3 IBU KOTA

"Jadi, tindakan apa yang akan kau ambil, Nona?" bertanya.

"Bisakah kau antar aku keluar dari hutan ini?"

"Dengan senang hati."

Gadis berambut merah kecoklatan dengan mata berwarna hijau secantik emerald itu menoleh ke arah Serigala putih yang ada disamping dirinya. Lantas Serigala putih itu berjanji, dia akan menunjukkan padanya jalan menuju ke Ibu Kota Oriana, dan dengan segera mereka berdua pergi meninggalkan Hutan Meadow.

Akan tetapi sebelum itu, Violet bertemu dengan seorang wanita paruh baya di sana. Serigala itu berkata bahwa tidak aman jika keluar hutan sekarang, maka jalan satu-satunya adalah bermalam disuatu tempat.

Ia pun membawa Violet ke rumah tua di ujung Hutan Meadow, tempat dimana wanita paruh baya itu tinggal. Dia bahkan tidak memberitahukan bagaimana cara gadis itu sampai ke tempat ini, karena mereka menghilang begitu saja dalam sekali kedipan mata.

Violet merasa mual, dan juga tidak enak badan setelah perpindahan itu dilakukan, se-akan mau pingsan. Ia dengan cepat berlari menjauh dari Serigala, dan wanita paruh baya. Violet sudah tak tahan lagi dengan rasa pusing dikepalanya, sehingga dia memuntahkan semuanya keluar saat itu juga.

"Hoek, apa yang barusan terjadi? Kepalaku pusing, perutku rasanya seperti di mix," bersandar ditembok rumah tua wanita paruh baya setelah dia mengeluarkan semua isi di dalam perutnya.

Suara serak dari wanita itu membalasnya, "Kau baru saja melakukan teleportasi, dan satu lagi. Jangan muntah sembarangan! Kau pikir rumahku ini apa, Lady?"

Menoleh, "ah, maafkan aku. Yang tadi rasanya seperti sedang menaiki Bus, mual sekali."

Serigala, dan wanita itu pun tidak paham dengan apa yang Violet katakan, "Bus, Apa itu? Makanan? Atau sebuah mantera sihir baru?" balas wanita paruh baya.

"B-bukan, bukan seperti itu," Violet menyilangkan kedua tangannya, menunjukan bahwa yang dikatakan oleh wanita itu salah.

Tiba-tiba, seseorang memeluknya dari belakang. Tubuh Violet yang dingin menjadi hangat. Suara berat namun terdengar menggemaskan itu menggema di-kedua ditelinganya, bulu kuduk Violet berdiri seketika saat mendengarnya.

"Jadi, selama ini kamu ada di Hutan terlarang. Apa yang kamu lakukan ditempat tidak berguna seperti ini?" monyong.

Jantung gadis itu se-akan mau copot, dan dengan cepat ia melepaskan pelukan pria yang dirasa sangat asing bagi dirinya.

"Kenapa kamu tega melakukan ini padaku... Aku sangat rindu padamu, tahu!"

Merasa ada yang tidak beres, Violet mencoba untuk tenang, dan sebisa mungkin tidak bersikap mencurigakan. Ia lalu mengamati pria itu dengan seksama dari atas sampai kebawah. Satu lagi seorang pria datang menghampirinya dari kejauhan, ia nampak hampir sama persis seperti pria yang baru saja memeluk dirinya barusan.

"Apa-apaan?" batin Violet, "siapa lagi orang-orang ini, kembar?"

Pria satu lagi menghentikan langkahnya, ia lalu berdiri disamping pria yang baru saja memeluk Violet. Dari sana tampak sebuah perbedaan diantara keduanya.

***

Sore hari sebelum kejadian ini terjadi, jauh dari tempat Violet berada saat ini, dipusat Ibu Kota Oriana tepatnya.

Badan yang bagus, rambut berwarna merah menyala seperti api. Pria tampan dengan mata berwarna abu-abu seperti Moonstone, jubahnya bak rumput yang melambai dipadang yang luas, tingginya hampir setara dengan tiang.

Pria tersebut mulai memasuki sebuah toko kue dipusat Ibu Kota Oriana, "krincing," suara lonceng berbunyi ketika pintunya dibuka.

"Selamat datang. Bagaimana dengan kabarmu, Tuan Muda?" seseorang menyambut dirinya.

"Kabarku baik-baik saja," membalas sapaannya.

Pria itu kini berdiri bingung mengamati berbagai macam kue yang terpajang di etalase toko tersebut. Dirinya berdiri sangat lama seperti biasa.

Seorang pelayan menghampirinya, "ada yang bisa ku bantu, Tuan?"

"Ah... Sebenarnya, aku ingin membelikan kue untuk calon tunanganku," menggaruk kepalanya sambil menampakan ekspresi galau kepada pelayan di toko tersebut.

Pria berambut merah menyala itu masih berdiri, dan tidak beranjak dari depan etalase toko, pelayan yang menghampirinya tadi dengan cepat membantu, agaknya dia tidak bisa memilih sendiri kue yang akan diberikan kepada Lady, calon tunangannya itu.

