10 KAMU HARUS TERBIASA DENGAN SENTUHANKU

"Mama! Bagaimana mungkin perempuan buta ini menikahi pria sesempurna Liam Prihadi!?!" Jerit Ara tidak terima. Dia sendiripun terkejut saat mengetahui tujuan sesungguhnya dari pertemuan ini. "Kenapa malah dia!? Kenapa bukan Ara saja!"

Ara sangat marah, mukanya sampai merah padam. Dia bahkan tidak perduli kalau Rafael yang menunggu di luar pintu ruangan dapat mendengarnya ataupun memikirkan perasaan sepupunya, Naraya, yang berada di dalam ruangan juga.

"Ibu Amira maunya dia, sayang…" Utari mencoba menenangkan putri semata wayangnya ini sambil berusaha membujuknya untuk duduk.

Tapi Ara terlalu kesal sehingga ia menghampiri Naraya dengan langkah panjang dan langsung menampar pipi sepupunya ini.

Ara ingin menyerapah, tapi tidak tahu apa yang harus ia katakan.

Naraya tidak mungkin menggoda Liam ataupun meminta pada Amira untuk perjodohan ini. Memangnya siapa Naraya sehingga bisa masuk kelingkungan elite untuk melakukan itu? Lagipula, semenjak dia tidak bersekolah lagi dua bulan lalu, dia tidak pernah keluar rumah.

Sebetulnya Naraya juga tidak tahu apa- apa, sama seperti Ara, dia juga baru tahu mengenai perjodohan ini setelah mendengar keributan kecil yang terjadi tadi, tapi selebihnya Naraya tidak tahu apa- apa.

Naraya merasakan pipi kirinya sakit karena tamparan Ara, dia menggigit bibirnya, berusaha untuk melawan keinginannya untuk menangis.

Dia tidak mau menangis dan membuat Ara semakin marah, karena sepertinya, semakin ia menunjukkan kalau perbuatan mereka berhasil untuk menyakitinya, maka semakin brutal mereka memperlakukannya.

Naraya memiliki pemahaman ini sejak ia tinggal bersama dengan tante Utari dan menerima perlakuan tidak menyenangkan dari mereka.

"Mama! Kenapa dia!?" Jerit Ara tidak terima.

Rasa cemburu yang tidak tertahankan menekan perasaan Ara, seorang perempuan yang tidak pernah tidak mendapatkan apa yang terbaik dari Ibunya. Tapi kenapa kali ini justru Ibunya memberikan pernikahan yang sangat berharga pada Naraya.

Jangankan menjadi istri sah Liam, bahkan untuk menjadi simpanan pria seperti dia pun Ara mau!

Ara membayangkan keuntungan- keuntungan yang akan ia dapatkan dari pernikahan ini; uang yang berlimpah, itu merupakan hal yang pasti ia dapatkan. Ketenaran, siapa yang tidak ingin tahu mengenai istri dari konglomerat muda Liam Prihadi? Dan banyak lagi…

Memikirkan itu saja sudah membuat Ara pusing dan melayangkan satu tamparan lagi ke pipi Naraya.

Di lain sisi, Utari tidak berusaha sekalipun untuk mencegah putrinya untuk menampar Naraya, karena menurutnya itu lebih baik daripada ia harus berteriak- teriak dan mempermalukan mereka berdua.

Melampiaskan kekesalan Ara pada Naraya merupakan cara terbaik, untuk menenangkan Ara sementara waktu.

Kali ini, kuku Ara yang tajam menggores pipi kirinya dan membuat luka yang cukup terlihat di wajah Naraya.

Perih dan sakit, Naraya hanya dapat memendam kemarahannya karena diperlakukan tidak adil seperti ini, bahkan tidak ada yang perduli pada perasaannya.

Tidak ada yang bertanya apakah ia setuju dengan pernikahan ini? Atau bagaimana dengan perasaannya?

Sekali lagi Naraya seperti ditampar oleh kenyataan bahwa setelah kematian neneknya, tidak ada lagi orang yang benar- benar peduli padanya.

Lalu kenapa ia terus berharap mereka dapat mengerti perasaannya? Naraya sungguh ingin menertawakan dirinya sendiri.

Tanpa mereka ketahui, di balik pintu, ada dua orang yang mendengarkan perdebatan sengit yang berlangsung di dalam.

Rafael menatap Liam dengan dahi berkerut saat melihat senyum tipis di bibir pria yang lima tahun lebih muda darinya ini, tapi mampu membuat orang sekaliber ibu Amira naik pitam dan menemui jalan buntu berulang kali.

