webnovel

Prolog

"Aku benar-benar tidak tahu, di mana letak pesonamu itu." Sebuah kalimat bernada ejekan keluar dari mulut seorang pria yang terduduk santai di peraduannya. Seringai miring menghiasi bibir pria tersebut dan justru menyuguhkan kilatan seksi di wajahnya yang tampan.

Kening seorang wanita yang menjadi lawan bicara berkerut samar. Berdecak rendah, wanita itu melangkah ke depan dengan gerakan elegan, mendekat pada sang pria di hadapan, "Maukah kita bertaruh? Siapa yang akan jatuh terlebih dahulu?" ujarnya dengan senyuman seduktif.

Tanpa sepatah kata, wanita itu mendaratkan bokong di paha sang pria yang sejak tadi duduk santai di peraduan. Jemari lentiknya mengalung indah di leher sang pria dengan jemari yang lain menarik tengkuk pria itu hingga mempertemukan bibir ranumnya dengan bibir sang pria dengan gerakan begitu lembut.

Sepasang kelopak mata yang menaungi iris mata indah berwarna biru milik sang pria sedikit terbeliak tatkala wanita itu berhasil mengejutkannya dengan sikap agresif yang sialnya membuat tubuhnya mulai bergairah. Memiringkan kepala, wanita itu berusaha mendapatkan akses lebih dengan jemari lentik yang menyisip ke rambut hitam legam sang pria yang sedikit demi sedikit mulai mereguk setiap bulir rasa manis di mulutnya.

Senyuman tipis seketika tergelincir di sudut bibir wanita itu saat menyadari pria yang begitu identik dengan keangkuhan kini membalas ciuman yang ia suguhkan. Jemarinya kembali membuat ulah dengan meluncur turun untuk membebaskan pakaian bergaya renaissance royal court khas seorang Pangeran yang kemudian dilemparkannya dengan asal.

Namun, wanita itu tertegun sejenak saat melihat tubuh bagian atas sang pria yang telanjang sempurna dan menampakkan kegagahan yang sulit terbantahkan. Otot-otot kekar yang tidak berlebihan dan terlihat menakjubkan kini menjadi satu-satunya pusat perhatian.

"Suka dengan yang kau lihat?" Senyuman culas tergelincir dari bibir pria tersebut. "Terlalu cepat untukmu terjatuh karena aku sama sekali belum memulainya."

Kali ini, giliran sang pria yang memainkan perannya dengan liar. Kembali bibir mereka saling menghantam. Kedua lidah itu saling menyelinap, menggoda, dan memangsa. Ciuman penuh gairah itu menuntun sang pria untuk mencecap millimeter demi millimeter kulit halus wanita di pangkuannya.

Jemari panjang pria itu kemudian mengelana, menarik ke bawah resleting punggung gaun tidur yang dikenakan sang wanita dan membebaskannya dari gaun itu hingga menunjukkan sebuah pemandangan yang lebih indah lagi. Sebuah desahan yang terdengar merdu tidak mampu dihindari oleh wanita itu tatkala merasakan kepiawaian lidah sang pria yang bermain di puncak dadanya yang tengah membusung.

"Mungkin aku akan sedikit bermain kasar." Pria itu tiba-tiba menggendong tubuh wanita di pangkuannya seperti koala sembari melepas gaun yang masih menggantung rendah di pinggang wanita tersebut, membiarkan sekujur tubuhnya terekspos sempurna.

Pria itu kembali melumat dan memagut bibir madu wanita itu sejurus dengan langkah yang tertuju pada sebuah dipan klasik bergaya Romawi Kuno yang ada di dalam ruangan. Namun, sang wanita dibuat kembali tertegun dengan netra perak membeliak lantaran mendapati tubuhnya yang tiba-tiba didominasi dan berada di bawah kungkungan pria tersebut.

Tanpa sadar, sebelah tangan wanita itu menyilang di depan dada, mencoba untuk menutup keindahan bagian atasnya berhiaskan dengan wajah pucat pasi sembari menggigit bibir bawahnya sendiri. Entah mengapa kegugupan menenggelamkannya hingga merasa kesulitan menelan ludah yang seolah tersangkut di kerongkongan.

