46 KAMU MEMILIKI SESUATU YANG BERHARGA?

Naraya tersentak, terkejut mendengar kata- kata Liam padanya. Bagaimana mungkin pria ini dapat berkata dengan begitu gamblangnya? Seolah kata itu tidak bermakna apapun… atau mungkin memang seperti itulah adanya.

Tidak ada kata yang bermakna bagi pria seperti Liam. Ia mungkin bahkan tidak mengetahui kalau kata- kata seperti itu tidak selayaknya di ucapkan.

"Kamu tidak seharusnya berkata seperti itu walaupun hanya bercanda…" Naraya bergumam saat Liam berdiri dan berjalan kea rah nakas di samping tempat tidur, mengambil sesuatu dari dalam sana.

Entah kapan terakhir kali Liam menggunakan obat- obatan seperti ini.

Liam adalah seorang pria yang tidak pernah ambil pusing dengan luka berdarah, tapi berkontradiksi dengan sifatnya, Liam justru memiliki satu kotak obat lengkap yang nenek Asha telah persiapkan untuknya.

Karena itu merupakan pemberian nenek Asha, maka dari itu Liam mau menerimanya, karena dengan begitu urusan akan cepat selesai dan tidak akan menjadi jauh lebih rumit.

Tapi, di saat seperti ini, Liam bersyukur dia memiliki kotak obat pemberian nenek Asha tersebut.

"Aku tidak bercanda, aku serius." Liam kemudian kembali duduk di lantai di hadapan Naraya, ia mengulurkan tangannya untuk meraih kaki Naraya yang terluka dan masih mengeluarkan darah segar. "Justru aku yang ingin bertanya. Apakah pertanyaanmu itu serius saat menawarkan untuk mengganti pajanganku?"

Naraya terdiam sesaat, berusaha menahan rasa perih saat Liam merawat lukanya. "Tapi, tidak dengan cara seperti itu!" Sergah Naraya, meringis saat Liam mengusapkan alcohol di atas lukanya yang telah ia bersihkan.

Dahi Liam berkerut saat melihat Naraya berusaha menahan rasa sakit dari lukanya.

Apakah sesakit itu? Liam membatin sendiri, seandainya hal ini terjadi padanya, Liam bahkan tidak akan ambil pusing untuk mengobatinya. Dia hanya akan berusaha untuk menghentikan pendarahannya dengan es batu kemudian membiarkannya, tapi mengapa Naraya terlihat begitu tersiksa?

Tentu saja penelaahan pintar Liam tidak dibarengi dengan kenyataan bahwa Liam telah dididik sangat keras oleh kehidupan. Dimana di dunianya kata 'sakit' tak lagi dapat ditemukan.

Tapi, biar bagaimanapun juga, Liam tetap memperhalus gerakannya. Hanya gerakannya saja yang melembut, tidak dengan kata- katanya.

"Lalu dengan cara seperti apa kamu akan membayarku?" Liam menjawab. "Kamu punya uang? Sesuatu yang berharga? Sesuatu yang bisa ditukar dengan nilai yang sama dengan pajangan yang kamu pecahkan?"

Uang? Naraya punya, tapi tentu saja tidak cukup.

Sesuatu yang berharga? Memangnya ada?

Sesuatu yang bisa ditukar dengan nilai yang sama? Mmmhh?

Naraya mengerutkan wajahnya, cemberut. Dia tidak punya semua itu, okay!?

"Kenapa? Tidak punya? Tidak ada kan?" Liam tersenyum saat melihat Naraya diam saja. "Karena itu, jaga baik- baik tubuhmu, aku akan menagih pembayarannya di lain waktu."

Selesai dengan perban di kaki Naraya, Liam menepuknya. "Selesai." Tidak terlalu keras, tapi cukup membuat Naraya menjerit kesakitan.

"Argh! Sakit!" Teriak Naraya. "Aku akan bayar saat kita bercerai nanti, aku akan mendapatkan uang yang banyak darimu, kan?"

Mendengar jawaban itu, Liam terkekeh. "Hm, cukup masuk akal."

Kemudian dengan mudahnya dia mengangkat tubuh Naraya dan menggendongnya ke atas ranjang. Mau tidak mau, Naraya harus berpegangan pada leher pria tersebut.

Saat kulit mereka bersentuhan, sungguh terasa hangat di telapak tangan Naraya dan walaupun hanya sesaat, dia dapat mendengar detak jantung Liam yang teratur.

Hal ini membuat jantung Naraya sendiri berdegup tidak beraturan, ini pertama kalinya Naraya berdekatan dengan seorang pria dan bisa berada sedekat ini.

Sesaat setelah Naraya merasa ia telah berada di atas kasur, selanjutnya yang ia rasakan adalah sentilan di ujung hidugnya.

