42 DI PUNCAK MATERI KEHIDUPAN

Mendengar ucapan Liam yang mengindikasikan sesuatu membuat wajah Naraya merona, dia tidak berpikir kalau Liam akan mengatakan hal- hal yang menyerempet seperti itu dalam kondisi seperti ini.

Tapi, mau bagaimana lagi? Seperti itulah Liam.

Tiga detik setelah pintu kamar di tutup, Liam kembali lagi sambil berkata sambil bergumam. "Aku lupa."

Di lain sisi, Naraya tidak mengerti apa yang dia lupakan dan hanya mendengar suara pintu lemari di sebelah kanannya terbuka dan Liam mengeluarkan sesuatu dari sana.

Kemudian sesuatu yang lembut dan halus jatuh ke pangkuan Naraya.

"Aku tidak memiliki pakaian perempuan disini, jadi untuk sementara pakai saja kaus ku." Ucap Liam sambil kembali berjalan keluar dari kamar.

Setelah Naraya kembali sendirian di dalam kamar, dia meraba kaus yang di berikan Liam padanya. Itu adalah kaus lengan pendek biasa yang terasa sangat halus saat jemari Naraya menyentuhnya, tapi sangat besar untuk ukuran tubuh Naraya.

Bersamaan dengan itu, ada sebuah celana pendek sebagai bawahan dari kaus tersebut.

Naraya tidak bisa complaint, karena meminjam kaus Liam akan lebih baik daripada mengenakan seragam yang telah dia pakai seharian ini, belum lagi ada dua kancing dari seragamnya yang terlepas karena ulah Angga.

Naraya menggelengkan kepalanya keras- keras, berusaha mengenyahkan bayangan yang terpatri di otaknya atas apa yang telah dia alami.

Sesaat kemudian air mata Naraya kembali menyeruak dan suara sedu sedan pelan terdengar di dalam ruangan tersebut.

# # #

Setelah memberikan baju ganti untuk Naraya, Liam melangkah keluar dari dalam kamar, dengan ekspresi wajah yang berbeda.

Ada sesuatu di dalam matanya yang tidak bisa di jelaskan dengan kata- kata. Amarah? Kedengkian?

Entahlah… Liam memang sangat sulit untuk di tebak.

Sesaat dia akan menjadi seseorang yang penuh perhatian dan tertawa lepas tanpa beban, namun sesaat kemudian dia bisa menjadi pribadi yang sangat dingin seolah dia tidak akan segan menyingkirkan siapapun yang berani menghalangi jalannya.

Namun, sesaat kemudian Liam dapat berubah menjadi sangat sinis dengan tiap kata yang keluar dari bibirnya dapat menusuk lawan bicaranya tanpa ampun.

Liam berjalan menghampiri Raka yang tengah menunggunya di ruang tengah.

Assistant pribadinya tersebut berdiri dari sofa begitu melihat sosok boss nya tersebut. "Bagaiamana dengan Naraya, pak?" Tanya Raka.

Tidak ada maksud lain dari pertanyaannya selain karena ia khawatir pada gadis tersebut, tapi Liam menatapnya dengan tajam sambil memicingkan matanya. "Baik." Jawabnya singkat dan dingin.

Aura di sekitar Liam berubah saat ia menanggapi pertanyaan Raka, dia tidak lagi terlihat seperti Liam yang baru saja menggoda Naraya, tapi terlihat seperti bos mafia yang akan menjatuhkan verdict pada musuhnya.

Raka yang sudah sangat mengenal sifat Liam, tidak berani bertanya lebih jauh mengenai Naraya. Kalau Liam sudah mengatakan Naraya baik- baik saja, berarti memang tidak ada apapun yang terjadi padanya kan?

Tidak ada keuntungan yang Liam dapatkan dari membohongi Raka.

"Cari tahu segala sesuatu mengenai Angga." Ucap Liam dingin.

Saat melihat detail informasi mengenai Naraya, Liam sudah mengetahui keberadaan Angga sebagai anak laki- laki dari Utari yang merupakan adik dari ibu Naraya.

Tapi, dia tidak menemukan kejanggalan apapun, atau… memang Liam yang tidak menaruh minat lebih pada anak remaja tersebut, sehingga dia mengabaikan kemungkinan Amira akan memanfaatkan pemuda itu.

