webnovel

LADUREE

Kisah perempuan jutek, judes, keras kepala, introvert, namun memiliki hati yang pure. Selain jones di usia 36 tahun, Ree juga seorang halu akan lelaki yang menurutnya 'perfect' untuk dijadikan pasangan atau untuk sekadar dipandang mata. Gagal membangun karir kantoran, membina hubungan asmara, belum lanjut kuliah master, hingga berdagang konvensional dan multi level marketing, menjadi pengiring sejarah hidup seorang Ree yang bertipikal pantang menyerah. Namun, Ree harus terlibat cinta lokasi saat kembali ke dunia perkantoran yang pernah digelutinya. Kisah asmara yang dibungkus cekcok dunia perkantoran dibalut luka batin, yang baru Ree ketahui bahwa dia lahir dari seorang toxic mother. Apakah Ree mampu menyembuhkan dirinya dari tekanan mental akibat ulah sang ibu? Bagaimana pula akhir dari kisah cintanya?

MetroWoman · Urban
Not enough ratings
125 Chs

Sekongkol

"Gue nggak ngejatuhin loe, kok. Gue cuma ngasih fakta, emang bener, kan? Ngegosipin orang bisa jasid penyakit karena kena rahasia Ilahi," elaknya mulai naik pitam.

"Loe juga, Ree. Kenapa loe bilangin gue toxic? Dari mananya gue toxic?"

(Aku tercekat)

"Sekarang gini dech. Loe serius, Non, nggak ngegosip lagi?" tanyaku.

"Permisi, Kak. Baksonya tiga, ya?"

Pelayan menghidang pesanan sementara tidak satu pun dari kami yang menjawab. Noni menatapku seakan bingung arah pertanyaan atau bingung untuk menjawab. Aku menatapnya lekat. Sorot mata Noni tidak menyiratkan kejanggalan. Tapi, aku merasa ada yang tidak beres di sini.

Noni hanya mengangguk tidak bersuara. Rahmi yang duduk di sampingnya hanya diam menyimak sembari sesekali mengaduk kuah bakso. Mencampur kecap, saus, cuka, dan cabe rawit.

"Nah, trus loe bilang daripada bibir si Noni stroke, maksudnya apa?"

"Loh, kok loe malah nyalahin gue? Itu kan emang fakta!" sengit Rahmi.

Noni tidak berbuat apa-apa untuk menyela. Dia duduk mengamati kami berdua dengan sorot mata seperti orang bingung. Termasuk aku juga bingung. Pun mungkin juga dengan Rahmi.

Sari datang dengan tas selempang kecil, menarik kursi tanpa basi-basi mengambil botol air mineral kemudian meneguknya. Kami bertiga masih diam satu sama lain. Mengabaikan bakso yang sudah menanti untuk disantap.

"Punya gue belum dipesanin?"

"Ampun dah nih orang. Pesen ndiri dech," ketusku.

"Napa sih? Kok pada nggak banget muka-muka loe pada?"

Aku mengaduk kuah bakso setelah menuang cabe rawit dua sendok. Tidak lupa teh botol yang agak pahit belum kupesan. Sebotol air mineral kugeser ke hadapanku sebelum habis di meja. Kecuali mau bergerak ke kasir memesannya lagi. Rahmi dan Noni fokus ke mangkok bakso masing-masing. Bakso Noni bahkan sudah hampir habis. Taruhan dia bakal pesan ronde ke dua yaitu bakso tok.

Sambil mengunyah, mataku melirik ke Sari. Dia celingak-celinguk hingga mengangkat tangan memanggil. Seorang pelayan datang dengan serbet di tangan. Badannya kurus, agak cungkring, kulitnya kuning langsat, dari tampangnya berrkisar di bawah dua puluh lima tahun.  

"Mie bakso tenis satu, sirup jeruk dingin satu, trus …."

Dia berpikir sekejap sebelum melanjutkan, "Nggak ada kerupuk ya?"

"Nggak ada, Kak. Adanya parkedel," jawab si pelayan laki-laki.  

Telingaku mendengar dia menjawab, "Ya, udah, itu aja." Kemudian bertanya padaku, "Enak nggak baksonya?"

"Mayan," jawabku apa adanya.

"Non, Tia kapan bisa gabung sama kita lagi? Urusannya kan udah kelar, kan?" tanya Sari.

Noni menggeleng yang artinya tidak tahu. Kami bertiga mendadak hilang nafsu makan gara-gara perdebatan yang tidak jelas penyebabnya. Tumben Noni tidak tahu berita mengenai Tia. Apa mungkin dia memang benar akan berhenti dari bergosip?

Mangkok baksoku sudah kosong. Sendok dan garpunya kututup sesuai ajaran etika adab ketimuran. Atau mungkin kebaratan juga melakukannya?

"Loe naik apa, Sar?"

"Biasa. Noh, di pinggir pohon ujung sana. Jauh juga gue parkirnya," jawabnya sambil menunjuk dengan dagunya.

