52 MENGHARGAI MASA LALUMU

Sebelum Liam dapat menjawab permintaan Naraya, gadis itu sudah melompat turun dari kursi bar dan berjalan kearah pintu dapur sambil berkata. "Sebentar, aku akan mengambil ponsel."

Setelah mengatakan hal itu, Naraya segera menghilang di balik pintu, kemudian terdengar langkah- langkahnya yang terburu- buru berjalan di koridor.

Liam mengerutkan dahinya, dia hanya berharap Naraya tidak menabrak pajangan miliknya lagi.

Tidak berapa lama kemudian gadis itu kembali sambil membawa ponsel monophonic di tangannya.

Sebetulnya Liam menyuruh Raka membelikan ponsel tua dan butut ini untuk meledek Naraya, tapi siapa yang menyangka kalau pemikiran gadis ini berbeda? Dia justru menyukainya dan menganggapnya sebagai benda berharga miliknya.

Saat Raka menyampaikan bahwa Naraya menyukai ponsel ini, karena ini merupakan ponsel pertamanya, Liam sempat tidak percaya dan menganggap ucapan Raka hanyalah lelucon belaka.

Namun, setelah melihat senyum tulus Naraya saat menyodorkan ponsel tua miliknya pada Liam, dia seketika tahu kalau Naraya benar- benar menghargai pemberiannya.

"Nomormu." Katanya sambil menyodok lengan Liam dengan ponsel berwarna hitam itu. "Di taruh di panggilan cepat ya, supaya aku bisa langsung menghubungimu kalau ada apa- apa."

Tanpa banyak berkata, Liam mengambil ponsel itu dan mulai memasukkan rangkaian nomor pribadi miliknya ketika Naraya menambahkan ucapannya.

"Panggilan cepat nomor dua saja, karena yang nomor satu adalah nomor pak Raka." Naraya memberitahukan Liam.

Saat memberitahukan hal tersebut, sebetulnya Naraya tidak memiliki maksud yang lain, dan memang hanya memberitahukannya saja.

Namun, Liam menanggapinya dengan berbeda, dahinya sedikit berkerut tidak suka.

Okay, mungkin kini pemikiran Liam menjadi dangkal seperti yang di tuduhkan Naraya semalam, tapi dia tidak suka berada di urutan nomor di bawah assistant pribadinya. Kenapa juga dia harus menjadi nomor dua?

"Panggilan cepat ku ada di nomor 1, Raka di nomor 2." Ujar Liam singkat sambil mengembalikan ponsel milik Naraya.

"Hm? Kenapa diganti?" Naraya bergumam bingung tapi tidak mengatakan apapun lagi, dia menerima ponselnya dan memasukkan ke saku celana boxer milik Liam.

Karena Naraya tidak memiliki baju ganti, jadi dia memakai pakaian Liam selama berada di sini. Rencananya, Liam nanti akan menyuruh seseorang untuk membelikan beberapa stel baju untuk Naraya.

"Jadi guru homeschooling ku akan datang tiga hari dari hari ini?" Naraya masih tidak suka dengan ide homeschooling, tapi mau bagaimana lagi? Membujuk Liam sama saja dengan membuang- buang waktu dan tenaga, lagipula Naraya bisa apa?

Dia tidak mungkin mengancam Liam atau menyogoknya, kan?

"Hm." Jawab Liam sambil terus mengetik sesuatu di laptopnya.

"Lalu selama tiga hari ini aku akan di rumah saja?" Naraya masih mencecar Liam dengan pertanyaan- pertanyaan.

"Hm." Liam kembali menyeruput kopinya.

"Lalu aku melakukan apa dirumah?" Naraya menggeser bangkunya hingga mendekati Liam sambil terus bertanya.

Kesal. Liam mendorong laptopnya menjauh dan menghadapai gadis banyak bicara di sebelahnya. "Aku tidak peduli apa yang kamu mau lakukan di rumah, selama kamu tidak menghancurkan isi rumahku, kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau." Ia menggeram dan membuat Naraya tersentak.

"Aku hanya bertanya…" Naraya bergumam. "Kamu akan pergi seharian ke kantor dan aku akan sendirian disini… biasanya aku akan membantu mbak Minah untuk mengerjakan pekerjaan rumah sambil bercerita dengannya."

"Baik, kalau begitu akan ku antarkan saja kamu ke rumah tante mu lagi, bagaimana?" Tanya Liam, seketika itu juga di dapat melihat ekspressi terkejut Naraya.

Dengan dramatis Naraya mengibaskan tangannya sambil berkata dengan cepat. "Tidak, tidak… aku tidak mau pulang ke rumah itu…" Naraya menggigit bibirnya. Bayangannya kembali ke peristiwa tidak mengenakan pada malam itu.

Liam tidak bermaksud untuk menakuti Naraya, tapi kata- kata itu terlontar begitu saja dan melihat Naraya ketakutan seperti ini, membuat Liam sedikit menyesali perkataannya.

