17 SATU PERMINTAAN LAGI

"Boleh aku meminta dan bertanya sesuatu?"

"Kamu boleh meminta sesuatu tapi aku tidak menerima pertanyaan." Jawab Liam lugas. Dia tidak suka ditanya dan di pertanyakan.

Naraya menghela nafas saat ia harus menelan kembali pertanyaan yang bercokol di benaknya, setidaknya dia masih dapat meminta sesuatu yang dia inginkan.

"Baiklah…" Ucap Naraya, mengalah. Dia tidak mau berdebat dengan Liam mengenai hal ini dan membuatnya marah, karena dari nada bicaranya, Liam bukanlah seseorang yang mudah untuk di bantah.

"Lalu apa permintaanmu?" Liam bertanya sambil melirik jam tangannya, karena sepuluh menit lagi dia ada meeting penting dengan klien dan dia tidak mungkin terlambat di meeting tersebut hanya karena mendengarkan permintaan Naraya yang tidak terlalu menarik minatnya.

Selama Naraya mengatur kata- katanya, Liam berpikir apa hal saja yang mungkin akan di minta oleh Naraya.

Uang? Mungkin Naraya ingin meminta uang di awal? Perlindungan dari tante dan keluarganya? Itu sangat mungkin, mengingat bagaiman mereka telah menyiksa dirinya.

Liam sekali melirik luka memar di wajah Naraya, luka tersebut pasti sudah berhari- hari dan telah agak membaik, namun tetap saja memar- memar tersebut masih tampak terlihat jelas.

"Aku mau melanjutkan sekolah." Jawab Naraya singkat.

Dia sudah mencoba untuk merangkai kata- kata yang akan disampaikan pada Liam, tapi akhirnya menyerah karena tidak tahu bagaimana meminta hal ini tanpa terdengar memalukan.

Karena Liam merupakan pribadi yang berbicara langsung pada intinya, mungkin dengan tidak berbicara berbelit- belit dapat membuat kemungkinan permintaan Naraya untuk dikabulkan lebih besar.

"Melanjutkan sekolah?" Liam mengerutkan keningnya.

Alasan 'melanjutkan sekolah' merupakan hal yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Liam. Untuk apa dia melanjutkan sekolah? Bukankah dia akan hidup berkecukupan? Belum lagi uang yang akan Naraya terima saat mereka bercerai nantinya.

Bukankah lebih baik dia tidak melakukan apapun mengingat kondisi fisiknya?

Secara tidak sengaja, Liam telah melihat Naraya dengan pandangan yang meremehkan dan berpikir kalau perempuan sepertinya tidak mungkin berpikir mengenai pendidikan yang telah dia tinggalkan, walaupun itu terjadi dikarenakan Utari yang memaksa untuk mengeluarkannya dari sekolah.

Sementara itu, Naraya yang menangkap nada terkejut dari pertanyaan retoris Liam mulai bergerak- gerak gelisah di tempat duduknya. Dia takut kalau Liam tidak setuju dengan hal ini.

"Aku ingin melanjutkan sekolah… memangnya kamu tidak malu mempunyai istri yang tidak lulus SMA?" Tanya Naraya, berusaha membuat Liam melihat sisi buruk dari menolak permintaannya ini.

Liam adalah sosok yang berpendidikan dan memiliki status maupun nama yang luar biasa baik, tapi kalau dia harus memiliki isteri yang tidak mengecap pendidikan yang memadai, pada akhirnya akan berimbas padanya dan akan mencoreng nama baik keluarga juga bukan?

Tanpa diduga Liam justru tertawa terbahak- bahak saat dia mendengar alasan Naraya dan ini membuat gadis muda itu bingung akan reaksinya.

"Kamu tidak perlu memikirkan nama baik keluarga. Satu tahun dari sekarang, kita akan bercerai dan kamu tidak akan memiliki sangkut paut apapun lagi dengan keluarga Prihadi." Ucap Liam dengan dingin saat tawanya mereda. "Lagipula, tidak akan ada orang lain yang tahu akan pernikahan ini, kecuali keluarga inti. Jadi, tidak perlu menyusahkan dirimu dengan mencoba untuk mensejajarkan pendidikanmu seperti ini."

Kata- kata Liam sungguh menyakitkan untuk di dengar. Naraya harus menggigit bibirnya untuk menahan air mata kesal yang menggenang di pelupuk matanya.

Naraya merasa terhina.

Naraya meminta untuk melanjutkan pendidikannya bukan untuk menyenangkan keluarga Prihadi yang sama sekali tidak dia kenal, tapi untuk dirinya sendiri!

