13 RASA SAKIT YANG MEMBUNCAH

Tidak ada secercah cahaya pun yang masuk ke dalam ruangan kamar Naraya, dengan pintu yang tertutup rapat dan lampu yang dimatikan, tidak ada apapun yang dapat terlihat.

Namun kalimat terakhir tersebut hanya akan membuat Naraya tertawa saat dia mendengarnya, biar bagaimanapun juga, bagi Naraya yang hampir seluruh hidupnya terselubung oleh kegelapan, keadaan seperti ini tidak memiliki perbedaan yang significant.

Tapi, yang membuat hatinya terasa lebih pilu adalah rasa sakit di seluruh tubuhnya.

Naraya bahkan tidak dapat menggerakkan jarinya, terlalu lelah dan linu, dan hanya dapat mengerjapkan matanya untuk menghentikan air mata bisu yang menemaninya di kegelapan ini.

Naraya menggigit bibirnya erat, sampai rasa sakitnya dapat mengimbangi apa yang hatinya rasakan. Kesepian ini sungguh menyiksa.

Sebelum pulang dari hotel, dimana tante Utari menyerahkan Naraya kepada keluarga Prihadi, tangan kanan Amira Prihadi, Rafael, mendatangi mereka kalau pernikahan telah di setujui dan akan dilangsungkan dalam satu bulan dari hari ini.

Untuk tempat dan tanggal pastinya, tante Utari akan diberitahukan lebih lanjut.

Berita ini membawa kebahagian bagi tante Utari, kemarahan dari Ara dan malapetaka bagi Naraya, karena Ara melampiaskan kemarahannya pada Naraya dan tante Utari terlalu senang untuk mengindahkan apa yang dilakukan putrinya pada keponakannya.

Sesaat mereka sampai dirumah, Ara dengan membabi- buta menganiaya Naraya, melampiaskan kekesalannya pada ibunya karena bukan dialah yang dipilih sebagai menantu konglomerat Prihadi dan menjadi istri pria sesempurna Liam.

Cemburu dan iri membuat Ara gelap mata. Maklumlah, selama ini Ara tidak pernah tidak mendapatkan apa yang dia mau. Putri pertama di keluargi ini tersebut, memang terkenal dengan temperamennya yang meledak- ledak.

Namun kali ini berbeda. Ara benar- benar menginginkan posisi Naraya.

Kalau saja tadi Ara tidak dihentikan oleh tante Utari dan mbok Minah, mungkin kini Naraya bukan hanya di kenal sebagai perempuan buta, tapi juga buruk rupa.

Dalam keadaan emosi yang memuncak, Ara dengan nekat mengambil pisau dan hendak menorehkan benda tajam tersebut ke wajah Naraya, merusak wajahnya agar pernikahan tersebut tidak terjadi.

Ara tidak terima Naraya mendapatkan hal yang jauh, jauh lebih baik dari dirinya. Sesuatu yang tidak mungkin dia dapatkan.

Kalau bukan tante Utari dan mbok minah yang menenangkannya dan merebut paksa pisau dari tangan Ara, mungkin sekarang Naraya bukan berada di kamarnya yang gelap, meringkuk menahan tangis, tapi berada di ruangan terang benderang di rumah sakit.

Entah mana yang lebih baik, tapi Naraya masih bersyukur Ara tidak berhasil melancarkan niatnya.

Setidaknya tante Utari masih memiliki pemikiran yang jernih untuk tidak menyakiti Naraya dengan luka fisik yang permanent seperti itu.

Tante Utari masih takut uang satu setengah milyar, yang di janjikan Amira Prihadi setelah akad pernikahan selesai, akan melayang begitu saja saat mereka mengetahui Naraya memiliki cacat lainnya.

Ya, Naraya tahu apa perjanjian antara tante Utari dan Amira Prihadi.

Naraya di jual kekeluarga mereka dengan uang senilai dua milyar rupiah, karena hal itulah yang tante Utari jelaskan pada Ara ketika putrinya gusar mengapa bukan dialah yang terpilih sebagai menantu di keluarga tersebut.

Mereka berdua berdebat di dalam taksi, sepanjang perjalanan pulang dari hotel ke rumah.

Ara dengan emosi yang meluap- luap berkata kalau saja dia yang menjadi menantu keluarga Prihadi, maka jangankan uang dua milyar, lebih dari itupun bisa dia berikan pada Utari.

Namun Utari bersikukuh menjelaskan kalau Amira Prihadi telah secara specific menginginkan Naraya dan bukan karena Utari yang menawarkan keponakannya tersebut.