Ya, orang pertama yang terlintas di benak Liam adalah Amira, Ibu tirinya.

Hanya perempuan itulah yang memiliki potensi untuk membuat rencana busuk dan murahan seperti ini.

Liam sudah berseteru dengan Amira lebih dari satu decade, jadi sudah pasti dia memahami dan mengenal taktik serta cara kerja otak licik Amira berjalan.

Rencana seperti ini merupakan ciri khas Amira dalam menjatuhkan seseorang.

Dan lagi, sangat kebetulan apabila Angga tiba- tiba menaruh minat pada Naraya, saudara yang telah tinggal bersamanya selama 5 tahun terakhir ini, apalagi di saat- saat penting seperti sekarang.

"Baik, pak." Jawab Raka. "Ada lagi perintah pak Liam?" Tanyanya dengan sopan.

"Untuk sementara itu saja." Jawab Liam singkat, dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 1 dini hari. "Kamu bisa pergi sekarang."

Mendengar hal tersebut, Raka segera beranjak berdiri dan berjalan menuju pintu dan menghilang di baliknya.

Liam kemudian terdiam sesaat, di dalam ruangan yang temaram ia mengeluarkan rokoknya dan menyundut ujung tembakau tersebut dengan pemantik dari sakunya.

Sesaat kemudian, kepulan asap tipis sudah menggelayut di udara, sebelum akhirnya membumbung tinggi dan menghilang.

2 minggu lagi…

2 minggu lagi dan Liam akan menikahi Naraya. Di usia nya saat ini, memang sudah pantas kalau dia membangun sebuah keluarga, tapi justru pernikahan ini akan berakhir sebelum dimulai. Segalanya telah di atur dengan baik untuk satu tahun kedepan.

Pernikahan…

Liam mencibir akan satu kata tersebut.

Dulu dia pernah memikirkan sebuah pernikahan dengan seorang wanita yang setelah itu mengkhianatinya.

Rasa sakit yang ia rasakan masih sama ketika wajah perempuan itu kembali terbayang di pelupuk matanya, terbentuk di antara bumbungan tipis asap yang muncul dari sudut bibirnya, seolah kejadian tersebut baru saja terjadi kemarin.

Liam kemudian meremas puntung rokok di tangannya seolahh dia tidak lagi mampu merasakan bara kecil yang masih menyala, menggigit telapak tangannya.

Liam tidak mengindahkan rasa sakit itu, karena rasa sakit tersebut tidak ada apa- apanya dengan rasa sakit yang dia rasakan saat ini ketika kenangan itu kembali, walaupun 10 tahun telah berlalu.

Tidak peduli berapa banyak wanita yang ia tiduri ataupun berapa banyak alcohol yang telah ia tenggak, tapi tidak ada satupun dari semua itu yang mampu mengisi kekosongan di hatinya.

'Gayatri…' hatinya kembali memanggil lirih nama tersebut yang secara bersamaan menampilkan wajah Gayatri yang sedang tersenyum padanya, ketika Liam menutup mata.

Satu nama yang membawa seribu luka.

Genggaman Liam pada puntung rokok di tangannya semakin mengencang hingga bara kecil di ujungnya padam dalam talapak tangannya, menyisakan bekas terbakar di kulit Liam.

Dan ketika Liam akhirnya membuka mata setelah menyingkirkan segala emosi sia- sia di dalam benaknya, jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi.

Liam mengedarkan tatapannya ke ruangan kosong di apartmentnya yang terasa hampa. Dengan segala kemewahan yang dia miliki dan ribuan orang yang saling baku hantam untuk berada di sisinya ataupun sekedar mendapatkan kepercayaan darinya, Liam tetap merasa sepi.

Berada di puncak tertinggi materi sungguh tidak menjamin kebahagiaannya. Entah kapan terakhir kali dia benar- benar merasakan kesenangan hidup.

Dengan tubuh dan jiwa yang letih, Liam berjalan masuk ke dalam kamarnya lalu tidur di atas ranjang tanpa menyadari sosok lain yang berada di sana.

avataravatar
Next chapter