55 DIA HARUS MENEMUINYA LAGI

Mata Amira membulat dengan tidak percaya, nafasnya tercekat di tenggorokkan sementara rahangnya mengeras saat ia mencoba untuk mengatur emosi yang bergemuruh di dadanya.

Bagaimana mungkin Liam bisa tahu mengenai perselingkuhannya!?

"Kenapa? Terkejut?" Liam menyandarkan pinggulnya ke meja meeting sambil menatap Amira dengan mata yang tertawa. "Ingatlah ini… kalau sampai kau menyebarkan video Naraya, atau, video Naraya yang ada padamu tersebar on line, aku tidak peduli bagaimana caranya ataupun siapa yang telah melakukan itu, tapi video dirimu dan selingkuhanmu akan menyusul setelahnya."

Suara gemertak gigi Amira terdengar, ia seolah ingin menghancurkan bagian dalam mulutnya karena kata- kata Liam.

Dan siallnya, Amira tidak bisa mengelak karena kenyataannya adalah benar. Amira telah berselingkuh. Dia telah berselingkuh lebih dari tujuh tahun terakhir ini.

"Amira, kau tahu kalau aku tidak main- main dengan kata- kataku." Liam memasukkan tangannya kekantong celananya sambil menatap Amira dengan senyum di bibirnya. "Aku tidak peduli dengan siapa kamu berselingkung dan aku juga tidak peduli dengan urusan rumah tangga mu dengan Narendra. Aku sudah memenuhi janji ku dengan menikahi gadis pilihanmu, jadi apapun yang kamu lakukan padanya akan menjadi urusanku juga."

Amira mengepalkan tangannya dengan wajah yang memerah karena emosi. Saat ia akhirnya bersuara, suaranya terdengar seperti pintu yang berdecit, memekakkan telinga. "Kenapa? Jangan bilang kalau kau jadi menyukai anak buta itu."

Mendengar nada mencemooh dari Amira, rahang Liam mengeras walaupun hal tersebut tidak memudarkan senyum di bibirnya. "Menyukai dia?" Liam balik bertanya. "Dia memang gadis yang pas untukku. Karena dia buta, aku bebas melakukan apapun yang aku suka tanpa diketahui olehnya."

Liam membuat seolah- olah Amira telah salah langkah dan strategi karena sudah mengirimkan Naraya padanya, dan tentu saja hal ini membuat Amira kesal bukan kepalang.

Wanita veteran itu tahu kalau Liam hanya memancing emosinya saja. Memangnya siapa yang mau dinikahkan dengan gadis yang memiliki kekurangan, yang bahkan sama sekali belum dia kenal sebelumnya.

Tapi, walaupun Amira mengetahuinya, tetap saja dia tidak bisa menahan perasaan amarah yang menggerogoti hatinya.

Kata- kata Liam baru saja benar- benar membuatnya naik pitam. Tapi, Amira tidak bisa mengeluarkan rasa frustasinya, Liam akan lebih menertawakannya.

Liam berjalan mendekati Amira dan menepuk punggungnya. "Aku harus berterimakasih padamu untuk hal itu." Dia berkata pelan.

Setelah mengatakan hal tersebut, Liam melangkah keluar dari ruang meeting dengan langkah yang ringan, dia memenangkan pertempuran psikologis melawan Amira lagi.

"Tunggu!" Sergah Amira dengan gusar sebelum Liam melangkah keluar.

"Ada apa lagi…" Liam memutar tubuhnya, senyum yang sama masih terpancar di wajahnya. "Ibu?" Dia sengaja menambahkan kata tersebut dengan nada mencemooh, membuat Amira hampir kehilangan kewarasannya karena kebencian yang melahap akal sehatnya.

"Kamu pikir, kamu sudah memenangkan situasi?" Amira bertanya sambil mengertakkan giginya, berusaha sebisa mungkin agar terlihat tidak terpengaruh atas apa yang Liam telah katakan. "Jangan senang dulu, karena persengketaan diantara kita baru saja dimulai."

"Tentu saja." Liam menganggukkan kepalanya. "Akan sangat membosankan bukan kalau kau menyerah dengan mudah? Oh, satu lagi. Aku hanya ingin memberitahumu kalau Angga baik- baik saja, walaupun sedikit agak terguncang, sebaiknya kamu memberikan kompensasi yang setimpal untuknya, karena biar bagaimanapun juga, dia melewati semua itu karena dirimu."

Kemudian Liam membuka kenop pintu dan pergi keluar, meninggalkan sosok Amira berdiri sendirian di antara pecahan- pechan proyektor di sekitar kakinya.