Video dalam ponsel yang Liam lihat semalam pun kembali muncul Dalam benaknya, dan entah kenapa ini membuatnya marah.

"Kalau begitu diam dirumah." Ucap Liam sambil mengertakkan giginya.

"Okay." Naraya menurut. Dia tidak mau kembali kerumah itu walaupun disana ada mbak Minah.

Perlahan Naraya turun dari kursi bar dan membawa gelas kosong bekas susu yang ia buat ke arah dishwasher untuk mencucinya, mengambil ponselnya dan setelah itu dia keluar dari dapur.

Liam terus menatap pergerakan gadis itu sampai dia menghilang di balik pintu dapur lalu melanjutkan kembali pekerjaannya.

Jam menujukkan pukul 7.20 a.m. saat Liam memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya dari kantor.

Dia menutup laptopnya dan berjalan ke arah kamar untuk mandi dan bersiap- siap.

Disana, lagi- lagi Liam melihat Naraya sedang duduk di lantai dengan bersandar ke pinggir ranjang sambil mendengarkan sesuatu dari walkman tuanya.

Penasaran. Liam menghampiri gadis itu, dia berjongkok di hadapannya.

Naraya memang buta, tapi bukan berarti dia tidak akan merasakan kalau ada seseorang yang sedang menatapnya ataupun berada sangat dekat dengannya.

"Liam?" Tanya Naraya.

Tidak ada jawaban.

Begini lagi?

"Liam?" Naraya kembali memanggil namanya tapi, tidak dijawab.

Kemudian Naraya mengulurkan tangannya, kali ini dia akan mencubit Liam lebih keras agar lain kali dia dapat menjawab panggilannya.

Tapi sebelum tangan Naraya meraih bagian tubuh Liam, tangannya sudah di tahan, genggaman pria ini begitu erat dan kuat sampai dia tidak bisa menggerakkan tangannya sama sekali.

"Kamu sedang mendengarkan apa?" Liam bertanya, penasaran, tapi rasanya aneh untuk bertanya hal seperti ini.

Sejak kapan Liam penasaran mengenai urusan orang lain?

"Ah, benar Liam." Ucap Naraya dramatis dengan nada sarcastic. "Ini?" Dia mengangkat walkman di pangkuannya dengan tangan kirinya karena Liam belum melepaskan tangan kanannya.

"Pelajaran." Jawab Naraya singkat.

"Pelajaran?" Liam mengerutkan keningnya.

"Iya, aku biasa merekam pelajaran di kelas supaya bisa mendengarkannya lagi saat pulang dirumah." Naraya menjelaskan dengan antusias.

"Apa itu masih berfungsi?" Liam meragukan kemampuan benda tua mungil di tangan Naraya. Dia tidak pernah melihat walkman setua ini.

"Tentu saja." Dahi Naraya berkerut. "Kalau tidak berfungsi lalu apa yang aku dengarkan dari tadi?"

Pertanyaan Naraya ada benarnya juga. Kalau memang tidak berfungsi lalu apa yang dia dengarkan?

"Aku akan membelikan yang baru," Kata Liam sambil melepaskan tangan Naraya. "Benda tua itu mengganggu mataku." Dan tidak ketinggalan pula komentar pedasnya.

"Tidak usah." Naraya cemberut. "Aku lebih suka dengan walkman ini."

"Itu barang rongsokan dan aku tidak suka ada barang- barang butut di tempatku." Liam kesal karena Naraya terus menolak kata- katanya, mulai dari sekolah hingga walkman ini. Semuanya. Segala hal harus di debatkan terlebih dahulu.

Sebenarnya niat awal Liam hanyalah untuk membelikan alat perekam baru untuk Naraya, tapi entah kenapa dia membuat segalanya jadi rumit dengan melontarkan komentar yang tidak seharusnya.

"Bagimu ini barang butut, bagiku ini kenang- kenangan dari almarhum kakekku." Naraya juga tidak kalah kesalnya dengan Liam karena telah menghina barang kesayangannya.

"Memangnya dengan mengenang kakekmu, dia bisa hidup kembali?" Liam berkata dengan pedas. "Kamu hanya akan hidup di masa lalu."

"Pribadi mu yang sekarang adalah hasil dari hal- hal yang telah kamu lalui di masa lalu." Sergah Naraya dengan gusar. "Kakek ku memang tidak akan hidup kembali, tapi setidaknya banyak hal yang aku pelajari dari dirinya."

Liam tidak menjawab perkataan Naraya, ia hanya menatapnya dengan tajam sampai gadis itu kembali berkata.

"Dan salah satunya adalah menghargai orang lain, yang sepertinya tidak kamu pelajari di masa lalumu." Naraya berkata dengan nada pelan namun menusuk. "Mungkin salah satu alasannya karena tidak ada yang pernah mengajarimu akan hal itu."

avataravatar
Next chapter