16 PERMINTAAN DAN PERTANYAAN

Raka membantu Naraya berjalan menuju lift, dengan membiarkan dia memegang lengannya.

Beberapa saat kemudian pintu lift terbuka dan disanalah Naraya, di dalam ruang kantor yang megah dengan furniture yang mewah dan pemandangan ibukota terhampar di salah satu sisi ruangan yang sengaja dibuat dengan kaca tebal, sehingga pencahayaan di dalam ruangan tersebut sangatlah baik.

Ruangan tersebut di dominasi oleh warna abu- abu dan putih dengan kesan dingin yang sangat terasa, mewakili dengan sempurna kepribadian pemilik ruang tersebut.

Sayangnya, Naraya tidak bisa menikmati pemandangan ini ataupun memuji betapa rapih dan teraturnya ruang kantor Liam.

Dia bahkan tidak mengetahui Liam tengah duduk di balik meja kerjanya dan menatapnya dari kejauhan saat Raka membawanya mendekat.

"Duduk disini sebentar." Raka membawa Naraya ke sofa yang membentuk huruf 'U', di depan meja kerja Liam. "Mau minum apa?" Tanya Raka sopan.

"Air putih saja, terimakasih." Jawab Naraya dengan sopan. "Pak Liam nya masih lama?" Tanyanya tanpa mengetahui orang yang disebutkan telah berdiri dari kursinya dan tengah menghampirinya.

Langkah Liam yang ringan dan tidak menimbulkan suara membuat Naraya tidak mengetahui keberadaannya.

Liam mengibaskan tangannya pada Raka, mengindikasikan pada assistant pribadinya itu untuk meninggalkan mereka berdua sementara waktu.

Merasa aneh karena Raka tidak menjawabnya, Naraya mengerutkan keningnya. "Pak Raka?" Matanya yang berwarna coklat tua menatap kosong keseluruh penjuru ruangan, seolah ia dapat melihat sesuatu kalau dia melakukan hal itu. "Pak Raka masih disini?"

"Liam." Ucap Liam singkat, namun mampu membuat Naraya terkejut dengan satu nama itu.

Ekspresi Naraya seketika itu juga berubah, dia terlihat menjadi lebih was- was daripada sebelumnya, tubuhnya menegang seiring dengan tangannya yang mengepal di atas pangkuannya.

Melihat perubahan sikap Naraya, Liam mengerutkan dahinya dengan tidak suka. Memangnya dia sebegitu menakutkannya?

Harus dia akui, pertemuan mereka yang terakhir kali, yang juga merupakan pertemuan pertama mereka, tidak berakhir dengan cukup baik. Liam sedikit terbawa suasana dan menggoda gadis muda di hadapannya ini dengan berlebihan.

Namun, dia tidak melakukan hal yang lebih daripada sekedar mencium bibirnya. Bukankah itu adalah hal yang masih dikategorikan sebagai wajar? Apalagi Naraya sebentar lagi akan menjadi istrinya.

"Kenapa dengan wajahmu?" Tanya Liam saat dia melihat bekas memar di wajah Naraya.

Secara tidak sadar Naraya menyentuh pipinya yang terasa masih sedikit sakit, tapi menggelengkan kepala seraya berkata. "Tidak apa- apa."

Mendengar jawaban itu, Liam berdecih tidak senang. "Pertama, aku tidak suka di bohongi. Jadi kalau kamu berusaha untuk membohongiku, lebih baik lakukan dengan baik dan jangan meninggalkan bekas seperti itu." Liam berkata dengan dingin dan tanpa nada, seolah ia sedang membaca salah satu kontrak kerja.

Naraya tidak mengerti mengapa Liam selalu meninggalkan kesan tidak menyenangkan setiap kali dia berbicara. Apakah sangat sulit baginya untuk berbicara baik- baik?

"Memar seperti ini tidak ada apa- apa nya dibandingkan dengan luka- luka yang kuterima selama tinggal bersama dengan tante Utari." Jawab Naraya dengan nada yang sama dengan yang Liam gunakan tadi. "Jadi kubilang; aku tidak apa- apa."

Mendengar ketegasan dalam suara Naraya, walaupun gesture tubuhnya masih menunjukkan kalau dia merasa khawatir harus berhadapan dengan Liam, membuat pria tersenyum kecil.