# # #

Entah sudah berapa kali Liam melewatkan jam makannya dan memilih untuk merrokok di pelataran parkir.

Ada banyak hal yang harus dia pikirkan dan tidak satupun yang membuatnya senang. Otaknya kram dan pundaknya terasa berat, seolah ada beban tak kasat mata yang menggelayutinya.

Ketika Liam berniat kembali melanjutkan meeting yang tertunda, ponselnya berdering, nama nenek Asha tertera disana.

"Iya, nek?" Sapa Liam pelan. Nada suaranya seketika berubah ketika dia berbicara dengan nenek Asha. Dia menjadi sosok yang jauh lebih lembut.

"Liam, pernikahanmu sudah tinggal tiga hari lagi." Ucap nenek Asha dengan frustasi. "Tidakkah kamu mau melihat dekorasi tempat dan melihat menu makanan yang akan dihidangkan nanti? Biar bagaimanapun juga ini adalah pernikahanmu, pernikahan sekali seumur hidup." Omel nenek Asha.

Liam terlihat sama sekali tidak peduli dengan semua itu dan mempercayakan segalanya pada nenek Asha, walaupun beliau tidak complain dan mengerjakan persiapan pernikahan cucu kesayangannya dengan senang hati, tapi tetap saja sikap Liam tidak membuatnya senang.

"Liam percaya pada nenek. Nenek pasti akan memberikan yang terbaik." Liam berusaha membujuk neneknya dengan kata- kata, yang ia pikir, adalah ungkapan bujukan. "Liam sangat sibuk dan sedang berusaha untuk menyelesaikan semuanya sebelum hari H."

Terdengar suara Nenek Asha mendengus dengan sebal. "Terserah kamu saja." Jawab beliau dengan sedikit ketus. "Tapi, malam ini kamu harus menjemput Naraya dan membawanya pulang ke rumah utama. Kita akan makan malam bersama."

Nenek Asha sama sekali tidak mengetahui kalau Naraya telah tinggal bersama Liam dalam seminggu terakhir ini.

"Baiklah." Liam menyanggupi.

Setelah nenek Asha puass dengan jawaban Liam dia menutup panggilan telepon dengan pesan seperti biasa; jangan lupa makan dan jangan memforsir diri terlalu lelah.

Setelah Liam mengiyakan semuanya, barulah sambungan telepon benar- benar terputus.

Liam menghela nafas dengan berat.

Berarti malam ini dia harus kembali ke apartmentnya dan menemui Naraya lagi. Entah kenapa dia merasa enggan…

# # #

Naraya sedang menimang ponsel di tangannya, mempertimbangkan untuk menelepon Liam atau tidak.

Sudah seminggu ini Liam tidak pulang dan ini membuat Naraya kepikiran. Apakah kata- katanya begitu menyinggung pria itu?

Naraya ingin meminta maaf, tapi tidak berani…

Liam bilang, dia yang akan mengingatkan jam makan Naraya dan memeberitahunya kalau catering makanannya sudah datang dan dia bisa mengambilnya di depan pintu.

Tapi, pada kenyataannya, selalu Raka yang menelepon Naraya untuk mengingatkan dia. Sementara Liam tidak sekalipun meneleponnya.

Sendirian di Apartment ini terasa menakutkan dan Naraya takut. Bukan hanya bosan karena terkurung, tapi dia juga tidak memiliki seorangpun untuk di ajak bicara.

Naraya tidak mungkin menelepon Raka terus menerus karena dia pastilah sedang sibuk.

Saat Naraya dengan nekat memutuskan untuk menelepon Liam, dia mendengar suara pintu depan yang terbuka.

Sangat pelan, tapi Naraya dapat mendengar dengan jelas bunyi biip dari pintu tersebut, dan satu- satunya orang yang dapat memasuki apartment ini adalah Liam!

Naraya hampir saja melompat kegirangan karena dia telah kembali. Malam ini dia tidak akan ketakutan karena tidur sendirian lagi.

Yah, walaupun tidak harus satu ranjang, tapi setidaknya Naraya tahu kalau dia tidak sendirian di rumah.

"Liam?" Panggil Naraya dengan riang, sambil merambati tembok di sekitarnya untuk sampai ke ruang tamu. "Liam?"

Tidak ada suara sahutan, kali ini Naraya yakin kalau orang tersebut adalah Liam, karena dia mendengar suara seseorang tengah melepas sepatunya dengan berisik, tapi menolak untuk menjawabnya.

avataravatar
Next chapter