6 SELERA RENDAHAN TANTE UTARI

Taksi itu membawa Naraya, tante Utari dan Ara ke kediaman keluarga Prihadi.

Sepanjang perjalanan, Tante Utari kembali mengingatkan Naraya kalau dia harus menjaga sopan santun dan memperhatikan tingkah lakunya apabila berada di depan banyak orang.

Juga tidak lupa untuk mengingatkan Naraya kalau apabila nanti dia harus makan, maka dia harus sebaik mungkin tidak mempermalukan mereka dengan cara makan Naraya yang tante Utari anggap tidak pantas.

Biasanya, Naraya akan menaruh nasi dan lauk- pauknya di dalam mangkok, mencampur semuanya jadi satu, agar lebih mudah baginya untuk menyendok makanannya.

Karena jam masih menunjukkan pukul 12.10 siang, ada kemungkinan acara nanti akan menjadi acara makan siang, dan makan siang dengan keluarga Prihadi sudah pasti merupakan fine dinning di restaurant berbintang dengan perlengkapan makan yang tidak biasa di pakai oleh Naraya.

Oleh karena itu tante Utari mewanti- wanti ponakannya ini sepanjang jalan untuk tidak mempermalukannya.

Karena undangan yang di dapatkan oleh tante Utari dari Amira Prihadi melalui assistant pribadinya, Rafael, tidak menyebutkan secara jelas undangan apakah ini dan hanya mencantumkan alamat dan menyebutkan salah satu hotel keluarga Prihadi, maka tante Utara pun bertanya- tanya, acara apa yang akan ia datangi tersebut.

Tapi, ketidaktahuannya tidak mengurangi antusiasnya untuk berada di tengah- tengah orang- orang penting seperti keluarga Prihadi, apalagi menjadi bagian dari keluarga termahsyur di Negeri ini. Siapa yang akan menolak kesempatan yang tidak akan datang dua kali ini?

Mendengar seluruh celotehan tante Utari sepanjang perjalanan yang Naraya rasa sangat jauh ini, membuatnya ingin pulang ke rumah saja dan mengurung diri di kamarnya yang nyaman.

Bukankah Tante Utari tahu kalau dirinya tidak bisa melihat? Bagaimana mungkin dia berharap kalau Naraya dapat makan dengan elegan? Seperti layaknya anak- anak konglomerat yang telah di latih table manner sejak kecil?

Apakah itu masuk akal?

Berhasil untuk tidak menumpahkan makanan atau minumannya saja Naraya akan sangat bersyukur, tidak perlulah ia dapat makan dengan anggun, itu angan- angan yang ketinggian.

Lagipula, bagaimana caranya Naraya makan dengan sendok dan garpu atau garpu dan pisau kalau letak makanannya sendiri pun ia tidak tahu?

Namun, Naraya tidak bisa mengutarakan semua itu karena tante Utari akan sangat marah kalau ia membantah kata- katanya, dan urusannya akan menjadi lebih panjang dan runyam daripada sekedar hanya mendengarkan nasihat- nasihat yang tidak berarti darinya.

Sesampainya mereka di hotel, Rafael sudah menunggu di lobby, ia tampak gagah dan tampan dalam stelan kerjanya sampai membuat Ara terperangah dan tanpa sadar menatap pria tersebut terus menerus.

Di sisi lain, Rafael mengacuhkan tatapan Ara, yang menurutnya tidak sopan tersebut dan membantu Naraya untuk turun dari taksi sembari berbincang- bincang ringan dengan Utari.

"Aduh, maaf ya… jadi lama menunggu, biasa jalanannya macet…" Keluh Utari berbasa- basi.

"Tidak apa- apa, Ibu sudah datang sepuluh menit lebih awal." Rafael melirik jam tangan mahalnya, dan memang, Utari hanya berbasa- basi saja mengatakan itu karena pada kenyataannya dia telah datang sepuluh menit lebih awal dari waktu perjanjian.

"Mari, di sebelah sini." Ucap Rafael sopan sambil menunjukkan jalan menuju ruang kantor di hotel ini.

Karena hotel yang mereka datangi adalah milik keluarga Prihadi dan seluruh karyawan disana telah mengenal Rafael sebagai orang kepercayaan ibu Amira Prihadi, maka mereka dapat dengan leluasa memasuki bagian yang di khususkan untuk pengelola hotel saja.

