webnovel

LADUREE

Kisah perempuan jutek, judes, keras kepala, introvert, namun memiliki hati yang pure. Selain jones di usia 36 tahun, Ree juga seorang halu akan lelaki yang menurutnya 'perfect' untuk dijadikan pasangan atau untuk sekadar dipandang mata. Gagal membangun karir kantoran, membina hubungan asmara, belum lanjut kuliah master, hingga berdagang konvensional dan multi level marketing, menjadi pengiring sejarah hidup seorang Ree yang bertipikal pantang menyerah. Namun, Ree harus terlibat cinta lokasi saat kembali ke dunia perkantoran yang pernah digelutinya. Kisah asmara yang dibungkus cekcok dunia perkantoran dibalut luka batin, yang baru Ree ketahui bahwa dia lahir dari seorang toxic mother. Apakah Ree mampu menyembuhkan dirinya dari tekanan mental akibat ulah sang ibu? Bagaimana pula akhir dari kisah cintanya?

MetroWoman · Urban
Not enough ratings
125 Chs

Dia di sini....

'Loh, dia... kan?'

Aku mematung di lantai tempatku berdiri, terkejut setengah hidup melihat sosok di depanku yang akan mewawancaraiku. Jujur, aku seperti membeku dan kakiku seperti dipasang lem setan yang lengket tidak bisa dilepas.

Raut wajahnya pun sepertinya sama denganku yang terkejut. Dia menatapku beberapa detik–seperti pernah lihat–pikirnya mungkin. Entah memang benar, entah pikiranku saja. Tapi, seperti itu yang terbaca di mataku.

"Silakan duduk."

"Euh, iya, terima kasih, Pak."

Aku sedikit menunduk untuk kesopanan dan menarik kuat kaki yang sendi lututnya terasa gemetar, sepertinya harus minum vitamin yang mengandung Glucosamine dan Condroitin biar tidak cepat lemas kalau melihat orang ganteng tapi tak asing.

"Apa kabar?"

Kalimat pembuka yang umum dan cukup bagus dia lontarkan sebagai permulaan setelah aku duduk di kursi yang lumayan empuk juga. Dia juga tersenyum saat bertanya. Manis, masih sama sewaktu kesasar di teras rumahku.

"Saya baik, Pak. Alhamdullillah."

"Sebentar, ya."

Dia tersenyum sebelum memutar kursinya kembali, mengambil kertas hasil print di meja printer. Lantas keluar membawa setumpuk kertas tersebut. Aku mengamati sekeliling sepeninggalnya barusan. Ruangannya bersih, tertata rapi, wangi juga, tapi penggunaan ACnya berlebihan. Belum sepuluh menit aku sudah mulai kedinginan. Terang saja, lha AC nya nyembur ke mukaku alias aku dan si AC saling berhadapan. Tepatnya lagi, alat itu berada di belakang si doi yang baru saja keluar.

"Maaf, ya. Tadi saya masih ada yang harus diselesaikan."

Tiba-tiba dia muncul dan langsung duduk di kursi jabatannya. Dia bicara sambil terkekeh kikuk merasa tidak enak. Tapi, kenapa bisa tidak dengar sewaktu dia masuk? Apa memang pintunya yang tidak tertutup, atau memang tertutup tapi dia sangat pelan membukanya sampai aku tidak dengar?

"Sudah baca email terbaru, ya? Yang dikirim kemarin?" ramah tamahnya dengan senyum seperti gula aren.

"O, iya, Pak. Ini berkasnya."

Jantungku tidak bersahabat tiba-tiba, gara-gara pesona salah satu makhluk Tuhan paling sexy yang sedang mengeluarkan kertas-kertas penting dari dalam amplop cokelat. Menjaga pandangan adalah salah satu ajaran agamaku. Tapi, bagaimana mungkin aku mengabaikan yang indah memikat yang buatku tidak bisa tidur siang-malam begini?

Oh, Tuhan. Sayang kalau tidak dinikmati, mubazir.

Tapi, sayangnya mataku mengikuti perintah ajaran agama yang dianut keluargaku secara turun temurun. Aku memang menegakkan kepalaku, tapi pandangan mataku tertuju pada apa-apa yang yang ada di meja. Aku mengabaikan dirinya yang serius membaca dan membolak-balik berkasku. Tapi, tetap saja aku bisa tahu apa yang sedang dia perbuat.

"Sudah tahu tentang perusahaan ini, kan?"

"Iya, sudah, Pak."

"Tahu darimana?" dia menatapku.

"Dari web, Pak. Kemarin sempat buka-buka. Cari tahu lebih banyak."

"Oh, iya. Jadi, Ini gak usah lama-lama. Paling cuma tiga puluh menit."

'Alhamdullillah. Bisa copot jantungku di sini  lama-lama dengannya.'

