74 HONEYMOON (7)

Hanya deburan ombak dan debaran hati yang terdengar di telinga mereka.

Malam begitu agungnya hingga mereka tidak mampu untuk tidak mengutarakan apa yang di dada. Keheningan yang memabukkan membuat mereka lebih bebas dalam mengekspresikan kata- kata.

Liam menatap gadis muda di sampingnya dengan tatapan yang syahdu, seolah dia tidak pernah melihat Naraya sebelumnya.

Dari cara Naraya mengerjapkan matanya hingga cara ia menarik bibirnya hingga membuat garis cemas karena Liam tidak juga menjawab pertanyaannya.

'Lalu bagaimana aku bisa tidak menyukaimu?'

Pertanyaan itu terngiang kembali di telinga Liam, dia tidak mengerti apa yang ia rasakan dan merasa bodoh karena jantungnya berdebar begitu keras, seolah ia hanyalah anak muda bodoh yang tengah jatuh cinta untuk pertama kalinya.

"Aku tidak tahu." Jawab Liam dengan suara serak, dia mengusap kepala Naraya dan gadis itu merespon dengan memejamkan matanya.

Menikmati setiap setuhan tangan Liam di kepalanya, begitu menenangkan.

Malam semakin larut dan pertanyaan yang tidak terjawab membuat mereka terjaga hingga larut.

Ini bukan keheningan canggung. Ini merupakan keheningan yang menenangkan, perasaan yang membuat mereka berharap akan berlangsung selamanya. Membuat mereka ingin menetap di masa ini lebih lama.

"Bagaimana kalau aku tetap menyukaimu?" Naraya kemudian membuka matanya walaupun yang ia lihat adalah sama. "Bolehkah aku menyukaimu?"

Liam menarik tangannya dan menumpukkan kedua lengannya di wajahnya. Dia tidak menjawab.

Malam hening ini seperti menyimpan misteri, menghilangkan sikap arogan dan sembarangannya.

Padahal di waktu lain Liam akan dengan mudah mencemooh kata- kata Naraya barusan, tapi tidak dengan sekarang. Dia kehilangan kata- kata.

"Aku tidak sebaik yang kamu pikirkan Naraya…" Jawab Liam. "Kamu akan kecewa saat mengetahui diriku yang sebenarnya." Ucap Liam dengan lirih.

Naraya pun terkejut, karena ia tidak pernah mendengar Liam berkata dengan begitu lirih seperti ini, seolah ia merupakan orang yang berbeda dari pria yang mengatakan akan berselingkuh tepat sebelum mereka menikah.

"Tunjukkan padaku kalau begitu, dan lihat apakah aku akan kecewa." Ucap Naraya dengan berani.

Setelah itu, Liam menarik Naraya mendekat padanya, memeluknya.

Di lain sisi Naraya pun tidak menolak dan balas memeluk pinggan Liam yang kokoh, ia merasa aman dalam pelukan pria ini.

Mungkin karena Liam sekarang adalah suaminya? Entahlah…

Tidak ada di antara Liam dan Naraya yang mampu menjawab tanya yang ada di antara mereka berdua.

Naraya merupakan gadis pertama yang mampu membuat Liam tenang. Bukan dengan kontak fisik ataupun hubungan badan, dimana Liam selalu mencari ketenangan dengan cara seperti itu.

Tapi, dengan hanya menatap wajahnya yang tertidur pulas, Liam merasa utuh kembali.

Apakah benar dia menyukai Naraya dan bukan karena keajaiban malam?

# # #

Keesokan harinya mereka berdua tidak membahas mengenai apa yang terjadi semalam ataupun kata- kata yang telah terucap diantara mereka berdua, tapi hubungan mereka menjadi dekat.

Mereka menghabiskan waktu bulan madu selayaknya pasangan pengantin baru.

Dan Liam di buat terkejut berkali- kali dengan keberanian yang di tunjukkan Naraya ketika ia mengajak olahraga ekstrem yang memang ia gemari.

Mereka berdua menghabiskan waktu bersama. Bercanda di kala siang dan menari di kala malam.

Liam bahkan dengan sabar mengajari Naraya berdansa di balkon cottage mereka pada suatu malam, di bawah sinar rembulan yang terang, diiringi music yang lembut dan deburan ombak yang membuncah di kejauhan.

Sebagai seseorang yang memiliki kekurangan, Naraya belajar dengan cepat dan menunjukkan pada Liam kalau umur tidak bisa mengukur kedewasaan seseorang.

Terkadang kata- kata Naraya begitu mengena di hati Liam, membuatnya terhenyak, seolah dengan kebutaannya gadis ini dapat melihat ke dalam relung hatinya yang paling dalam.