"Aw! Kenapa lagi!?" Protes. Naraya segera menutupi hidungnya dengan kedua tangannya.

"Berhenti tersipu seperti itu," Omel Liam. "Tidak cocok untukmu."

Kemudian terdengar suara kantong plastic yang bergemerisik, lalu sesuatu berbentuk kotak berada di pangkuan Naraya.

"Apa ini?" Naraya menurunkan tangannya, meraba kotak tersebut.

"Makan siang." Jawab Liam singkat.

"Jam berapa sekarang?" Naraya kembali bertanya.

Walaupun bingung, Liam tetap menajawab pertanyaannya. "15.51."

"Berarti bukan makan siang lagi." Naraya mengeluarkan statement yang membuat Liam speechless. "Aku tadi sangat lapar, jadi aku mencoba mencari makanan di dapur, tapi malah menabrak pajanganmu." Gadis itu bergumam sambil membuka kotak makanan di pangkuannya.

Gumamannya cukup keras terdengar, memantul di dinding kamar yang hanya di tinggali oleh Liam dan dia.

Tentu saja Naraya kelaparan, terakhir kali dia makan adalah kemarin siang. Batin Liam.

"Maaf ya sudah merepotkan." Ucap Naraya, tangannya berusaha mencari sendok atau sesuatu yang bisa ia gunakan untuk makan.

"Memang merepotkan." Liam menggerutu sambil memberikan sendok plastic ke tangan Naraya agar gadis tersebut bisa menggunakannya.

"Terimakasih." Naraya dengan suka cita melahap makanan di depannya dengan hati- hati agar tidak membuat kasur Liam berantakan.

"Jangan kemana- mana, aku tidak mau ada barang- barangku lagi yang pecah." Liam memperingatkan.

Namun Naraya hanya mengangguk- anggukkan kepalanya sambil bergumam sebagai bentuk jawaban kalau dia mengerti apa yang Liam katakan.

Kemudian, Naraya mendengar suara pintu yang terbuka, suara sesuatu yang bergesekan, lalu suara kaca yang berdentingan.

Sepertinya Liam sedang membereskan kekacauan yang Naraya telah buat sementara pengacau tersebut sedang makan dengan lahapnya di atas ranjang king size milik si empunya.

Selesai membereskan pecahan- pecahan kaca di lantai, Liam mengambil kain lap dan menyemprotkan sanitizer ke lantai apartmentnya.

Ternyata darah yang Naraya keluarkan cukup banyak hingga mengotori seluruh kain lap yang Liam gunakan, dia jadi kembali berpikir apakah dia harus membawa gadis itu ke dokter untuk diperiksa?

Sambil berpikir demikian, Liam melemparkan kain lap yang telah di penuhi darah Naraya ke atas counter dapurnya. Ia akan membersihkannya nanti.

Karena, Liam sangat tidak suka apabila privasi nya di ganggu, maka dia membersihkan apartmentnya seorang diri, hanya seminggu dua kali seseorang akan datang untuk mengambil pakaian kotor dan merapikan apartmentnya.

Saat Liam kembali ke kamar, Naraya masih makan, namun wajahnya sedikit berkerut.

"Kenapa? Tidak enak?" Tanya Liam, melirik kotak makanan yang hampir habis setengah. Tidak mungkin tidak enak kalau dia bisa menghabiskan hampir setengahnya.

"Aku tidak suka kuning telur…" Naraya kemudian menelan dengan susah payah. "Iiihh…" Dia bergidik saat makanan tersebut melewati tenggorokannya.

"Kalau tidak suka, ya jangan di telan." Ucap Liam sambil mengambil kotak makan miliknya sendiri. Dia juga belum makan.

Di kotak makan tersebut memang ada sajian telur mata sapi, mungkin Naraya tidak sengaja mengambilnya dan melahapnya.

"Mau bagaimana lagi, sudah ada di mulutku… tidak boleh buang makanan." Ujar Naraya.

"Apa? Ibumu yang bilang begitu?" Liam tidak bermaksud terdengar sinis, namun kata- katanya keluar begitu saja.

Naraya menggeleng. "Bukan. Aku bahkan tidak ingat lagi ibuku seperti apa, dia pergi bersama Ayah saat aku masih berumur 7 tahun."

Mendengar jawaban Naraya, Liam terdiam. Tentu saja dia tahu akan hal itu.

Suasana kemudian menjadi canggung untuk Liam karena telah salah berucap, tapi sepertinya fokus Naraya tidak sama dengannya, karena setelah itu dia berkata.

"Boleh tolong ambil kuning telurnya? Takutnya nanti aku tidak sengaja memakannya lagi." Pinta Naraya.

"Merepotkan." Gerutu Liam, tapi dia melakukan apa yang gadis tersebut minta.

avataravatar
Next chapter