6 Malam Sebelum April Mop (II)

Perlahan Yuji membuka pintu kamar mandi, di belakangnya sudah ada Reiji dengan pentungan kayu yang biasa untuk mukul maling. Ruangan masih tetap sama, gelap.

Duagh!

Diesh!

Jdagh!

Mereka memukuli sosok makhluk yang berada di kamar mandi, tanpa ampun, tanpa jeda.

Sesekali mereka juga akan menjambaki rambut makhluk tersebut. Ocehan-ocehan yang tak masuk akal, sama sekali tak dapat mempengaruhi mereka. Bisa-bisanya makhluk itu membuat mereka ketakutan. Benar-benar tak dapat dimaafkan.

Jeritan-jeritan kesakitan juga tak akan membuat mereka merasa iba. Ada kalanya mereka akan merasa ragu saat makhluk itu mengeluarkan suara yang begitu familiar. Namun, mereka tak akan terkecoh. Lama mereka menghajar makhluk tadi, hingga mereka rasa makhluk itu telah tumbang. Tak ada suara-suara aneh lagi, tak ada jeritan kesakitan juga.

Yuji meraba-raba sosok makhluk yang kini berada di kaki mereka.

Entah pingsan, entah mati.

"Rei, setannya kok pingsan?"

"Nggak mungkin, Bang. Palingan dia pura-pura dan ngelabuhin kita. Kalau kita lengah pasti nyerang kita balik," ucap Reiji meyakinkan.

"Eh tapi, masa' ada setan bisa disentuh, Rei?"

"Abang ini polos atau apa sih? Ya ada-lah setan yang bisa dipegang, Bang. Contohnya genderuwo, wewe gombel, de kaka."

"Oh iya juga ya, Rei."

"Jangan kasih kendor, Bang! Kita hajar saja lagi!"

Ketika mereka mengambil ancang-ancang untuk melakukan aksi mereka, tiba-tiba listrik menyala. Mereka terlonjak ketika tahu bahwa makhluk yang berada di kaki mereka bukanlah setan, melainkan manusia.

Ya, seorang laki-laki. Ia tidur telungkup. Wajahnya ditutupi sarung motif kotak-kotak warna biru. Tak jelas wajahnya, hanya terlihat kedua mata yang kini terpejam. Seperti dandanan maling klasik yang berjaya pada era-nya.

Reiji segera meloncat dan bersembunyi di balik tubuh Yuji.

"Bang, setannya kok bisa berubah jadi manusia?"

"Maling ini pasti, Rei. Fix!"

"Gak mungkin, Bang. Pasti setannya punya ilmu buat menjelma jadi manusia. Kan biasanya gitu kalau di film-film, Bang."

"Aelah kebanyakan nonton pilm lu, Rei." Yuji mengamati kembali makhluk tadi. Ia memincingkan mata, mencoba melihat lebih jelas wajah di balik sarung biru tersebut.

Yuji hendak mendekati makhluk tadi, tapi dihentikan oleh Reiji.

"Jangan, Bang! Nanti kalau dia tiba-tiba bangun dan balik nyerang, gimana?"

Yuji mengacak rambut adiknya. "Nggak usah khawatir, Rei! Abang lebih kuat dari maling itu kok."

"Dia setan, Bang. Bukan maling! Otak Bang Yu pasti udah dipengaruhin sama dia." Reiji tetap bersikeras.

"Iya, iya serah."

Yuji berjongkok di dekat makhluk tadi. Wajah makhluk tadi masih tertutup sarung, belum lagi poni yang menjuntai agak panjang. Sulit dideteksi.

Reiji ikut penasaran, ia mendekat lalu menendang perut lelaki tadi hingga terguling. Seperti ia masih dendam dengan makhluk yang ia sebut sebagai setan ini.

"Buka sarungnya, Bang!"

"Astaga, Rei! Nggak boleh kayak gitu. Biarpun dia maling ataupun setan, tapi kita harus menjaga privasi area vital-nya." Yuji berucap.

"Yaelah, Bang! Maksudnya sarung yang nutupin kepalanya, bukan sarung yang dia pakai. Abang ini kadang-kadang ogeb juga, ya?"

"Oooooo." Yuji hanya ber-oh ria.

Perlahan, Yuji menarik sarung yang menjadi penutup wajah lelaki tersebut.

"SIJI??!" teriak mereka serempak.

***

Siji terbangun dari tidur lelapnya. Rasanya sangat malas, bahkan hanya untuk membuka kelopak mata. Suara-suara jangkrik malam, malah membuat ia kesal. Ah, ternyata langit masih gelap. Masih pukul 4 pagi saat ini.

Siji meregangkan otot-otot lengannya. Entah kenapa, tubuhnya terasa tak nyaman sejak kemarin. Rasanya semua tubuhnya remuk, sakit dan nyeri di beberapa bagian. Sudut bibirnya perih, pipi dan hidungnya berkedut, sakit.