"Cepat banget loe, Ree. Udah abis aja," sambungnya terkekeh jelas di telingaku, lalu bertanya, "Punya gue mana, ya? Lama amat," gerutunya.

"Gue lapar, Sar. Padahal sebelum kemari juga udah makan siang."

"Porsi loe kurang jumbo, Woyyyy!" Sari terbahak-bahak melihatku menggeser mangkok untuk mengambil air mineral. "Body sedan muatan dumb truck," lanjutnya semakin kencang tertawa.

"Bagus, donk! Banyak makan tapi body tetap langsing."  

"Mi, muka loe kok beda? Kalian kok pada diem-dieman?"

Sari ini sebenarnya pintar membaca situasi, cuma kadang-kadang pura-pura tidak tahu. Tidak jarang tebakannya jarang meleset. Apa dia bisa membaca pikiran orang? Aku tidak tahu.

"Sar, di sini tuh sebelum loe dateng, kami lagi ngebahas perihal gue yang nggak mau ngegosip lagi. Maksud gue ngajak-ngajak kalian bergosip. Nah, tadi tuh sempat kek ada salah paham antara si Rahmi ama si Riri."

Sari melongo. Lalu melempar tatapan padaku dan Rahmi bergantian. Aku tidak mau ambil bagian menjelaskan duduk perkara. Noni saja sudah cukup. Rahmi masih dengan baksonya yang tersisa bakso tenis. Hobinya makan bakso besar selalu belakangan.

"Loe nggak mau jadi tukang update-update gosip lagi?" pekik Sari.

Untung pengunjung tidak ada yang melihat ke arah kami. Suaranya lumayan besar sebetulnya, tapi karena warungnya ramai dan bising, jadi tidak ada yang mendengar. Sari menatap Noni lekat beberapa lama. Tiba-tiba Sari tertawa lebar.

"Mi, Ree, loe berdua ya, mau aja dikibulin si Noni tukang gosip. Dia tukang gosip, trus bikin gosip nggak mau gosipan lagi, trus kalian berdua percaya ama gosip yang dia bikin?"

Keningku berkerut. Raut wajahku jelas menyiratkan kebingungan. Aku tidak menemukan kebohongan di raut wajah Noni tadi. Kalau memang itu benar, dari mana Sari tahu?

Rahmi pun ikut tercengang mendengar penuturan Sari. Dia yang awalnya tidak ambil sikap, sekarang sudah terbawa ke situasi baru buatan Sari. Apa ini hanya akal-akalan Sari untuk mencairkan suasana?

"Loe tahu dari mana, Sar?" tegasku.

Aku tidak bisa tinggal diam karena semakin membingungkan. Ini harus selesai di sini sebelum pulang supaya tidak berakhir salah paham. Waktu masih panjang untuk memberi sebuah penjelasan. Atau mungkin sampai Maghrib berada di sini.

"Siapa yang mau jelasin? Gue nggak mau sampe renggang pertemanan kita," ucapku mengingatkan.

Aku melirik Sari cukup lama sebelum beralih menatap Noni. Dari sudut mataku, Rahmi mulai jengah menunggu sama sepertiku.

"Loe jelasin dech, Non," pinta Sari.

Nah, kan seperti dugaanku. Memang ada yang janggal dari perkataan Noni tadi. tapi, aku juga tidak bisa langsung menarik kesimpulan. Azas praduga tak bersalah tetap dilibatkan dan dikedepankan.

"Gue bercanda, kok! Nggak ada yang serius."

"Maksud loe apa, Non? Jangan sepotong-sepotong. Ngomong yang jelas!" serangku padanya.

Aku mulai naik pitam mendengar penuturannya. Membuat sebuah candaan hingga membuat orang lain bertengkar dan salah paham, itu hal yang tidak bisa kutoleransi. Seperti mengadu domba secara tidak langsung.

"Kalian berdua sekongkol?" sambungku melihat Noni hanya bergeming.

Lirikanku jatuh ke Rahmi yang diam menyimak dengan mata berpindah-pindah dariku, ke Sari, lalu ke Noni, kembali ke Sari. Mungkin dia berharap Sari akan menjawab pertanyaanku.

"Jawab donk kalian berdua."

Akhirnya Rahmi angkat bicara setelah sekian menit hampir satu jam tidak bersuara. Dia menyentuh pundak Noni, memintanya untuk menjawab dan memberi penjelasan dibalik pertanyaannya pada Noni tadi yang terkesan menyalahkan. Lama bergeming, Sari pun mengambil sikap.

Penjelasan Sari panjang lebar membuatku terperangah. Aku tidak tahu sikapku sekarang ini berlebihan atau tidak. Tapi, menurutku kelakuan mereka tidak sepatutnya. Menyebabkan seseorang salah paham bukannya sama saja dengan menjadi orang toxic?

Aku dan Rahmi terbodoh-bodoh melihat mereka berdua tertawa tanpa dosa.