Sang pria yang menyadari kegugupan dalam diri wanita itu lantas kembali menerbitkan seringai di bibirnya, "Ke mana hilangnya keberanianmu tadi? Bukankah kau ingin membuatku jatuh dalam pesonamu?"

~~~

BAB 1

"Ini adalah kereta kuda ketujuh yang datang." Seorang pelayan bernama Ursula dengan perawakan pendek mungil tengah berdiri dan mengintip di balik jendela kamar lantai dua, menghitung jumlah kereta kuda yang singgah silih berganti di halaman mansion mewah kediaman Duke Guinan.

"Oh-oh! Bukankah dia adalah Marquis Rafael? Seorang laki-laki yang mewarisi gelar bangsawan Marquis saat usianya baru mencapai tujuh belas tahun. Jadi, berapa sekarang umurnya?" Ursula tiba-tiba mengangkat sebelah tangan, menghitung dengan jemari tangannya sembari mengeja, "Ah, dua puluh tiga tahun. Dia telah menjadi pria yang matang. Wajahnya juga lumayan."

"Kira-kira, apa yang dia bawa?" Ursula seketika menajamkan sorot mata saat mendapati Rafael berhenti beberapa langkah dari kereta kuda untuk mengecek sesuatu yang diambil dari kantung jas hitamnya sebelum memasuki pintu utama mansion; sebuah kotak perhiasan kecil dibuka dan memperlihatkan cincin permata emerald berwarna hijau.

Kedua mata Ursula yang sedang mengintip lantas mengerjap-ngerjap silau. "Oh astaga! Dia membawa perhiasan yang cukup langka dan mahal, Lady."

Miranda, seorang wanita yang sejak tadi menjadi lawan bicara dan tengah sibuk membaca buku di atas meja hanya memutar bola mata jengah kala menatap tingkah salah satu pelayannya tersebut, "Rasa keingintahuan yang melampaui batas juga tidak baik, Ursula. Percayalah! Kau terlihat sangat menjengkelkan jika seperti itu. Aku sama sekali tidak ingin mengetahui berapa dan siapa saja yang datang untuk merayakan ulang tahun Matilda."

Ursula menarik diri dari jendela dengan seraut wajah bersalah, "Maafkan saya, Lady. Saya hanya tidak habis pikir mengapa ulang tahun Lady Matilda begitu meriah dan dihadiri banyak pria bangsawan yang ingin dekat dengannya. Bahkan, mereka seolah berlomba untuk memberikan hadiah-hadiah mewah kepada Lady jahat tersebut. Saya yakin mereka pasti akan menyesal nantinya."

Ursula beralih menatap majikannya lekat-lekat, seorang putri kandung Duke Guinan yang kini juga sedang mengarahkan netra perak yang indah kepadanya, "Seharusnya yang mereka perebutkan adalah Anda. Bukan Lady Matilda."

Miranda tergelak, "Sayangnya aku sama sekali tidak menginginkan hal itu terjadi. Membayangkannya saja sudah terasa sangat merepotkan." Gidik ngeri hadir di tubuh Miranda saat benar-benar membayangkan dirinya diperebutkan banyak pria, seperti kue kering yang dikelilingi lalat-lalat musim semi.

Miranda dan Matilda adalah dua gadis bersaudara. Saudara tiri yang tidak pernah bisa akur. Bagaikan langit dan bumi, sangat jauh perbedaan di antara keduanya. Mereka layaknya air dan minyak yang tidak pernah dapat disatukan. Miranda adalah anak kandung dari sang ayah, Duke Guinan, sedangkan Matilda anak kandung dari sang ibu, Joanne Grey.

Matilda berkepribadian manis dan anggun, sedangkan Miranda berkepribadian tomboi dan ceroboh. Matilda piawai mengambil hati semua orang, sedangkan Miranda piawai membuat masalah pada semua orang. Matilda berbicara dengan nada lembut bak bunga yang bermekaran di lembah, sedangkan Miranda berbicara dengan nada kasar dan mudah tenggelam dalam lautan amarah.

Namun, satu hal yang harus diketahui; semua kelebihan yang ada di dalam diri Matilda hanyalah topeng belaka. Gadis yang memiliki usia sepantaran dengan Miranda yaitu dua puluh satu tahun itu diam-diam selalu berkata kasar kepada Miranda dan Duchess Sofia, istri pertama dari Duke Guinan sekaligus ibu kandung Miranda yang tengah terbaring lemah karena penyakitnya. Matilda dan ibunya, Joanne, yang merupakan istri kedua Duke Guinan selalu memiliki cara licik untuk mengambil alih perhatian Duke bahkan tidak segan menyebar fitnah untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Matilda Gillian, nama lengkap dari gadis yang memiliki tubuh ramping dan mata sipit seperti bulan sabit. Rambutnya panjang bergelombang berwarna pirang kemerahan yang biasa tergerai indah dan tampak berkilau. Jika ia tersenyum, maka sinar matanya akan tampak seperti lembayung senja yang indah dan menenangkan.

Ditambah dengan image elegan dan damai yang dimiliki Matilda, membuat gadis itu tampak seperti sekuntum bunga mawar yang sedang mekar. Setiap orang mudah terbelenggu dengan setiap perkataan gadis tersebut. Terlebih, kepandaiannya memainkan wajah, membuatnya mudah menipu daya mereka yang merasa ingin melindunginya.

Sementara Miranda Swan, nama lengkap seorang gadis yang juga memiliki paras tidak kalah memesona. Rambutnya lurus panjang berwarna cokelat hazel yang kontras dengan kulitnya yang putih, bongkahan dada dan bokongnya juga lebih besar dan sintal jika dibandingkan dengan Matilda.

Namun, karena image Miranda yang terlanjur dikenal sebagai gadis tomboi, pemarah, dan suka membuat masalah, membuat setiap orang menganggap gadis itu jahat dan dipenuhi dengan kesombongan. Sebuah nama indah, Miranda, yang memiliki arti terpuji dan disanjung, seolah berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Padahal, sebenarnya gadis itu memiliki hati lembut dan penyayang. Mereka hanya mampu menilai seseorang dari sampulnya.

Hanya satu persamaan yang ada dalam diri Miranda dan Matilda; memiliki paras yang cantik memesona bak jelmaan Dewi di pulau terpencil dan damai. Setiap mata yang tertuju kepada mereka selalu terfokus seolah terbius. Akan tetapi, tentu saja sebagian besar dari mereka lebih mengagumi Matilda dengan topengnya ketimbang Miranda yang tampil apa adanya.

Kembali pada situasi di dalam kamar Miranda, tampak Ursula yang terus melirikkan ekor mata di balik jendela kamar lantai dua. Kereta kuda yang kedelapan tiba-tiba datang dan menghadirkan seorang pria paruh baya, Paul, bangsawan Baron yang juga mengagumi dan menjadi tamu undangan Matilda.

Menutup buku tebal berbahan kulit kuda nil di atas meja, Miranda menarik sudut bibir atas, tersenyum culas, "Apakah kau ingin melakukan hal yang lebih menyenangkan denganku, Ursula? Aku takut kelopak matamu menjadi bintitan jika terus mengintip."

~~~

Next chapter