64 BERHENTILAH

A clear rejection is always better than a fake promise.

***

Sama seperti malam sebelumnya, dan sebelumnya.

Liam lebih memilih untuk menghabiskan waktunya dengan di temani sebatang rookok yang menyala redup di antara kesunyian malam di balkon hotel tersebut.

Selalu hotel yang sama dan selalu kamar yang sama, setiap kali Liam membawa wanita- wanitanya.

Meskipun hassratnya telah terpenuhi, tapi tetap saja Liam merasa hampa, seolah tidak ada yang mampu menembus kelamnya hatinya.

Semakin mendekati hari pernikahannya, maka semakin tidak menentu perasaan Liam.

Dia tidak menyangka kalau pernikahan ini membawa efek yang begitu besar pada dirinya. Liam pikir ini hanyalah sebuah pernikahan yang tidak berarti, yang ia laksanakan karena janji di masa lalu.

Tapi, siapa yang menyangka kenyataan dia akan bersanding dengan seorang wanita dalam ikatan pernikahan seperti sebuah firasat buruk untuknya.

Bukan karena Naraya tidak baik, dan juga bukan karena Naraya memiliki kekurangan fisik.

Tapi, di dalam benaknya ada wanita lain. Selalu dia yang membayangi setiap langkah Liam. Kemanapun Liam pergi ataupun menoleh, sosok wanita itu yang selalu dia cari.

Gayatri.

Sepuluh tahun telah berlalu dan Liam masih sulit melupakan senyum wanita itu. Tidak peduli berapa banyak wanita yang tersenyum padanya dan tidak peduli seberapa intimm hubungan Liam dengan wanita- wanita tersebut.

Selalu sosok Gayatri yang Liam cari.

Mungkin Liam sedikit menunjukkan rasa ketertarikannya pada Naraya, tapi tidak lebih dari itu.

Rasa tertarik.

Sementara Gayatri memenuhi seluruh sudut memori Liam. Sosok cinta pertamanya yang kini tidak diketahui rimbanya.

Gayatri adalah satu- satunya wanita yang ingin dia nikahi dan menghabiskan waktu Liam bersamanya, tapi perempuan yang akan Liam nikahi dua hari dari hari ini adalah perempuan lain.

Dan rasa ketertarikan Liam pada Naraya tidak mampu mengenyahkan rasa ingin enggan yang berkelumit di dalam dada Liam.

Hidup ini benar- benar seperti sebuah parody. Sangat menggelikan dan juga mengenaskan.

Bara rokokk di tangan Liam, perlahan melahap temmbakau yang menjadi perantara antara Liam dan keputus- asaan dan kehampaannya.

Liam berharap segala kecemasan dan rasa tidak mengenakkan ini dapat terbang ke langit seperti asap putih yang berhembus dari sudut bibirnya.

Sayangnya tidak bisa dan Liam harus menghadapinya.

Liam hanya ingin bertemu dengan dia…

Sekali saja…

Tanpa dia ketahui, ada seorang anak manusia yang memiliki permintaan sama.

Gadis itu berharap dia dapat menemuinya…

Malam ini…

Setelah apa yang dia janjikan dan setelah waktu yang telah berlalu dalam kesunyian…

# # #

Hari yang di nanti pun akhirnya tiba.

Hari dimana mereka akan dipersatukan oleh ikatan kuat tak kasat mata yang telah di nanti- nantikan beberapa orang dan di sayangkan oleh sebagian lainnya.

Dari awal proses, Liam tidak pernah melihat atau tahu menahu mengenai venue dan sebagainya karena nenek Asha sudah menangani segalanya, dan Liam percaya pada beliau.

Sebetulnya ini bukan rasa kepercayaan, tapi rasa keengganan Liam untuk terlibat dalam hal ini.

Nenek Asha begitu antusias begitu melihat Naraya. Ia memeluk dan mencium kedua belah pipi Naraya sambil memeluknya erat.

Beliau menarik Naraya untuk menuju ruang hias, tanpa menyadari ekspressi Naraya yang jauh dari kata bahagia.

Wajah yang sendu dan senyum yang di paksakan merupakan apa yang dia tunjukkan pada orang- orang yang melihatnya.

Namun, tidak ada seorang pun yang peduli atau sekedar menanyakan apa yang tengah ia rasakan saat ini.

Tidak seorangpun yang cukup peduli untuk sekedar mengetahui bagaimana kondisi Naraya saat ini. Apakah ia bahagia?

Tentu saja! Kenapa juga dia tidak bahagia? Dia yang merupakan gadis buta akan di persunting oleh pebisnis kelas kakap seperti Liam dengan segala kesempurnaan fisik dan material yang ia miliki. Apalagi yang membuat Naraya tidak bahagia?

