1 Prolog

Hampa.

Gemetar.

Mati rasa.

Ia tengadahkan wajahnya, menatap rintikan hujan yang menderas sepersekian detik. Luka tembak dibahunya sama sekali tak dihiraukannya. Ia menghela nafas berat.

Kapan semua ini akan berakhir?. pikirnya

Ia masih berdiri. Dengan tubuhnya yang sudah terkena 3 tusukan dan 3 tembakan yang hampir mengenai bagian vitalnya. Ia menyibak poni rambutnya dan kembali menatap kedepan. Menatap kenyataan.

Kenyataan yg begitu menyayat mental seorang gadis berusia 15 tahun.

5 orang perwira yang berdiri tak jauh didepannya bersiap untuk serangan berikutnya. Masing-masing mereka memegang HK MP5 dengan 3 orang healer dibelakang mereka. Membuat mereka tak terkalahkan. Meski begitu, tangan kokoh yang menggenggam kuat senjata api itu gemetar hebat. Terlebih mereka yg sudah ciut nyalinya menatap seorang " monster " yg hanya berjarak 5 meter dari mereka.

"hei, fokus!! Dia hanya gadis kucel biasa!! jangan goyah!!". pekik salah satu perwira yang berada di baris terdepan. orang-orang yang berada persis dibelakangnya mengikuti gerakannya yang bersiap menyerang.

meski begitu, masih ada diantara mereka yang telah 'kalah' oleh ketakutan akan kenyataan di depan mereka.

"kau mau bilang gadis yang mampu membunuh 50 perwira bersenjata dan 20 penyihir elemen dengan modal pisau dapur itu hanya gadis biasa?!!".

Perwira yang bicara pertama itu menelan ludah. Memang begitu kenyataannya.

Lihatlah, gadis berambut hitam panjang didepan mereka hanya menggenggam pisau dapur. Namun, mayat bergelimpangan disekitarnnya itu adalah bukti nyata. Bahwa mereka semua mati hanya karna pisau dapur.

"sial... dia benar-benar monster". gumamnya.

Gadis itu terhuyung, dan dalam hitungan detik ia melesat bagai angin. Berlari begitu cepat hingga tak terlihat seakan dirinya ditutupi oleh ribuan air hujan.

"TEMBAK!!!!".

suara tembakan dan selongsong peluru susul menyusul menembus hujan menciptakan ketegangan yg luar biasa. Dengan lincahna gadis itu berkelit menghindari puluhan peluru yang tak henti mengarah padanya. Dan dengan satu tebasan, 3 healer yg menjadi andalan para perwira untuk bertahan hidup itu roboh. Kepala mereka lepas begitu saja dengan darah yang memuncrat hebat.

Gadis itu kini membelakangi para perwira. Mereka tak mampu lagi memegang senjata. Mereka jatuh terduduk begitu melihat kenyataan bahwa mereka sudah kalah telak. Hanya tinggal menunggu waktu gadis itu akan menebas kepala mereka.

"menyedihkan bukan?". suara parau yang berasal dari si gadis seakan membelah kesunyian.

Ia berbalik menatap mereka. Pisau dapur yang penuh dengan darah itu masih tergenggam kuat.

"harusnya saat ini kalian duduk santai bersama keluarga kalian sambil minum coklat panas. Menatap rintik hujan dengan santai dan tenang". ujar gadis itu. ia memutar-mutar pisau digenggamannya, memainkannya seakan-akan pisau itu hanyalah buatan plastik.

Para perwira itu terdiam. Menatap gadis yang bermandikan darah itu antara takut dan kaget.

Apa dia mengerti dengan apa yang dia ucapkan barusan?. batin si perwira.

Gadis itu menghela napas berat. Ia kembali pada mode 'bertarungnya'

"nah, kalian mau kuapakan?". ujarnya. kini pisau itu kembali teracung dengan kokoh di genggaman mungilnya.