Tapi, dia salah menafsirkan reaksi Liam dan berpikir untuk membuat Liam melihat dari sisi tersebut, yang kini berakhir dengan Naraya di rendahkan lebih jauh oleh pengusaha muda di hadapannya.

"Aku tidak sedang mencoba untuk mensejajarkan pendidikanku dengan kalian!" Sergah Naraya melalui gemertak giginya. Ketegasan sangat terasa dari cara Naraya berkata yang membuat Liam bungkam untuk sesaat.

"Lalu?" Liam menaikkan alisnya melihat betapa marahnya Naraya karena perkataannya, namun dia tidak cukup pengertian untuk berhenti menghinanya. "Dengan kondisimu seperti ini, akan lebih mudah untukmu kalau kamu diam saja dirumah."

Naraya menggertak giginya saat mendengar kata- kata Liam.

"Aku tidak memintamu untuk mengurusku. Kamu tidak perlu merepotkan hal itu karena aku bisa mengurus diriku sendiri." Sahut Naraya sinis. "Aku hanya meminta kamu untuk mendaftarkan aku kembali bersekolah."

Liam kembali terdiam saat dia melihat Naraya menghapus air mata kekesalan dari sudut matanya dengan kasar.

"Kenapa?" Tanya Liam kemudian.

"Kenapa aku ingin bersekolah?" Naraya mencoba mengartikan satu kalimat pertanyaan dari Liam yang tidak bisa mendefinisikan apapun.

"Iya." Jawab Liam singkat.

Bukannya Liam tidak bisa mendaftarkan Naraya kembali bersekolah ataupun dia tidak mau melakukannya, karena dengan satu kata darinya, Naraya dapat memasuki sekolah manapun yang dia inginkan, dengan catatan, sekolah tersebut memiliki program khusus untuk orang- orang seperti Naraya.

"Almarhum nenek, selalu ingin untuk melihatku lulus sekolah dan menempuh pendidikan tinggi, tidak perlu bagaimana kondisiku. Nenek selalu bilang, itu juga merupakan impian mendiang orang tuaku." Ucap Naraya, nada suaranya melunak saat ia membicarakan orang- orang yang dia sayangi.

"Tapi kenyataannya sekarang mereka sudah tidak ada, aku tidak bisa mengundang mereka di acara kelulusanku nanti." Suara Naraya melemah. "Biarpun begitu, ada atau tidak adanya mereka, setidaknya dengan menempuh pendidikan tinggi, aku bisa mewujudkan janjiku pada mereka. Janjiku pada diriku sendiri." Naraya menegaskan kalimat terakhirnya.

Ini bukan lagi masalah menempuh pendidikan atau tidak, tapi Naraya benar- benar ingin melakukan sesuatu di hidupnya yang gelap ini.

Mendengar penjabaran Naraya, Liam ingin menertawakan dirinya sendiri.

Ada apa antara pendidikan dan para orang tua ini? Bukannya Liam tidak mengerti akan pentingnya pendidikan, namun bukan hanya Naraya, bahkan dirinya sendiripun pernah mendengar permintaan konyol itu.

Hal itu terjadi saat ibunya tengah sakit- sakitan dan membutuhkan biaya yang tidak sanggup untuk Liam, yang masih remaja, tanggung.

Namun, bukannya ibu Liam membiarkan anaknya untuk berhenti sekolah, yang menelan biaya cukup mahal, untuk mencari uang dan mengobati dirinya, ibunya justru mengorbankan beberapa sesi terapi hanya agar Liam dapat membayar uang ujian sekolahnya.

Liam mengalami semua itu dan mendapatkan harapan kosong yang sama, seperti Naraya, karena pada saat hari kelulusannya, tidak ada seorangpun yang hadir.

Tidak ada ibu yang mendampinginya dan tersenyum bangga akan kelulusannya.

Pada akhirnya tujuan utama Liam untuk lulus dengan nilai memuaskan menjadi sia- sia.

Liam selalu mencibir dirinya sendiri yang masih sangat muda dan tidak mengerti kerasnya kehidupan. Salah satu buah kebodohan dari masa mudanya, pun sekarang duduk di hadapannya, siap untuk dinikahi.

Kalau bukan karena perjanjian itu…

"Katakan pada Raka, sekolah mana yang kamu inginkan dan dia akan mengurusnya." Ucap Liam pada akhirnya. "Ada lagi?"

Naraya tentu saja senang mendengar hal ini, tapi… "Terimakasih, tapi aku memiliki satu permintaan lagi."

avataravatar
Next chapter