"Permisi, Tuan Muda. Bagaimana jika saya bantu untuk memilihkan kuenya?"

Menatap pelayan toko, "oh, sepertinya memang harus kau yang memilihkan."

"Adakah yang di sukai Ladymu?"

Pria bermata Moonstone itu berpikir keras, apa yang di sukai dari calon tunangannya.

Pelayan tersebut mencoba untuk mempermudah ingatannya, "misal kue dengan rasa yang manis? Atau sedikit masam yang segar?"

Pria berambut merah dengan warna mata Moonstone masih sedikit kebingungan, "bagaimana dengan bentuknya, apakah ada hal yang istimewa, Tuan?" bertanya kembali.

Pelayan itu pun sedikit kewalahan, sementara pria yang ada di depannya masih berpikir, "ugh..." dalam hati si pelayan toko.

"B-bagaimana jika saya yang pilih, dan ambilkan... Tuan. Silahkan Anda duduk di meja sebelah sana," senyuman bisnis.

Pria yang ada di depan pelayan tersebut sedikit menoleh kebelakang, rupanya ada banyak sekali antrian pembeli yang ingin mencicipi kue buatan toko terkenal se-Ibu Kota.

Melihat isi etalase sebentar, "baiklah," wajahnya dingin, dia pun pergi dari sana, dan segera duduk di kursi yang tersedia.

Selang beberapa waktu, pelayan pribadi Tuan Muda itu datang sambil berlari, dirinya terlihat panik karena Tuan Muda-nya pergi begitu saja dari rumah tanpa satu pun pengawal.

Melihat ke arah pintu toko, "kenapa dia berlari?"

"T-tuan Muda Duke. Kenapa Anda pergi sendiri, dan tidak mengajakku?!"

"Ah... Aku tadi di suruh oleh Ibu untuk pergi, jadi aku tidak sempat memberitahumu," ujarnya.

"Tidakkah Anda menungguku terlebih dulu. Apa yang Tuan lakukan di sini?"

"Aku sedang membelikan kue untuk Lady Ilona," ucapnya.

"Tuan Muda selalu menyuruhku untuk memberikannya pada Lady, bagaimana Anda akan melakukannya sendiri?"

Tuan Muda Duke terlihat lelah, "bisakah kau berhenti mengomeliku? Audrey. Cukup jadi prajurit wanita yang tangguh, dan jadi pelayan pribadiku saja itu sudah cukup."

Melipat kedua tangannya di depan dada sambil menghela napas, "Huft... Memang benar sih, Tuan Muda mau berusaha seperti ini saja sudah lebih baik," ucapnya bersyukur karena Tuan Muda Duke ada sedikit perkembangan.

"Nyonya Besar pasti akan merasa sangat senang. Setelah insiden itu, Nyonya selalu saja terlihat marah-marah," dalam hati Audrey merasa iba pada Tuan Muda-nya.

Pelayan Tuan Muda Duke, Audrey, dia khawatir jika Tuan Muda-nya tidak bisa melakukan hal kecil ini dengan baik. Jujur saja, Tuan Muda Duke tidak suka dengan perjodohan yang sedang berlangsung saat ini karena suatu hal. Jadi, jika dirinya disuruh untuk menemui Calon Tunangannya dia pasti akan menolak, dan memilih untuk memberikan hadiah berupa kue, tentu saja yang membelikan, dan memberikan kue itu adalah Audrey, pelayan pribadinya.

"Astaga, sampai kapan sikap keras kepala itu akan menghilang," menekan kening dengan perlahan.

Niat ingin menenangkan pikirannya sebentar, pelayan pribadi Tuan Muda melihat ke arah luar dari dalam toko kue. Tanpa sengaja saat pria berambut merah menyala yang tak lain adalah Tuan Muda Duke ingin bicara, dirinya melihat pelayan pribadinya memasang ekspresi wajah yang terlihat sangat shock.

Dia pun bertanya pada pelayan pribadinya mengapa dia memasang wajah seperti itu, "Audrey, apakah di luar ada masalah?" tanya Tuan Muda Duke.

"T-tidak ada, Tuan," mencoba untuk menyembunyikan sesuatu, dirinya dengan kuat menggenggam pedang yang tersampir di pinggang kirinya.

"Benar begitu?" Tuan Muda Duke hampir saja berdiri, dan memastikan apa yang sedang terjadi di luar, namun dengan cepat pelayan toko datang menghampiri mereka berdua.

Membawa beberapa kotak kue di tangannya, "Tuan, silahkan. Ini pesanan kuemu."

"Ah, terima kasih karena sudah membantuku untuk memilihkannya," tersenyum hanya untuk formalitas saja.

Audrey melihat pelayan di toko tersebut, mata mereka berdua saling berpapasan ternyata.

"Ah, Apakah kau pelayan pribadinya Tuan Muda Duke?" bertanya.

"Haha. Iya," tersenyum.

"Tidak ku sangka, selama ini yang membeli kue adalah pelayan pribadimu, pantas saja Anda kewalahan memilihnya sendiri tadi." basa-basi dan sok tau.

"Ya, begitulah."

avataravatar
Next chapter