34 PERASAAN MEREKA BUKAN TANGGUNG JAWAB LIAM

Secara refleks Naraya menarik kakinya dari tangan Liam dan berusaha untuk berdiri dengan bersandar pada tembok di belakangnya.

"Kamu tidak perlu melakukan hal itu." Gumam Naraya, dia tidak terbiasa mendapati orang lain menyentuh kakinya, apalagi berlutut di hadapannya seperti yang dilakukan Liam.

Kalau dia memang mau membuatnya untuk tidak menyukainya, kenapa dia terus menerus memperlakukannya seperti ini?

"Kamu tidak perlu memperlakukanku seperti ini, disini hanya ada kita berdua, bukan?" Naraya berusaha mendengar suara lain di dalam ruangan, namun selain mereka berdua, dia yakin tidak ada orang lain disekitar mereka.

Liam tidak berkata apa- apa ketika dia berdiri, menjulang di hadapan Naraya sambil tersenyum dan melipat kedua tangannya di depan dadanya.

Matanya yang tajam menatap Naraya, terhibur dengan sikap gadis di hadapannya ini yang berusaha untuk menunjukkan cakarnya, seperti seekor anak kucing lemah yang berusaha mengerahkan perlawanan terakhirnya dengan sia- sia.

"Apa yang ingin kamu katakan sampai meminta untuk berduaan saja denganku?" Liam tahu kalau Naraya sudah pasti tidak dapat melihatnya, tapi gadis ini pasti dapat merasakan sosok Liam yang mengintimidasi dirinya.

Dengan sengaja, Liam mencondongkan tubuhnya ke arah Naraya dan memenjarakan dia diantara lengannya yang kokoh, sementara punggung Naraya menempel erat ke tembok di belakangnya.

Tindakan ini tentu saja membuat Naraya terkejut dan berusaha mendorong Liam menjauh dari dirinya, tapi dalam usahanya tersebut, justru telapak tangan Naraya menemukan dada Liam yang bidang, merasakan otot- otot pria tersebut dalam sentuhannya.

Ini pertama kalinya Naraya menyentuh tubuh pria dewasa dan ini membuatnya mengeluarkan jeritan tertahan karena terkejut dan menarik tangannya kembali.

Wajah Naraya terasa panas, namun tangannya justru terasa dingin. "Mau apa kamu?!" Sergah Naraya, berusaha terdengar galak, namun justru membuat Liam terkekeh geli saat mendengar suaranya yang bergetar dan pipinya yang kembali merona merah.

"Pelan kan suaramu." Ucap Liam memperingatkan, tapi justru terselip kesenangan dalam nada bicaranya.

"Atau apa?!" Tantang Naraya, menyilangkan tangannya di depan dadanya, menutupi gaunnya yang memiliki belahan dada begitu rendah.

Naraya berpikir untuk berteriak minta tolong kalau Liam berusaha untuk berbuat macam- macam, nenek Asha pasti bisa mendengar teriakannya atau setidaknya staff- staff tante Bianka yang baru saja keluar tadi, pasti mendengarnya.

"Atau aku akan membuat diam dengan cara yang sama seperti dulu…" Bisik Liam ke telinga Naraya dengan suaranya yang rendah dan berat.

Naraya harus menutup matanya saat merasakan nafas Liam yang hangat, yang berhembus di tengkuknya.

Naraya tahu kalau Liam hanya sedang menggodanya dan, Naraya mulai menyadari kalau ini merupakan salah satu permainan favoritnya.

Tapi, Naraya tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri kalau tindakan- tindakan Liam membuat hatinya berdesir dan berdegup lebih kencang.

Biar bagaimanapun juga, Naraya bukanlah anak- anak, dia merupakan gadis remaja yang akan beranjak dewasa.

Walaupun dirinya tidak memiliki pengalaman seperti teman- temannya yang lain terhadap lawan jenis, tapi dia mengetahui dengan pasti, perasaan apa yang berdesir di hatinya saat ini.

Kata- kata Liam yang baru saja dia bisikkan berhasil membuat Naraya terdiam. "Sekarang katakan apa yang ingin kamu bicarakan denganku?"

Naraya menggigit bibir bawahnya dengan cemas, dia dapat merasakan hangat tubuh Liam karena dekatnya jarak diantara mereka, dan hal ini tidak membantu Naraya berkonsentrasi akan apa yang ingin ia katakan pada Liam.

