28 Masih saja ketus

"Saya minta maaf soal kemarin," katanya tiba-tiba. Dia berdiri di belakangku entah untuk apa.

"Udah saya maafin kok, Pak."

"Udah maafin tapi masih ketus," balasnya yang terdengar menyindir dan dingin.

'Suka-suka gue, donk.'

Aku meninggalkan dia di rak buku sosial politik. Buku-buku tebal itu kali ini tidak menarik perhatianku walau hanya untuk disentuh. Aku memutar ke arah komik Jepang yang sudah tidak lagi ramai menghiasi jagad perkomikan. Komik yang ada di pasaran hanya komik tertentu. Rindu sekali aku dengan komik itu.

"Kamu susah banget menjawab kalau ditanya –"

"Soalnya Bapak tuh kalo ngomong diulang-ulang, padahal udah dijawab gak apa-apa… gak apa-apa… masih juga –"

"Katanya udah maafin, tapi masih juga ngomel."

"Nah, kan!" Aku mulai hilang kesabaran. Kemudian berlalu ke rak buku novel detektif. Dari yang tipis sampai yang tebal. Dari yang murah sampai yang mahal. Tersedia dalam dua bahasa. Aku tergiur untuk membelinya.  

"handphone kenapa dimatiin?"

"Ketinggalan," jawabku cuek.

Berarti dia meneleponku, sejak kapan? Jangan bilang urusan kantor. Tidak, tidak, aku tidak sudi! Aku ingin santai tanpa memikirkan urusan kantor. Biarkan saja dia marah-marah. Itu hakku sebagai karyawan untuk menikmati hari libur.

"Ketinggalan kok hapenya mati?"

 "Mungkin aja abis batre," jawabku ketus sambil lalu.

"Oh, abis batre. Kirain apaan –"

"Emang Bapak kira apaan?" sewotku dengan kening mengerut.

"Kirain menghindar dari saya."

'Emberrrr!'

Aku pindah ke rak yang lain. Dia masih mengekoriku. Tak ubahnya ajudanku untuk sekarang ini.

"Kamu sama siapa kemari?"

"Sendiri."

"Kamu cari buku apa?"

'Ihhhhh… nyinyir amat sih nih orang? Gedek banget dech gue!'

Aku melihat ke arahnya beberapa lama, tatapanku lumayan sinis, curiga, lantas berbalik. Aku heran dia terus saja mengikutiku di samping. Apa dia tidak pulang? Hampir satu jam aku di toko buku, seharusnya aku sudah pulang dengan satu atau dua buku. Tapi, aku masih di sini gara-gara si duren.

"Kan, kamu nggak jawab lagi pertanyaan saya. Susah ya pertanyaan saya? Kek ada rumus Phytahoras di dalamnya?"

Aku menoleh bersamaan dia mengeluhkan sikapku. Tiga detik aku menatapnya. 'Apaan sih dia?'

Lirikan mataku berpaling darinya. Novel yang dipajang di rak dan di atas meja sungguh memikat mataku untuk membeli. Sayangnya tidak ada promo diskon untuk saat ini. Padahal lumayan sekall menghemat uang karena aku akan membeli beberapa. Well, beli di toko marketplace saja. Harganya juga sering tidak terduga. Dari seratus ribu Rupiah menjadi hanya sepuluh ribu Rupiah saja.

"Buku yang tadi saya tunjukin itu recommended banget loh," ucapnya membuka-buka halaman buku.

"Laduree!"

Aku tersentak. Kali ini suaranya terdengar tegas dan dewasa. Kepalaku tidak gatal, tapi aku ingin sekali menggaruknya. Rais ini benar-benar membuatku kesal bukan kepalang. Mengganggu saja kerjanya. Aku berbalik memandangnya. Dia mendekat padaku.

"Jawab saya!"

'Eh, apa-apaan ini?'

Mimik mukaku berubah cepat mendengar nadanya yang terkesan menuntut. Aku tidak suka caranya belakangan ini. Aku harus mengambil tindakan, kalau tidak mau dia memporak-porandakan hidupku. Dia tidak bisa dibiarkan.

"Apa yang harus saya jawab, Pak?" tanyaku malas dan ketus.  

Bicaraku yang judes sebentar lagi akan keluar kalau dia terus memaksaku. Ini hari libur, tidak ada sangkut pautnya dengan urusan kantor dan dengannya. Kenapa dia selalu mengaitkan sesuatu dengan kantor?