Ternyata dibalik kekurangannya dan sikapnya yang terlihat mudah dijinakkan, sebenarnya dia sangat keras kepala dan memiliki mulut yang tajam juga.

"Oke." Liam berkata dengan nada menyudahi. "Ayo kita membahas tujuan mu datang ke kantorku."

Naraya terdiam, mendengarkan kelanjutan kalimat Liam. Sudah sejak dari perjalanan kesini, dia bertanya- tanya apa tujuan Liam sebenarnya, memanggil Naraya ke kantornya seperti ini.

"Seperti yang sudah kamu ketahui, kurang dari sebulan dari sekarang, kita akan menikah dan menjadi suami isteri." Liam berkata langsung ke inti permasalahannya, seperti yang selalu dia lakukan.

"Harus kukatakan dari awal kalau aku tidak menginginkan pernikahan ini." Liam menekankan hal ini pada Naraya. "Bukan karena aku tidak ingin menikah denganmu, tapi karena aku tidak menginginkan sebuah pernikahan sama sekali."

Naraya ingin membuat sarkastik komentar mengenai pernyataan Liam ini, tapi dia menggigit lidahnya, menelan kembali kata- katanya saat ia mengingat apa yang mbak Minah katakan.

Mungkin ini adalah satu- satunya jalan keluar bagi Naraya untuk keluar dari tirani tante Utari.

"Oleh karena itu, aku tidak ingin sesuatu berjalan tidak sesuai dan di luar kendaliku."

"Maksudnya?" Naraya bertanya dengan hati- hati karena dia tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini.

Otak remajanya tidak sanggup mengikuti maksud- maksud tersembunyi di balik kalimat- kalimat Liam yang terlalu singkat.

"Aku akan mempermudah penjelasan ini." Liam menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa dan menatap lurus pada Naraya. "Pernikahan ini hanya akan berlangsung selama setahun, lalu kamu akan mendapatkan 15% saham dari perusahaan keluarga Prihadi."

Naraya mengedipkan matanya berkali- kali, berusaha mencerna kata- kata Liam. "Maksudnya…" Dia berusaha mencari kata- kata yang tepat di kepalanya. "Kamu ingin pernikahan ini seperti pernikahan kontrak?"

"Benar." Jawab Liam lugas, sedikit senang karena Naraya ternyata cukup pintar untuk ukuran remaja seusianya. "Pernikahan ini akan berlangsung selama satu tahun, setelah itu kita akan bercerai."

"Dan aku akan mendapatkan 15 persen saham keluarga Prihadi?" Naraya memastikan sesuatu.

"Ya, 15 persen saham tersebut akan tertera sebagai alimony mu nantinya." Saham 15 persen yang akan di jadikan alimony tersebut akan menjadi tamparan keras untuk Amira juga.

Naraya menggigit bibirnya berfikir.

"Apa yang bisa kulakukan dengan saham 15 persen itu?" Naraya sedang mengira- ngira uang yang akan dia dapatkan dari saham tersebut. Apakah setelah itu dia dapat hidup mandiri? Tanpa meminta bantuan ataupun menumpang di rumah keluarga tantenya?

"Kamu bisa hidup dengan mewah sampai kamu mati dengan jumlah saham tersebut." Liam berkata dengan sinis. Pada akhirnya semua akan selesai dengan uang.

Naraya menahan nafasnya.

Hal pertama yang terlintas di benaknya adalah mengajak mbak Minah untuk tinggal bersamanya apabila dia menerima uang tersebut. Hidup tanpa rasa takut akan tante Utari dan anak- anaknya, terdengar sangat menyenangkan.

"Silahkan diminum dulu." Suara Raka tiba- tiba memecahkan suasana hening yang tercipta diantara Liam dan Naraya.

Terdengar suara denting gelas yang diletakkan diatas meja kemudian suara samar langkah kaki yang menghampiri Naraya.

Sesaat kemudian, Liam meletakkan MOU yang ada di tangannya ke pangkuan Naraya. "Kamu bisa meminta Raka, assistant pribadiku untuk membacakannya."

Naraya menyentuh kertas- kertas di pangkuannya.

"Atau aku bisa membuatkannya dalam versi Braille, kamu bisa baca Braille kan?" Tanya Liam.

Naraya terdiam untuk sesaat sebelum akhirnya dia memutuskan untuk menanyakannya langsung. "Boleh aku meminta dan bertanya sesuatu?"

avataravatar
Next chapter