58 APA YANG KAMU BUTUHKAN

Amira berusaha mengontrol ekspressi wajahnya sambil berkata. "Aku senang kalau kamu menyukai calon pasanganmu ini." Dia berkata dengan ringan. "Terlihat sangat sempurna bukan?"

Naraya dapat mendengar nada mencemooh dari kata 'sempurna' yang di lontarkan oleh Amira. Wanita ini benar- benar membenci Liam.

Karena Naraya berpikir Amira tidak mungkin mengenalnya, jadi sudah pasti Amira memilih dirinya karena kekurangan yang Naraya miliki.

Satu hal yang pasti, yang kini Naraya sadari adalah; Amira memilih Naraya yang buta untuk menjadi isteri Liam hanya untuk mempermalukan Liam.

Suatu alasan yang kedengarannya kekanak-kanakkan, karena pernikahan bukanlah urusan main- main.

Tapi, Naraya dapat merasakan ada sesuatu yang tidak menyenangkan, yang bergumull di dalam hatinya. Rasanya menyesakkan saat ia menyadari kenyataan tersebut.

"Dia sempurna." Jawab Liam lembut. Ia bahkan meletakkan tangannya di pinggul Naraya dan menariknya mendekat sambil tangan yang satu lagi menyelipkan helaian rambut Naraya yang menutupi wajahnya. "Dan cantik."

Liam kemudian sedikit menunduk untuk mencium puncak kepala Naraya. Ia melakukannnya dengan sangat lembut hingga membuat jantung Naraya seolah berhenti dan di detik berikutnya berdetak lebih cepat hingga terasa menyakitkan.

Sikap Liam bukanlah hal yang Amira harapkan akan ia lihat saat Liam bersama Naraya. Seharusnya anak tirinya tersebut menatap pasangannya dengan penuh kebencian dan rasa muakk, tapi hal itu sama sekali tidak terlihat dari diri Liam.

Liam bahkan terlihat sangat menikmati waktunya dengan Naraya dan bahkan menatap gadis muda itu dengan lembut, walaupun tidak bisa dikatakan sebagai cinta, tapi Liam tidak pernah memperlakukan wanita manapun sebaik ia memperlakukan Naraya.

"Kamu harus berterimakasih pada ibuku juga." Liam berkata sambil mengusap pipi Naraya dengan ibu jarinya. "Dia sangat baik bukan, karena sudah mempertemukan kita."

Kali ini Naraya mendengar nada mencemooh itu dari Liam. Ada apa dengan mereka berdua? Naraya bahkan merasa lebih tidak nyaman lagi dengan sikap mereka yang lembut ketimbang saat mereka harus mengatakan dengan blak- blakan kalau dia adalah gadis buta.

"Terimakasih, ibu…" Ucap Naraya dengan patuh, dia tidak mungkin membantah permintaan Liam di depan Amira dan tidak mungkin juga untuk berdebat dengannya untuk masalah satu ini.

Ucapan Naraya mendapatkan hadiah sebuah kecuppan di pipinya.

"Tidak baik kalau kamu bersikap seperti itu." Amira mengkritik, berusaha sebaik mungkin untuk meredam amarahnya agar tidak terlihat di permukaan ekspresinya. "Kalian belum menikah, jadi sebaiknya sedikit menjaga jarak."

"Tiga hari lagi kami akan menjadi suami isteri." Liam berkilah, tetap tidak melepaskan Naraya dari sisinya. "Jadi tidak akan ada bedanya."

Amira tidak mengindahkan ucapan Liam yang menentang pendapatnya. Kata- kata selanjutnya ia tujukan untuk Naraya. "Dan wanita yang mudah sekali untuk di sentuh laki- laki bahkan sebelum mereka menikah, sangatlah terlihat tidak baik." Suara Amira yang datar menyimpan kritikan tajam untuk Naraya atas sikapnya yang menerima saja perlakuan Liam pada dirinya.

Dengan kata lain yang lebih pedas dan konotasi yang lebih negative; sikap Naraya yang membiarkan saja Liam menciiumnya terlihat sangat murahan dan tidak pantas.

Seolah tersengat listrik, Naraya secara tidak sadar mencoba mendorong Liam menjauh. Hal itu terjadi bukan karena Naraya menerima saja perlakuan Liam, tapi dia tidak bisa mengantisipasi apa yang pria ini akan lakukan.

Oleh karena itu, ketika Liam mencciumnya ia pun terkejut, tapi untuk menolak sikap Liam pada dirinya dan menunjukkannya secara terang- terangan, tentu saja akan menyiggung Liam.

Naraya tahu kalau Liam memperlakukan Naraya seperti ini hanya untuk membuat Amira kesal, jadi Naraya mendiamkan sikap Liam.

Ia akan membahas akan hal ini dengan Liam nanti, saat mereka berdua saja.

