun nenek tahu kamu keberatan denga pernikahan ini, tapi Naraya tidak tahu menahu permasalahan di dalam keluarga kita."

Nenek Asha kemudian berjalan mendekati Liam dan duduk di sebelah cucu semata wayangnya tersebut.

"Naraya datang ke keluarga ini dengan tidak memiliki siapapun ataupun mengenal kita, maka dari itu, kamu sebagai suaminya harus bisa menjaganya."

Nenek Asha meraih tangan Liam yang besar dan kasar, kemudian mengusapnya seolah dia sedang menimang permata yang berharga.

"Nenek tahu Amira memilihkan gadis seperti Naraya karena ingin membalas perbuatan ayahmu, tapi jangan biarkan hal ini menjadi alasanmu untuk menjatuhkan isterimu, karena biar bagaimanapun juga harga diri isteri kamu merupakah harga dirimu."

Nenek Asha menasehati cucu kesayangannya ini dengan suara yang lembut.

"Hanya ini yang bisa nenek sampaikan padamu. Jangan bawa- bawa rasa tidak suka kamu pada ibu tirimu dan melampiaskannya pada gadis muda yang tidak tahu apa- apa itu."

Nenek Asha kemudian memandangi wajah Liam yang terlihat lelah, tapi paling tidak dia mendengarkan semua nasehatnya.

"Baik." Jawab Liam tanpa pikir panjang langsung mengiyakan kata- kata neneknya tersebut.

Nenek Asha menatap mata Liam, mencari kesungguhan di dalam jawabannya, namun tidak dia temukan di sana.

Ada sedikit kekecewaan tapi, Nenek Asha mengerti keadaannya tidak akan dengan mudah dilakukan seperti saat dia memberikan nasehat ini.

Semua butuh proses.

"Baiklah kalau begitu, kamu istirahat dulu." Ucap Nenek Asha dengan penuh perhatian. "Sudah makan?"

# # #

Raka bekerja secara efisien dan cepat dalam mengurus sekolah Naraya, sehingga dalam waktu tiga hari saja, Naraya sudah bisa kembali bersekolah.

Hari ini merupakan hari pertama Naraya akan kembali ke sekolah setelah dua bulan lebih berhenti dan Naraya sudah tidak sabar untuk berada di antara teman- temannya kembali.

Pagi ini Naraya bangun lebih pagi dari biasanya, mandi, lalu membantu mbak Minah, yang telah datang seperti biasa, membuat sarapan untuk seisi rumah.

Karena Naraya sudah hapal letak perabotan yang berada di dalam dapur berikut bumbu- bumbu masakan yang berada di atas meja, maka Naraya dapat membuat nasi goreng sederhana dengan beberapa potong sosis dan bakso.

Setelah semuanya telah selesai dan teh manis panas telah siap didalam termos bagi siapa saja yang ingin meminumnya, Naraya kembali ke kamar untuk berganti dengan seragam sekolah yang telah Raka kirimkan kemarin.

Mood Naraya sangat baik sampai teriakan Ara yang memintanya untuk mengambilkan sepatunya saja tidak mampu membuat Naraya kesal.

Walaupun sebenarnya Ara bisa saja mengambil sepatu tersebut sendiri dan akan jauh lebih cepat daripada Naraya yang harus berjalan dengan hati- hati dan mengambilkannya di dalam kamarnya.

Ya, sejak kedatangan Raka tempo hari, tante Utari dan Ara tidak lagi memukuli Naraya, tapi sebagai gantinya mereka akan menyuruh Naraya melakukan hal- hal kecil yang hampir tidak masuk akal seperti ini.

"Iya, sebentar!" Teriak Naraya dari dalam kamarnya. Dia sedang merapihkan seragam yang dia kenakan sebelum akhirnya dia keluar untuk memenuhi permintaa Ara.

Naraya memastikan ponsel kecil pemberian Liam berada di saku bajunya dan tidak tertinggal di rumah ataupun dia letakkan sembarangan.

Naraya sangat menyukai ponsel ini. Ponsel pertamanya.