Setidaknya itu adalah pemikiran kebanyakan orang yang melihat Naraya, dan dengan alasan yang sama pula, tidak ada yang secara tulus menanyakan keadaannya.

Naraya hanya perlu terus- menerus berpura- pura untuk tersenyum hingga acara hari ini berakhir.

"Wah, kamu cantik sekali!" Puji seorang hairstylist saat melihat tampilan Naraya secara keseluruhan.

Kini, Naraya sudah selesai mengenakan baju pengantinnya, dengan make up tipis yang mampu menutupi gurat- gurat kesedihan di wajahnya.

"Kamu terlihat sangat menawan Naraya…" Dessah sang hairstylist. "Aku akan pergi sebentar untuk mengambil tiara milikmu, nanti aku kembali lagi, okay?" Ucap pria tersebut dengan kata- kata yang saling membalap satu sama lain.

Bahkan sebelum Naraya dapat menjawabnya, pria itu telah menghilang di balik pintu, meninggalkan Naraya sendirian di ruangan tersebut.

Acara pernikahan Naraya dan Liam memang akan di adakan sore hari dan di tutup dengan makan malam dengan beberapa keluraga inti Prihadi.

Tamu undanganmu tidak sampai mencapai ratusan orang, karena acara ini memang sangatlah private.

Jangankan media, sanak keluarga jauhpun mungkin tidak akan mengetahui akan adanya acara ini.

Saat Naraya tengah menunggu sang hairstylist yang entah bernama siapa, karena pikiran Naraya tidak berada disana, dia mendengar suara pintu di buka dan di tutup dengan pelan.

Tapi, kemudian tidak ada suara langkah kaki yang mendekatinya. Setelah menunggu lama, Naraya tidak merasakan pergerakan siapun atau pun mendengar suara apapun.

"Halo?" Sapa Naraya. "Ada siapa disana?"

Tidak ada jawaban.

Naraya berdiri sambil mengerutkan keningnya, kemudian, sebuah kata meluncur begitu saja dari bibirnya.

"Liam." Ucap Naraya.

Kali ini bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Naraya sangat yakin bahwa itu adalah Liam. Lagipula ini merupakan kebiasaannya yang telah Naraya hapal.

"Akhirnya kamu menebak dengan benar." Ucap Liam sambil berjalan perlahan menghampiri Naraya. "Kamu terlihat cantik." Puji Liam, seolah kejadian dua hari yang lalu tidak pernah terjadi.

Kalau dipikirkan, itu merupakan hal yang sangatlah sepele, tapi hal sederhana itulah yang membekas di hati Naraya.

Saat itu, ketika pagi menjelang dan puluhan panggilan teleponnya terabaikan begitu saja, Naraya mulai menyadari kalau dirinya telah di abaikan dan dipermainkan, dan luka itu masih terasa hingga saat ini.

Cantik? Naraya tidak merasa cantik.

"Kupikir kita akan makan malam bersama dua hari yang lalu, bukan makan malam dalam acara ini." Ucap Naraya dengan suara yang datar, yang sangat jauh dari kesan riang.

Liam cukup terkejut saat ia mendapatkan kata- kata Naraya yang dingin dan ekspressi wajahnya yang menyiratkan kesedihan.

Apakah hanya perkara makan malam saja begitu berarti bagi dirinya? Itu hanyalah janji sederhana yang tidak perlu di pikirkan, bukan?

"Kamu marah hanya karena aku tidak datang pada malam itu?" Liam melangkah mendekati Naraya yang tak bergeming.

Wajahnya yang semakin memerah karena emosi yang dia coba tahan, menambah pesona dirinya. S

"Bukan." Jawab Naraya dengan jujur. "Aku tidak marah. Ini sebuah kekecewaan, bukan kemarahan."

"Kecewa? Kecewa merupakan perasaan yang kamu miliki bila kamu mengharapkan sesuatu yang lebih." Jawab Liam. "Apa yang kamu harapkan dari sebuah makan malam, hinggga kamu sampai kecewa seperti ini?"

"Bagaimana kalau aku bilang kalau aku menyukaimu?" Naraya berkata dengan jujur. Ia tidak ingin menyembunyikan perasaannya.

Liam terdiam sesaat sebelum kemudian ia menjawab dengan kata sederhana. "Bukankah sudah kukatakan untuk jangan jatuh cinta padaku?"

"Kalau begitu berhenti memberi harapan seolah kamu memiliki perasaan yang sama denganku! Kalau tidak, aku akan terus salah paham dengan semua sikapmu itu!" Sergah Naraya.

avataravatar
Next chapter