Tidak perduli seperti apa Utari menjelaskan hal ini pada Ara, putrinya tersebut tetap tidak mau mengerti keadaan yang sebenarnya dan melampiaskan murkanya pada Naraya yang merupakan korban dalam situasi ini.

Suara ketukan tiba- tiba di pintu kamar Naraya membuatnya terkejut dan hampir saja membuat Naraya berhenti bernafas.

"Naraya, ini mbak Minah." Ucap suara lembut dari balik pintu.

Naraya memang sengaja mengunci pintu kamarnya karena dia takut Ara akan menerobos masuk seprti yang sudah- sudah.

"Naraya, buka pintunya sebentar, mbak minah bawain makan malam untuk kamu." Bujuk mbak Minah dengan suaranya yang halus. "TIdak ada orang dirumah, Cuma ada mba Minah saja kok. Ara dan Ibu Utari baru saja pergi, mereka akan keluar kota untuk beberapa hari."

Rupanya, demi menenangkan Ara, Utari sengaja membawa putrinya tersebut untuk sekedar refreshing ke luar kota, jaga- jaga kalau Ara kembali nekat melancarkan aksinya, biar bagaimanapun juga Utari sangat memahami betul tabiat putrinya ini.

Tubuh Naraya menjeritkan rasa sakit yang hampir tidak tertahankan saat ia memaksa untuk bangun dari tempat tidurnya dan berjalan ke arah pintu kamar dan membuka kuncinya.

"Ya ampun, kok gelap sekali…?" Mbak Minah meletakkan mangkuk yang berisi mie goreng kesukaan Naraya dan masuk ke dalam kamar untuk mencari saklar lampu.

"Tidak ada bedanya untuk Naraya mbak." Jawab Naraya sembari kembali menuju tempat tidurnya.

Kamar Naraya yang kecil memudahkannya untuk bergerak, karena dia mengetahui setiap letak barang- barang di dalam kamarnya ini.

Saat lampu menyala, mbak Minah kembali terkejut saat melihat memar- memar biru yang mulai bermunculan di permukaan kulit Naraya yang mulus, bahkan semakin terlihat mengerikan karena kulit Naraya yang putih.

"Ya ampun! Naraya, itu bekas lukanya. Memangnya tidak sakit?" Mbak Minah menjerit panik.

Sakit? Tentu saja sakit. Tapi, apa yang bisa Naraya lakukan?

"Sebentar, mbak Minah ambil obat dulu ya." Setelah berkata demikian mbak Minah segera keluar kamar, meninggalkan Naraya untuk sesaat sebelum dia kembali membawa beberapa salep untuk memar dan plester untuk luka.

Naraya tidak menyadari hal ini, tapi tubuhnya memang sangat sensitif terhadap kekerasan dari luar, satu kali pukulan saja bekasnya bisa bertahan sampai dua minggu lebih.

"Naraya cerita sama si mbak, sebetulnya ada apa?" Mbak Minah bertanya sambil mengoleskan salep ke permukaan memar- memar Naraya. "Kok sampai Ara marah sekali seperti itu? Mbok dengar katanya kamu akan menikah? Benar itu?"

Saat mendengar kata 'pernikahan', tangis Naraya pecah, air mata yang sejak tadi dia coba tahan tumpah ruah, hingga dia sulit untuk bernafas karena banyak sekali kata- kata yang ingin Naraya sampaikan pada mbak Minah, tapi tidak tahu harus memulai dari mana?

Sejak Naraya tinggal di rumah tante Utari, hanya mbak Minahlah yang selalu baik padanya dan tidak menyakitinya.

Sementara tante Utari, Ara dan Angga tidak akan pernah puas untuk menyakitinya terus- menerus. Entah ada saja yang salah dengan Naraya.

Kalau Ara akan menyakiti Naraya dengan kata- katanya yang pedas, maka Angga tidak akan segan- segan melemparkan sesuatu pada Naraya hanya untuk bersenang- senang.

Lain halnya dengan tante Utari yang terus mengingatkan dirinya kalau kematian Ayah, Ibu, kakek, nenek dan Dirga, suami Utari adalah kesalahannya. Karena dia membawa sial pada keluarga.

Malam itu, Naraya menumpahkan semua rasa sakit yang ia rasakan pada mbak Minah, menguak satu persatu luka di hatinya yang menyesakkan dada, termasuk rencana pernikahan itu.

avataravatar
Next chapter