Dengan berhati- hati Naraya menelusuri tembok yang sangat ia hapal teksturnya lalu menuju ruang tamu untuk mengambil sepatu Ara, padahal Ara bisa saja memakainya nanti setelah dia akan keluar rumah, tidak harus Naraya yang mengambilkannya dan membawakan sepatu tersebut ke ruang makan.

Tapi, memang itulah tujuan utama Ara; menyusahkan Naraya.

Beruntungnya sudah seminggu terakhir ini Angga belum kembali pulang dari acara kampusnya, kemungkinan dia menginap di rumah teman- temannya.

Hal ini biasa Angga lakukan, dia bahkan bisa tidak pulang sampai sebulan.

Naraya tidak complain mengenai hal ini, dia justru bersyukur dan berharap dia tidak pulang saja sekalian.

Dengan membawa sepatu yang diminta Ara, Naraya kembali ke ruang makan lalu mulai menikmati sarapannya, tentu saja tidak di satu meja yang sama dengan Ara dan tante Utari.

Apabila mereka sedang berada di meja makan, maka Naraya akan membawa makanannya masuk ke dalam kamarnya yang sempit dan menikmatinya di sana.

Baru saja Naraya akan menghabiskan suapan terakhir sarapannya, mbak Minah mengetuk pintu kamarnya yang memang selalu Naraya kunci.

"Naraya, di depan ada sopir utusan pak Raka, dia bilang dia datang untuk mengantarkan Naraya ke sekolah." Ucap mbak Minah dari balik pintu.

Naraya mengerjapkan maanya beberapa kali karena tidak percaya dengan apa yang di dengarnya.

Pak Raka mengutus seorang supir untuknya? Apakah ini juga permintaan dari pak Liam?

Tanpa Naraya sadari sebuah senyum terulas manis di bibirnya saat hatinya merasa hangat karena ada orang yang memperhatikan dirinya.

Sebenarnya, Naraya akan memanggil ojek langganan dia dulu untuk mengantarkan ke sekolah, tapi dengan adanya supir ini, tentu saja hal tersebut tidak di butuhkan lagi.

Naraya kemudian membuka pintu sambil membawa piring kosong. "Iya mbak Minah, terimakasih ya, ini Naraya sudah selesai dan akan ke depan."

Mbak Minah kemudian mengambil piring dari tangan Naraya sambil berkata. "Sudah kamu ke depan saja, ini kan hari pertama kamu sekolah lagi, nanti urusan di dapur biar mbak Minah yang bereskan, jangan sampai kamu terlambat."

Naraya memeluk mbak Minah dengan kebahagiaan yang membuncah di dadanya.

Setelah itu dia segera keluar untuk menemui supir yang di utus Raka, namanya pak Wim dan dia menyapa Naraya dengan ramah sambil membukakan pintu mobil dan membantunya naik.

Namun, sebelum pak Wim dapat menutup pintu mobil tersebut, seseorang menerobos masuk.

"Saya ikut juga." Ucap Ara dengan ketus sambil duduk di depan, seolah Pak Wim datang untuk menjemput dirinya.

Karena pak Wim tidak begitu mengerti keadaan yang sesungguhnya, dia hanya mengangkat bahu dan mengantarkan Naraya ke tujuan.

Sepanjang perjalanan, Ara tidak henti- hentinya berfoto ria di dalam mobil mewah tersebut dan memerintahkan pak Wim untuk memelankan laju kendaraan, tapi tidak direspon dengan baik.

Pak Wim tetap pada kecepatan normalnya.

Begitu mereka sampai di tempat tujuan dan Naraya segera bergegas turun, Ara tetap duduk manis tanpa ada niat untuk turun sama sekali.

Dia malah meminta Pak Wim untuk mengantarkan ke kampusnya.

Mendengar hal ini, Pak Wim justru tertawa. "Maaf ya mbak, saya hanya di suruh untuk mengantarkan Nona Naraya saja, kalau mbak mau ke kampus, mbak bisa turun dari mobil ini dan naik kendaraan lain. Saya bukan sopir mbak."

avataravatar
Next chapter