"Laduree Kahani."

Dia membaca namaku yang tertulis di CV. Diam sejenak sebelum melanjutkan pertanyaan. Aku tidak menjawab. Cuma senyum malu-malu merpati. Entah dia tahu atau tidak.

"Biasa dipanggilnya apa?"

"Ree aja, Pak. Nama kecil."

"Oh, Ok. Ree aja."

Dia membuka halaman belakang. Meneliti satu persatu yang tertulis di sana.

"Pernah bekerja sebagai Cashier, ya?"

"Benar, Pak."

"Hmmm.. Ok. Sudah pernah menjadi sekretaris?"

"Eheh, kalau itu belum, Pak."

"Jadi, begini..."

Dia menutup kertas dan menaruhnya di meja. Laptopnya sudah digeser ke sebelah kanannya. Hanya ada berkasku yang berserak di sana, dengan balpoin, pensil, staples, spidol hitam, stabilo hijau, dan segelas air di sudut meja. Dan, name tag yang namanya sangat tidak komersil tadi di depan mataku.

'Oh, Tuhan. Serius gak sih, itu namanya? Kampungan banget. Mana ketuaan lagi namanya, kek bapak-bapak yang tadi. Cocok dech tu nama dengan sesebapak.'

'Eh, tunggu! Dalam sesi wawancara, kan ada yang namanya perkenalan dari pihak applicant dan user. Nah, dia udah nyebut nama gue tadi, berarti kan dia udah tahu siapa nama gue. Kenapa dia gak sebutin namanya juga? Biar gue gak bakal jadi calon mayat gegara mati penasaran dengan namanya yang gak banget gitu loh. Masa iya sih namanya Amiruddin Ramadhansyah? Hadeuhhh... Bisa losfeel gue kalo begini.'

"Memang surat ini sudah dua tahun yang lalu, dan kami memanggil kamu, karena sekretaris dirut akan menikah dan dia mengajukan pengunduran diri pasca menikah. Ini memang di luar prosedur formal, karena biasa kan ada rekrutmen ya, tapi karena kami menyimpan data para pelamar ke kantor ini dalam database, maka kami menghubungi beberapa melalui telepon. Sayangnya, sebagian besar sudah berumah tangga, bahkan sudah ada pekerjaannya sendiri."

Dia berhenti sejenak menghirup udara untuk melanjutkan.

"Dan, kamu, terus terang orang terakhir yang kami hubungi untuk posisi ini. Sebelumnya admin sudah menghubungi melalui telepon, tapi ponsel kamu tidak aktif. Karena itu, kamu dihubungi melalui balasan surel dari lamaran kamu. Yah, kami perlu tahu apakah kamu masih available untuk mengisi posisi ini atau tidak. Karena itu, kami membuka walk in interview."

Dia menjeda lagi. Kali ini dia bangun mengambil sebotol air mineral di dalam lemari yang menjadi tempat letak printer.

"Silakan."

Air mineral ukuran 600 ml ditaruh di depanku dengan pipetnya. Suaranya menjadi berbeda saat mengatakan itu. Seperti sedang lelah, padahal ini masih pagi. Dia menarik napas panjang. Ya, dia lelah. Jelas di telingaku. Sosok yang lelah, seperti sedang pasrah pada keadaan –buntu pikiran.

"Terima kasih, Pak," jawabku dengan senyum kikuk.

"Jadi, kalau dilihat dari CV terbaru, kamu belum menikah, benar?"

"Iya, Pak. Benar."

"Kenapa? Boleh tahu?"

'Euh, buat apaan? Yang penting kan gue masih lajang, gak ada yang ganggu karena dilarang ini itu.'

"Belum rezeki aja, Pak," jawabku tetap mempertahankan senyum.

"Oh, soalnya kalau melihat umur... Terus, kegiatan kamu sekarang apa?"

"Jualan online, Pak."

"Oh, ya, ya. Terus, ini kan posisinya sebagai sekretaris, secara umum kamu tahu job descnya seperti apa, walaupun nanti akan dipaparin lebih rinci. Jam kerja sampe jam tujuh malam paling telat, gaji di atas UMP, tunjangan kesehatan, di luar asuransi dan uang makan."

"Kira-kira kamu tertarik untuk mengisi posisi ini?"

"Saya akan ambil posisi ini, Pak," jawabku mantap tanpa pikir dua kali karena memang isi rekeningku semakin menipis.

Siapa sih yang tidak tergiur saat lagi bokek datang 'duit' tanpa dicari? Ini benar-benar durian runtuh dengan keuntungan yang disebutkan tadi. Dia menyusun berkasku, menyisihkannya ke sisi yang lain, kecuali ijazah yang dikembalikan setelah dimasukkan ke dalam amplop.

Wahhh... Baik sekali dia.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

DEG.