Tapi, tidak ada kata di antara mereka. Tidak ada penjelasan atau sambungan perbincangan mereka malam itu.

Dan lagi, bukankah cinta itu tumbuh karena kebersamaan?

Hari ini merupakan hari terakhir mereka berada di North Male Atol, Naraya sedang menghabiskan sarapannya sementara Liam sedang merapihkan kopernya, karena Naraya sudah merapikan miliknya di malam sebelumnya.

"Kita akan menginap satu malam lagi di Male." Ucap Liam. "Aku akan menemui seseorang sebentar di sana."

"Baiklah." Jawab Naraya sambil menghabiskan makanannya.

"Nenek menelepon tadi saat kamu masih tidur. Telepon beliau kembali setelah kamu makan, atau ia akan khawatir." Liam memberikan telepon genggamnya dan berjalan menuju bathroom untuk mandi.

Setelah Naraya menyelesaikan makanannya, dia menyingkirkan piring tersebut dan meraih ponsel Liam, lalu menekan tombol sebelum berbicara. "Nenek Asha."

Sedetik kemudian Naraya dapat mendengar nada sambung dari ponsel tersebut.

"Halo?" Sapa suara di seberang sana.

"Nenek, apa kabar?" Tanya Naraya ceria. Dia sangat suka berbicara dengan nenek Asha, seolah ia sedang berbicara dengan neneknya sendiri.

Kemudian obrolan berjalan dengan lancar seputar apa saja kegiatan Naraya dan apa saja yang dia lakukan di bulan madunya.

Naraya dengan sengan hati dan antusias menceritakan semuanya. Mulai dari skydiving, restaurant di bawah laut, jalan- jalan di pantai, sampai kegiatan- kegiatan ekstrem yang dia lakukan bersama Liam.

Nenek Asha mengelus dadanya saat Naraya bercerita kegiatan- kegiatan mereka disana.

Apakah Liam tidak salah dengan mengajak isterinya mengikuti kegiatan- kegiatan tersebut? Tapi, mendengar nada riang dalam suara Naraya, sepertinya mereka berdua menikmatinya.

Tapi, biar bagaimanapun juga nenek Asha akan menegur Liam ketika mereka pulang nanti.

"Lalu? Bagaimana? Apakah kalian sudah melakukan 'itu'?" Tanya nenek Asha penasaran.

"Hm?" Naraya menelengkan kepalanya tidak mengerti. "'itu'? 'itu' apa?"

Tepat pada saat obrolan mereka merambah ke bagian paling private, Liam keluar dari bathroom dengan rambut basah dan air yang masih menetes di punggungnya yang bidang.

Ia hanya melilitkan handuk di sekitar pinggulnya dan handuk lain untuk mengeringkan rambutnya.

Sebuah senyum tersungging di sudut bibirnya ketika dia melihat Naraya mengerutkan dahinya dengan bingung sambil berkata.

"Naraya tidak mengerti nenek… 'itu' apa?" Kerutan di dahi Naraya semakin dalam ketika dia mendengar penjelasan nenek Asha yang berbelit- belit. "Hm?"

Lalu dengan langkah panjang Liam segera menghampiri Naraya, dari reaksi Naraya saja Liam sudah tahu sedang membicarakan apa neneknya yang penuh dengan rasa penasaran ini.

Kemudian Liam mengambil ponselnya dari tangan Naraya dan menekan instruksi 'Loudspeaker' di layar.

Seketika itu juga suara nenek Asha membahana di seluruh ruangan.

"'Itu' Naraya… hubungan badan yang dilakukan oleh suami isteri… nenek ingin cucu." Ada nada frustasi dalam suara nenek Asha ketika mengatakan permintaan terakhirnya.

"Nek, sudah Liam katakan berapa kali kalau Naraya ini masih sekolah?" Liam menjawab dengan tenang.

Sementara Naraya sudah menundukkan kepalanya dengan khidmat sambil menutupi wajahnya yang merona merah karena kata- kata nenek Asha.

Bagaimana mungkin nenek Asha mengatakan hal tersebut begitu gamblang? Belum lagi, Liam juga mendengarnya.

Tapi, kenapa pria ini bisa begitu tenang? Tentu saja karena Liam sudah terbiasa dengan penuturan nenek Asha yang seperti ini.

Tidak ada jawaban dari ujung telepon, sepertinya nenek Asha pun terkejut karena Liam tiba- tiba berbicara.

Namun ketiak beliau berkata kembali, suaranya terdengar tegas. "Kalau begitu, bersiap- siaplah karena Naraya akan lulus tiga bulan lagi, kan?"

avataravatar
Next chapter