Rafael mengetahui kemelut di keluarga Prihadi dan identitas Liam yang sebenarnya. Liam bukanlah anak hasil adopsi tapi, merupakan anak hasil perselingkuhan Narendra dengan seorang pegawai bar lebih dari tiga decade lalu.

Senyum di wajah Liam membuat Rafael tidak nyaman, karena walaupun ia mendengarkan keributan di dalam dan bagaimana calon istrinya di bully, senyum Liam tidak pudar. Seolah menikmati apa yang dia dengar.

Lalu setelah keadaan di dalam ruangan tersebut menjadi lebih tenang dan terdengar suara bisik Utari yang tidak begitu bisa dimengerti, sepertinya Utari sedang mengatakan kata- kata manis untuk menenangkan Ara, Liam mengetuk pintu tersebut, membuat terkejut bukan hanya Rafael tapi juga ketiga wanita di dalam sana.

Kemudian tanpa menunggu dipersilahkan untuk masuk, Liam membuka pintu dan melangkah ke dalam ruangan. Lagipula untuk apa seorang Liam meminta izin memasuki ruangan kalau seluruh gedung hotel tersebut adalah miliknya.

"Bisa kalian berdua keluar sebentar? Saya mau bicara berdua saja dengan calon istri saya." Liam berkata tanpa nada, suaranya yang tegas dan sedikit serak membuat Ara terpaku pada sosoknya yang tinggi dan tampan.

"Calon istri?" Utari menangkap kata- kata Liam barusan. Bukankah dia tidak setuju dengan perjodohan ini? Lalu kenapa dia menyebut Naraya sebagai calon isterinya?

"Calon istri saya." Liam menegaskan kembali dan membuka pintu ruangan selebar- lebarnya, mengindikasikan agar mereka berdua untuk keluar.

"Tapi, bukankah Pak Liam tidak setuju dengan perjodohan ini?" Walaupun Liam sangat jelas jauh lebih muda darinya, tapi Utari tidak bisa untuk tidak memanggilnya dengan sapaan hormat karena aura dan wibawa yang terpancar darinya.

Liam sudah meminta Utari dan Ara untuk keluar dari ruangan tersebut sampai dua kali dan dia rasa itu sudah cukup sopan dalam menghadapi mereka.

Tanpa menjawab pertanyaan Utari yang Liam rasa tidak perlu, ia menoleh ke arah Rafael yang kemudian memberinya perintah. "Bawa mereka keluar." Ucapnya singkat.

Walaupun Rafael adalah tangan kanan Amira, tapi dia tidak mungkin menolak permintaan Liam ini, biar bagaimanapun juga status Liam dan karekter dirinya yang terkadang temperamental, tidak bisa disembarangi.

Rafael kemudian melaksanakan apa yang telah diperintahkan Liam padanya dan segera meminta Utari dan Ara keluar dari ruangan.

Kedua ibu dan anak tersebut akhirnya setuju untuk meninggalkan Liam dan Naraya berdua saja, dengan tatapan kesal dan tidak suka mereka melangkah keluar ruangan dengan ditemani Rafael.

Sementara Ara tidak sudah- sudahnya terkesima, terpukau dengan sosok Liam yang nyaris sempurna.

Setelah Utari dan Ara keluar dari ruangan, Liam menutup pintu di belakangnya dengan perlahan, menghadapi Naraya yang terduduk di pojok sofa dengan wajah tertunduk.

Ikatan rambutnya sedikit berantakan dan pipinya memerah akibat dua tamparan yang dilayangkan oleh Ara padanya. Ada goresan lumayan panjang di pipi kirinya.

Namun, tidak ada tanda- tanda bahwa ia telah menangis.

Liam kemudian duduk di samping Naraya, namun perempuan itu justru bergerak menjauh darinya, berusaha mencari ruang kosong dan menempatkan jarak diantara mereka.

Namun, Liam dengan cekatan menarik pergelangan tangan Naraya dan menariknya kembali ke sofa sampai ia terduduk disampingnya lagi.

Liam menatap Naraya yang berontak dari cengkeramannya dengan matanya yang tajam.

Dilihat dari dekat seperti ini, Naraya jauh lebih cantik daripada foto yang Liam terima dari Amira, seandainya saja dia tidak buta, mungkin tidak akan ada keributan dalam mempermasalahkan kekurangan Naraya.

Tapi kemudian, kalau Naraya tidak buta, tidak mungkin Amira setuju untuk memberikan saham dua puluh persen miliknya.

"Kenapa kamu menolakku?" Liam meletakkan tangannya dipunggung Naraya yang terbuka hingga membuat perempuan itu menarik nafas dengan tajam karena terkejut. "Sebentar lagi kita akan menjadi suami isteri, kamu harus terbiasa dengan sentuhanku." Ucap Liam dingin.

avataravatar
Next chapter