Siji menatap pantulan dirinya di cermin. Betapa terkejutnya ia saat melihat wajahnya babak belur. Belum lagi luka memar di lengan, tungkai, paha dan punggungnya. Apa-apaan ini? Siji tak mengingat apa pun. Semakin ia ingin mengingat, kepalanya semakin pusing.

Ckrieet!

Pintu kamar Siji terbuka. Di ambang pintu ada kedua saudaranya dengan nampan berisi makanan dan minuman.

Yuji meletakkan nampan di nakas sebelah kanan tempat tidur Siji.

Reiji memberikan susu hangat kepada Siji. "Minum dulu, Ji!"

Awalnya Siji merasa curiga, pasti ada udang di balik batu. Jarang sekali duo maut baik padanya selama ini.

"Tumben kalian baik?" ucap Siji. Ia sambil meneguk susu hangat yang diberikan Reiji.

Mereka hanya diam. Yuji akan mengaduk bubur ayam ingin ia berikan ke Siji.

"Gak usah diaduk, Bang Yu! Itu menjijikkan! Cuma psikopat yang makan bubur ayam diaduk dulu! Biarkan ayamnya di atas aja," sela Reiji.

Yuji tak menggubrisnya, ia tetap mengaduk bubuk ayam tersebut.

"Bang Yu! Rei bilang jangan!"

"Diam, Rei!!" Sejenak pandangan Yuji mengarah ke Siji. "Ji, lu ada di tim makan bubur ayam di aduk dulu atau langsung makan, hah?" bentak Yuji

Nah, di saat-saat seperti ini nih yang membuat Siji ogah berada di antara mereka. Ketika Yuji dan Reiji berselisih paham, selalu saja pertanyaannya, "Lu di pihak siapa, Ji?" Dan ini juga yang selama ini membuat Siji dilema.

Siji mencoba menjadi bijaksana.

"Mau buburnya diaduk apa nggak, kalau kalian yang ngasih pasti gua makan kok."

"Itu bukan jawaban yang kami inginkan, Ji!" bentak Reiji.

Siji memilih diam saja, daripada makin ricuh. Siji mencoba mencari topik pembahasan lain.

"Oh iya, kalian tau gak kenapa wajah gua bisa babak belur kek gini?"

Reiji dan Yuji saling bertukar pandang. Detik berikutnya sudut kanan bibir mereka terangkat, menyeringai seksi.

Reiji naik ke ranjang Siji. Ia kini duduk di sebelahnya. Hari ini masih subuh.

"Jadi, kamu enggak ingat apa pun tentang kejadian tadi malam, Ji?" tanya Reiji, lembut.

"Emang tadi ada apa? Yang gua inget, tadi abis gua beli gorengan terus gua kebelet pup. Gua masih pake' sarung yang buat dijadiin masker, soalnya gua lupa enggak bawa masker pas keluar rumah. Nah, sialnya baru juga jongkok eh mati lampu. Mager banget mau keluar nyari senter. Terus sialnya lagi, gua keselek biji lombok...."

"Lu makan di wc, Ji? Jijik banget, Ogeb," sela Yuji.

"Belum selesai. Itu tadi kayaknya biji lomboknya nyangkut di tenggorokan gua, nah gua kumur-kumur air di tenggorokan gitu. Terus... ada suara orang yang mendekat. Kayak suara...."

"Nah, itu malingnya, Ji!" sela Reiji.

"Iya, Ji. Lu tadi digebukin sama maling tau. Untung aja malingnya nggak sampai bunuh lu." Yuji bercerita, begitu serius.

"Eh? Yang bener aja? Kok kurang kerjaan amat si maling gebukin orang boker."

"Kami tidak tahu motifnya apa, tapi kami semua menemukan kamu tadi sudah tidak sadarkan diri di kamar kecil, Ji. Papa yang gendong kamu ke kamar." Reiji bercerita.

"Masa' sih? Kok gua enggak inget? Terus kalian di mana semalem pas ada maling? Kalian nggak diapa-apain kan sama malingnya?"

Yuji menggeleng. "Untung aja kami ngunci kamar semalem, jadi malingnya nggak sampe' nyerang kami juga."

"Huuft, syukurlah! Kalau kalian enggak apa-apa. Kayaknya Papa kudu memperketat pengamanan di rumah kita deh."

Yuji dan Reiji mengangguk bersamaan. Mereka tersenyum ramah dan berniat akan berbuat baik pada Siji seharian ini. Tapi, nyatanya itu hanya berakhir wacana. Yuji dan Reiji sama sekali tidak akan membiarkan Siji hidup tenang. Apalagi hari ini adalah April Mop, bukan?

Bersambung ....

avataravatar
Next chapter