"Tolong menjauh sedikit…" Naraya merutuki dirinya sendiri saat suaranya terdengar serak dan parau saat mengatakan hal tersebut, Liam pasti saat ini sedang tersenyum penuh kemenangan karena berhasil mengintimidasi Naraya… lagi.

Namun, seperti yang sudah- sudah, Liam sama sekali tidak mengindahkan permintaan Naraya, terlebih lagi saat melihat gadis tersebut gugup, entah kenapa hal ini justru membuatnya ingin menggoda Naraya lebih jauh lagi.

Bagaimana tidak? Sepanjang perjalanan hidupnya sejak dia menyandang nama Prihadi di belakang namanya, semua perempuan yang dia temui akan dengan senang hati mendekati dirinya tanpa malu- malu.

Di lain sisi, saat Naraya merasakan Liam tidak bergerak se inchi pun dari dirinya, dia mengambil nafas dalam dan berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri sebelum dengan sekuat tenaga dia mendorong Liam menjauh.

Hal ini berhasil membuat tubuh Liam yang seperti kungkungan besi bergeser menjauh dari Naraya karena dia tidak menduga kalau Naraya akan melakukan hal tersebut.

Saat merasa tubuh Liam bergerak menjauh, Naraya buru- bur melangkah ke samping dan menjauhi tembok, berusaha agar dirinya tidak terjebak dalam posisi yang sama seperti tadi, kalau tidak, Naraya mungkin tidak akan sanggup untuk menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan dengan jelas.

"Diam disana!" Naraya mendesis sambil mengulurkan tanganya lurus kea rah Liam sambil jari telunjuknya teracung, sebuah gesture peringatan agar Liam tidak mendekat.

Walaupun pada kenyataannya Naraya menunjuk kearah yang salah, karena Liam berdiri satu langkah jauhnya dari posisi kemana jari Naraya menunjuk.

Tapi, Liam tidak mengkoreksinya dan membiarkan Naraya melanjutkan kata- katanya. "Katakan apa yang ingin kamu katakan."

Naraya mengerjapkan matanya saat mendengar suara Liam yang berasal dari arah yang berbeda, kemudian dia menurunkan tangannya menatap ke arah sumber suara.

"Aku ingin menambahkan beberapa point dalam perjanjian kita." Jawab Naraya dengan lugas.

Liam tersenyum, dia sudah menduga akan hal ini dan cukup terkesan dengan pendengaran Naraya yang baik, sehingga dia bisa menemukan tempatnya berdiri dengan hanya mendengar suaranya saja untuk sesaat.

"Katakan." Jawab Liam sambil tersenyum mengamati gadis muda di hadapannya.

Mendengar respon Liam yang positif, Naraya menarik nafasnya kembali lalu mengangka tangannya, menunjukkan pergelangan tangan kirinya yang tadi Liam cengkram dengan sangat kuat saat mereka berjalan menuju butik milik tante Bianka.

"Pertama," Kata Naraya dengan suara yang tenang. "Aku tidak mau menerima kekerasan seperti ini lagi."

Kalau Naraya harus menerima kekerasan seperti ini, lalu apa bedanya dia menikah dengan Liam atau tidak? Di awal saja Liam sudah berani menyakitinya secara fisik, bagaimana nanti kalau mereka sudah tinggal di satu atap yang sama?

Liam akan lebih leluasa melakukan apapun yang dia suka.

Di sisi lain, Liam mengerutkan keningnya saat menatap pergelangan tangan Naraya yang mulai memerah dalam bentuk cengkraman tangannya.

Liam tidak menyangka kalau Naraya akan memiliki kulit yang sangat sensitif seperti ini, sehingga sedikit tekanan saja mampu membuatnya terluka.

"Aku minta maaf soal itu." Walau Liam merupakan pria brengsek, tapi tidak ada dalam dirinya dorongan untuk menyakiti wanita, paling tidak secara fisik, karena ia tidak peduli dengan perasaan wanita- wanita yang mengelilinginya selama ini.

Perasaan mereka bukan tanggung jawab Liam, itu merupakan urusan mereka.

Naraya mengangguk, menerima permintaan maaf Liam. "Aku ingin hal ini di masukkan kedalam perjanjian kita." Lalu dia melanjutkan. "Dan mengenai perempuan yang kamu telpon tadi…"

avataravatar
Next chapter