13 Siji Menjadi Target

Yuji sudah selesai mandi saat ini. Ia tadi habis hujan-hujanan karena mendrama tadi. Kini giliran Reiji yang masuk kamar mandi yang berada di dekat kamar mereka. Kamar mereka tidak dilengkapi dengan kamar mandi di dalam kamar, seperti kamar orang berada lainnya. Keluarga Pradhika adalah keluarga yang sederhana.

Di rumah ini hanya ada dua kamar mandi, di lantai bawah dan lantai atas.

Yuji merebahkan tubuhnya sejenak ke ranjang. Ia menyalakan lagi ponselnya yang tadi sempat terjatuh ke sungai tadi. Ternyata mati. Mungkin karena terkena air tadi. Yuji langsung buru-buru membuka bagian belakang ponselnya. Mengeluarkan baterai dan SIM card dari tempatnya.

"Kalau besok ponsel ini masih mati, berarti minta ganti pada papa aja. Malesin banget bahkan ponsel aja mesti kembaran sama si Sithok!" gerutu Yuji.

Ia juga tidak tahu sebabnya, ia sangat tidak suka dengan kakak sulungnya itu. Yuji lebih terima kalau ia hanya memiliki saudara kembar Reiji saja.

Yuji bahkan tidak tahu gen yang lebih dominan dari papa atau mamanya itu, yang ada turunan kembarnya. Bahkan, mereka bertiga ini kembar identik tiga. Bagi Yuji, tiga itu adalah angka sial. Ia bersyukur. Ia berada di tengah-tengah di antara kedua saudaranya itu. Makanya, Yuji merasa lebih cocok dengan Reiji selama ini.

Siji itu karakter remaja yang kurang ekspresif. Sukanya duduk tercenung di rumah sambil menamatkan komik ber-volume-volume. Belum lagi Siji yang menjadi wibu garis keras itu.

"Bang Yu! Rei udah selesai mandinya. Ayo, kita mulai aksi!" Reiji mengajak Yuji yang masih rebahan di kasur.

Seperti rencana semula, mereka akan memberi lelucon kepada kakak sulung mereka yang jomblo dari lahir itu.

Yuji bangkit. Ia meletakkan ponsel yang sudah rusak tadi di nakas. Ia mempersiapkan segala sesuatunya dengan terstruktur. Ia tidak mau lelucon kali ini gagal seperti kejadian tadi pagi.

Yuji mendekat ke arah Reiji dan menampar pipi adiknya itu begitu kejam. Terdengar bunyi 'plak!' keras diikutin tubuh Reiji yang terhuyung ke samping.

"Bang Yu! Apa-apaan sih? Kok malah Rei yang ditampar?!" bentak Reiji, tidak terima. Ia terus menggosok pipinya yang memerah karena tamparan abangnya.

Yuji hanya menampilkan senyum lebar tanpa dosa.

"Untuk keperluan lelucon, Rei. Katanya tadi harus bikin lelucon yang terencana dan terstruktur?"

"Lalu apa hubungannya dengan Rei, Abang? Abang masih nyalahin Rei karena terbunuhnya tupai kita, ya?"

"Bukan begitu, Rei. Rei harus nangis dulu biar lelucon kita terlihat begitu nyata. Jadi, Bang Yu nampar Rei biar Rei nangis. Begitu, Adikku." Saat berucap seperti ini, Yuji sambil menepuk-nepuk kepala adiknya.

Reiji merengut kesal. Ia menghempaskan tangan Yuji yang berada di kepalanya.

"Tapi nggak harus nampar Reiji juga, Bang Yu! Rei bisa nangis tanpa ditampar seperti itu tahu!" ketus Reiji.

Reiji mengambil ponselnya hanya untuk menonton drama yang ia suka. Beberapa detik setelah itu, Reiji langsung menangis sesenggukan karena karakter pria dalam drama itu tewas mengenaskan.

Yuji mengerutkan kening melihat tingkah adiknya itu.

"Cuma gitu doang? Kau nangis, Rei?" Yuji menggeleng sambil berdecak. "Ck! Ck! Ck! Hidupmu emang penuh drama, Rei."

***

Siji sedang berada di kamarnya saat ini. Sejak duo maut Yuji dan Reiji berbaikan tadi, Reiji kembali ke kamar Yuji. Di saat itu, Siji merasa jika dia hanyalah menjadi tempat pelarian kedua saudaranya, saat mereka berdua bertengkar.

Mungkin selamanya Siji akan menjadi orang lain di antara mereka bertiga, entahlah. Siji pun tidak tahu kenapa kedua saudaranya itu selalu saja mendiskriminasikan dirinya.

Brak!

Pintu kamar Siji dibuka paksa dari luar. Siji bahkan kini menekan dadanya karena jantungnya berdegup kencang, kaget.

Di ambang pintu, berdiri Yuji dan Reiji dengan ekspresi yang sangat aneh. Siji mengernyit melihat kedua adiknya itu terlihat berantakan. Rambut Yuji dan Reiji terlihat acak-acakan. Jejak air mata di pipi mereka juga masih dapat Siji lihat.

Siji bangkit dan berlari ke ambang pintu. Ia menangkup kedua pipi adiknya yang masih ada air matanya. Siji sebenarnya sangat menyayangi kedua adiknya itu, terlepas sikap mereka yang selalu kejam pada Siji.

"Kalian kenapa? Kok pada nangis?" tanya Siji. Ia menatap sendu ke arah kedua adiknya. Bahkan, isak tangis Reiji masih terdengar nyata.

Mereka berdua tidak langsung menjawab. Mereka malah memeluk Siji bersamaan.

Siji tentu saja bingung. Kedua adiknya itu tidak pernah bersikap begini sebelumnya.

"Ada apa, eum? Kalian menangis karena apa?" Siji mengulangi lagi pertanyaannya. Ia membiarkan Yuji dan Reiji menangis sesenggukan di kedua bahu Siji.

Siji menepuk punggung kedua adiknya itu, pelan.

"Baiklah, kalian tenangkan diri dulu! Kalau sudah tenang, kalian bisa cerita pada abang kalian ini," ucap Siji, lembut.

"Huweee ... papa dan mama mau cerai, Bang Siji!" Reiji berucap di tengah isak tangisnya.

Mata Siji langsung membola, tidak percaya.

Bersambung ....

avataravatar
Next chapter