Tapi, kata- kata Amira baru saja sungguh sangat menyakitkan untuk di dengar…

Mendapat penolakan dari Naraya, Liam semakin mempererat pelukannya di pinggang gadis tersebut, memaksanya untuk berhenti mendorongnya.

"Memang… terlihat sangat tidak baik…" Ucap Liam dengan nada malas. "Kenapa tidak ibu ceritakan, bagaimana ibu bisa menikahi Narendra Prihadi?" Liam menatap Amira dengan sorot mata yang mensugestikan hal lain.

Liam tahu!

Dia tahu bagaimana Amira bisa sampai menjadi nyonya rumah di keluarga Prihadi sementara awalnya ia hanyalah seorang sekretaris dari Barata Prihadi.

Tapi, bagaimana Liam bisa tahu?!

Tentu saja karena Liam memiliki koneksi yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Kalau saja bukan karena status Amira sebagai nyonya rumah Prihadi, yang secara otomatis menjadi sorotan media, Liam mungkin akan melenyapkannya di detik Amira mulai menunjukkan taringnya dan sikap permusuhannya terhadap Liam.

"Kalau aku menciium calon isteriku saja sudah ibu anggap tidak baik, bagaimana dengan wanita yang mengggoda pria lain secara aktif?" Liam menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum penuh arti pada Amira. "Bagiku, wanita seperti itu sangatlah menjjijikkan."

Liam tertawa kecil saat mengatakannya dan melepaskan pelukannya di pinggang Naraya untuk selanjutnya menggenggam tangannya yang terasa dingin.

"Lagipula, aku yakin Naraya akan memarahiku setelah ini. Gadis manis ini tidak melakukannya saat ini, hanya karena tidak ingin mempermalukanku di depan ibu, benarkan?" Liam mengusap puncak kepala Naraya dengan lembut. "Tidakkah ibu lihat dia sangat manis? Menjaga perasaanku di saat seperti ini?"

Setelah mengatakan hal tersebut, Liam menarik tangan Naraya untuk menjauh dari Amira, menuju rumah utama, meninggalkan wanita tersebut dengan hanya ditemani amarahnya yang tidak lagi terbendung.

Setelah pamit pada Asha, Barata dan Narendra, Liam segera membawa Naraya pulang dengan alasan besok pagi Naraya masih harus bersekolah.

Dengan kehati- hatian dan perhatian yang sama, Liam memasangkan sabuk pengaman untuk Naraya di bawah tatapan penuh persetujuan nenek Asha.

Dan kemudian, mobil melaju meninggalkan kediaman mewah keluarga Prihadi yang tidak terasa seperti rumah bagi Liam.

"Ibumu…" Naraya menggigit bibirnya dengan tidak nyaman.

"Aku tahu." Ucap Liam. "Mulai saat ini kamu harus mulai terbiasa dengan hal- hal seperti itu."

"Aku… tersinggung." Ucap Naraya dengan jujur walaupun agak sulit baginya untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan. "Aku tidak bermaksud untuk membiarkanmu…"

"Aku mengerti." Liam kemudian memelankan laju mobilnya sebelum akhirnya berhenti karena lampu jalan yang menunjukkan warna merah. "Tidak perlu menanggapi apa yang Amira katakan, dia akan berusaha untuk menjatuhkanku dengan cara apapun."

Naraya mengangguk pelan, kemudian dia bertanya. "Tapi, bagaimana kamu tahu kalau aku tidak menegurmu di depan ibumu karena aku tidak mau membuatmu tersinggung?" Naraya penasaran akan hal ini. Kata- kata Liam sangat tepat saat ia membalas Amira.

Liam tertawa kecil sebelum menjawab pertanyaan Naraya. "Aku hidup di lingkungan yang apabila aku tidak mampu membaca pergerakan lawan bicaraku ataupun apa yang dipikirkan musuhku, aku adalah orang pertama yang akan tumbang. Kamu pikir aku bertahan di posisi ini hanya karena aku ditunjuk sebagai pewaris dari keluarga Prihadi?" Liam bertanya secara retoris.

Awalnya Naraya berpikir seperti itu.

"Hidupku dikelilingi oleh orang- orang yang ingin menjatuhkan ku Naraya dan tidak ada istilah keluarga di dalamnya. Mereka semua sama." Liam kembali melajukan mobilnya dan berbicara dengan Naraya dengan santai. Entah kapan terakhir kali Liam dapat berbicara tanpa beban seperti ini, seolah ucapannya mengalir begitu saja. "Menikkam atau dittikam. Hanya karena aku hidup dengan di kelilingi apa yang orang lain inginkan, bukan berarti aku mendapatkan apa yang aku butuhkan."

"Memangnya apa yang kamu butuhkan?" Naraya bertanya pelan.

avataravatar
Next chapter