Para perwira yang sudah tak berani melakukan perlawanan itu merengek, menangis, bahkan memohon ampun.

sala seorang perwira yang jaraknya tak jauh dengan gadis itu jatuh terduduk sambil memohon di depannya. "to... tolong jangan bunuh kamii!! Kami hanya korban karna ditipu olehnya!! Kami diancam jika tidak melakukan ini-".

Dan belum sempat mereka mengangkat kepala, gadis itu telah sukses menggelindingkan kepala yang tertunduk itu.

"haruskah aku peduli... dengan semua itu..."

Dengan sisa tenaganya, ia terus berjalan tak tentu arah dengan luka yang makin terbuka dan darah yang terus mengalir. Langkahnya makin lemah. Bahkan kakinya gemetar hebat. Ia langsung ambruk begitu saja ditengah hujan deras itu.

Ia masih bisa melihat sekitarnya. Reruntuhan, bekas kebakaran hebat, sepotong tangan, tidak, potongan-potongan tubuh yang terbakar, bau busuk darah dan mesiu yang hebat. Ia tak lagi mampu menggerakkan tubuhnya.

Sampai kapan dunia gelap ini akan terus ada?. pikirnya lagi. karna memang hanya itu yang bisa ia pikirkan hingga detik ini.

Dan sedetik kemudian ia terpejam. Kesadarannya sempurna hilang. Dan tanpa ia sadari, bahwa sedari tadi ada 3 orang berjubah hitam yg melihat segalanya dari atas puing.

"apa itu...?"

         ______••••______

Hujan masih belum memberi tanda akan berhenti. Begitupun dengan petir yg masih menggelegar bersahut-sahutan. Meski begitu, masih ada mereka yang begitu santai ketika diluar sana penuh dengan genangan air dan darah disaat yang sama. Termasuk dirinya.

Ia menatap hujan yang begitu banyak membawa rasa dengan senyum yang tak bisa diartikan. Sesekali tangannya yang memegang gelas bergoyang pelan, memainkan wine didalamnya.

"permisi, tuan"

Laki-laki itu menoleh. "oh, kau rupanya Elhan. Apa itu kabar buruk?"

seorang butler dengan setelan hitam dan rambut lurus dengan poni yang menutup separuh wajahnya itu mengangguk kecil.

"benar. 23 penyihir dan 55 prajurit kita tak ada yg kembali."

"begitu rupanya. kau tau siapa yg menghabisi mereka?"

"hal itu belum bisa dipastikan. Saya baru saja mengirimkan 70 prajurit untuk memastikan lokasi tersebut"

Laki-laki meneguk minumannya lantas menyeringai lebar. Jubah merah panjang yang tersampir dibahunya tersibak, menyebarkan aroma mawar yg semerbak. Ia berjalan melewati butler khususnya dan berhenti.

"yah, setidaknya kota ini sudah bersih dari orang-orang bodoh seperti mereka".

Butler yg masih pada posisinya itu terdiam.

"apa anda yakin hal ini akan memancing mereka?"

"ya. disana ada sekitar 20 mata-mata utusan 'mereka' yg tinggal untuk mengawasi kediaman ini"

Dan sekali lagi, laki-laki itu tersenyum. Namun, disusul dengan tawa yang seketika memenuhi sudut ruangan.

"kalian benar-benar menyenangkan, Zudikas.. aku akan terus menanti serangan yang akan kalian berikan."

Suara petir yg menggelegar bersahut-sahutan dibalik jendela seakan mendukung dirinya dengan aura mengerikan yang ia pancarkan dalam ruangan itu. Elhean sang butler hanya terdiam menatap tuannya yg penuh dengan ambisi untuk 'memiliki segalanya'

"jadi, puaskanlah aku, ZUDIKAS !!". gumamnya dengan seringai terbaik miliknya.

                                                                 {.}

avataravatar
Next chapter