"Tadi sudah saya jawab pertanyaan Anda, Bapak Rais Darmawan Putra."

Cepat-cepat mataku mengedar ke sekitar melihat siapa tahu ada pengunjung yang melihat kami di sini. Aku malu sekali kalau itu terjadi. Orang-orang akan berpikir kami sepasang kekasih yang sedang ribut-ribut kecil tapi mesra.

"Udah ya, Pak. Saya mau pulang. Udah sore, nanti dicariin bapak saya. Permisi!"

Aku langsung berlalu tanpa menunggu jawaban darinya. Langkah kupercepat hingga hampir jatuh terpeleset di lantai toko buku yang licin. Tidak ada lift di toko itu. Jadi, aku harus turun tangga tiga lantai sebagai jalan satu-satunya.

Menuruni anak tangga yang besar dan licin, aku sempat menggerutu. Tentang dirinya, tentang pertanyaannya, tentang sikapnya. Pertanyaan dan nadanya tidak mencerminkan sesuatu yang biasa. Melainkan lebih dari itu. Seperti perhatian pada lawan jenis.

Aku tidak peduli padanya yang mungkin melongo melihatku pergi, bahkan dengan muka sungut. Aku tidak melihat lagi ke belakang. Di lantai satu, suara musik dan pajangan ATK beserta alat-alat musik memenuhi penglihatan dan pendengaranku. Aku keluar dari pintu belakang. Pintu langsung ke area parkir motor. Kuharap dia tidak mencegatku di depan, sebab parkir mobil di bagian depan gedung toko.

"Sialan! Waktu habis, tenaga habis, aku malah pulang dengan tangan kosong."

Aku menggerutu sambil menekan starter. Kaca helm tidak lupa kuturunkan. Meninggalkan gedung dan berhenti di pos jaga parkir. Sekilas mataku melirik ke deretan mobil yang terparkir. Aku hapal nomor plat mobilnya. Tapi, kenapa tidak terlihat ya? Apa dia sudah pulan? Cepat sekali jalannya? Padahal aku yang duluan turun.

 Motor kulajukan santai karena hari masih cukup terang dan ramai. Emosiku marahku tiba-tiba membaik. Asyik sekali berjalan sore begini dengan angin sepoi dan matahari yang menyinari setiap objek yang dikenai. Apalagi kalau sama suami. Eh!

Aku berhenti di lampu merah dengan banyak kendaraan berjenis mobil di bagian depan dan motor di sampingnya. Sepasang muda mudi tengah berpelukan di atas motor. Wow … mesra sekali dia. Jiwa jonesku berteriak, apalagi melihat penampila dan tampangnya. Kisaran umur enam belas tahun mungkin.

Ah, anak zaman sekarang. Mesranya mengalahkan anak muda di zamanku sekolah. Paling hebat nonton bioskop. Anak zaman sekarang malah masih duduk di bangku menengah pertama sudah tidak ting-ting, apakah yang lelaki atau perempuan. Na'udzubilah min dzalik.

Lirikan mataku refleks melihat ke kaca spion. Sebuah mobil hitam dengan plat tidak asing berada di belakangku. Oh, cepat sekali Rais Darmawan berada di belakang. Apa dia mengejarku? Atau hanya kebetulan saja?

Dia membunyikan klakson.

Aku terkejut dia seperti memberi kode padaku. Mataku tidak beralih menatapnya dari spion. Tidak, Rais. Ini lagi di depan umum. Jangan membuatku malu karena klaksonmu yang membuatku menjadi pusat perhatian. Lagi-lagi dia membunyikan klakson. Apa sih maunya dia? Rasanya ingin sekali aku menjitak kepalanya.

Apa dia tidak bisa tidak mencari gara-gara denganku sampai di tempat umum? Apa mungkin karena kelakuannya yang begini membuat istrinya menggugat cerai? Apa dia tidak sadar sudah membuat keributan di jalan raya dengan suara klaksonnya yang menggelegar?

Tiba-tiba aku mendengar suara klakson lainnya dari arah sebelah kiri. Aku melirik, kemudian berteriak, "Jangan melamun, Mbak. Cepat jalan!"

Oh, astaga. Si duren membunyikan klaksonnya ternyata menyuruhku jalan karena lampunya sudah hijau.

Astaghfirullah.

avataravatar
Next chapter