Rafael membawa mereka menaiki lift ke lantai tujuh, dimana merupakan lantai teratas gedung tersebut, sepanjang perjalanan menuju ruang pertemuan, Rafael beberapa kali melirik ke arah Naraya dan memperhatikan gadis itu merasa tidak nyaman dengan pakaian yang ia pakai.

Dengan pakaian terbuka seperti itu dan udara dingin dari AC hotel, apabila tidak terbiasa, sudah pasti ia merasa tidak nyaman.

Rafael berani bertaruh kalau pakaian yang Naraya pakai saat ini merupakaian dress yang telah di pilih oleh Utari, karena tidak mungkin Naraya yang tidak bisa melihat itu dapat memilih pakaiannya sendiri untuk acara seperti ini.

Memang benar kalau pakaian yang di kenakan seseorang dapat mencerminkan selera pribadinya.

Dengan melihat pilihan baju Naraya, Rafael dapat menyimpulkan kalau Utari tidaklah begitu memiliki selera yang baik, apalagi ia dan putrinya mengenakan pakaian yang hampir setipe dengan yang dikenakan Naraya.

Sebuah senyum samar tersungging di sudut bibir Rafael melihat kebodohan keluarga ini, namun semakin memalukan mereka, akan semakin senang Ibu Amira nanti.

Setelah mereka keluar dari lift, Rafael membawa mereka untuk berjalan menyusuri koridor, melewati beberapa ruangan, dan baru berhenti tepat di pintu terakhir di ujung koridor tersebut.

"Keluarga Prihadi telah menunggu kehadiran Ibu dan Naraya." Rafael berkata sambil hendak mengetuk pintu yang terbuat dari kayu mahoni berwarna gelap tersebut, namun Utari tiba- tiba menahannya.

"Tunggu sebentar pak Rafael." Utari menahan tangan Rafael yang sudah terangkat, bersiap mengumumkan kehadiran mereka kepada orang- orang di balik pintu tersebut.

"Iya?" Rafael bertanya dengan raut wajah yang tidak berubah.

"Boleh saya tahu, siapa saja yang berada di dalam sana?" Tanya Utari hati- hati, karena ia mendapati dirinya juga merasa cemas dan canggung apabila harus berhadapan langsung dengan keluarga konglomerat Prihadi.

"Seluruh keluarga inti Prihadi sudah menunggu di dalam." Jawab Rafael.

"Siapa saja ya keluarga intinya?" Tanya Utari tidak pasti, karena selain Liam, Narendra dan Amira Prihadi, dia tidak begitu mengetahui anggota keluarga lainnya.

"Pak Barata dan Ibu Asha Prihadi." Mereka berdua merupakan kakek dan nenek Liam dari pihak ayahnya yang juga merupakan petinggi di perusahaan Prihadi ini. "Lalu Pak Narendra dan Ibu Amira."

"Lalu bagaimana dengan… pak Liam?" Utari sempat bingung dalam memanggil Liam, karena ia akan menjadi menantunya nanti, tapi Utari tetap tidak bisa menyebut Liam dengan namanya saja.

"Tentu saja pak Liam ada di dalam. Karena acara ini pun di adakan untuknya." Jawab Rafael dengan pasti.

Disebelah Utari, Ara ternganga dengan tidak percaya bahwa ia akan menemui Liam Prihadi. Pebisnis muda yang sukses masuk jajaran majalah bisnis terkemuka.

Bagaimana mungkin bisa ibunya yang hanya merupakan ibu rumah tangga biasa bisa memiliki kesempatan untuk makan siang dengan keluarga Prihadi? Darimana ibunya ini mengenal mereka? Batin Ara.

Walaupun Ara kurang begitu paham bagaimana sepak terjang Liam di dunia bisnis, tapi ia tetap mengenalnya sebagai salah satu pria tertampan di negeri ini dan masih lajang!

Kepopuleran Liam Prihadi di kalangan kaum hawa sudah seperti seorang selebriti. Baru kemarin Ara menggosipkan tentang Liam Prihadi, dan sekarang ia akan makan siang bersama keluarganya? Mimpi apa dia?

"Ma, Liam Prihadi yang pebisnis itu? Kita akan ketemu keluarganya?" Ara menarik tangan ibunya dan berbisik dengan tidak percaya.

avataravatar
Next chapter