webnovel

Suara Darsimah

Zuki duduk di depan Angga dan memandang Angga masih menatap dia lekat. Zuki berdecih melihat Angga memandangnya. Angga menarik nafas panjang dan membuangnya.

"Bukannya kau mau mengatakan sesuatu? Tapi, kenapa kau diam saja? Jika tidak ada yang ingin kau katakan, aku minta pergi saja. Aku sudah pusing, jangan tambah pusing lagi," kesal Angga yang melihat Zuki yang tidak juga membuka suaranya.

"Ok-ok, aku katakan padamu. Aku di dalam ruangan mendengar suara wanita, aku merinding Ngga, aku takut. Makanya aku ke sini. Di ruanganku tidak ada orang, aku memanggil tapi tidak ada Ngga, aku takut ketempelan dan kau tahu kan kita baru dari hutan dan baru mengurus kasus pembunuhan yang sadis itu," ucap Zuki.

Angga yang mendengar penjelasan dari Zuki mengangga, apa dia tidak salah dengar pikirnya. Suara wanita? Tapi siapa? Apa itu suara korban wanita itu pikirnya?

"Kau yakin itu suara wanita? Dan kau yakin orangnya tidak ada di sana? Bisa saja itu Nena, si polwan barbar itu. Dia kan jahil orangnya," kata Angga yang memastikan apa yang didengar oleh Zuki.

Zuki mengelengkan kepalanya, dia yakin kalau itu benar suara wanita bukan suara Nena, mana mungkin dia salah dengar dan berbohong. Angga dan Zuki diam sesaat, tidak ada yang berbicara sama sekali. Hanya keheningan saja yang terasa. Angga tertunduk dan melihat berkas dan foto Darsimah. Angga melihat dengan lekat dan serius. Tiba-tiba foto tadi tersenyum ke arahnya. Angga yang melihatnya melempar ke arah Zuki dan memekik kencang. Zuki yang dilempar berkas yang ada foto Darsimah juga ikutan menjerit.

"AAAAAA!" jerit keduanya dengan kencang.

Muka pucat dan nafas ngos-ngosan terdengar jelas. Nena yang masuk diam-diam mengebrak meja Angga. Angga dan Zuki keduanya yang tertunduk kaget karena kehadiran Nena yang sengaja mengebrak meja. Alhasil, keduanya terkejut dan terjengkang ke belakang. Keduanya jatuh bersamaan dengan kursi yang ikut menimpa mereka.

Gubrakkk!

Angga dan Zuki meringis kesakitan. Keduanya mengumpat keras, karena kelakuan Nena. Nena menutup mulutnya, dia tidak menyangka jika kedua atasannya sekaligus temannya itu terjengkang. Keduanya bangun tertatih dan duduk kembali sambil menatap tajam ke arah Nena.

"Kalian sudah tahu siapa pembunuhnya?" tanya Nena dengan wajah polosnya.

"TIDAK!" sahut keduanya.

Nena hanya beroo ria saja mendengar apa yang dikatakan keduanya. Nena duduk di sebelah Zuki dan melihat berkas berserakkan di lantai. Nena mengambil berkas dan ada foto korban. Cantik! Satu kata itu yang dia bisa ucapkan.

Ning nang ning nung! Suara bergema di ruangan Angga. Angga dan Zuki juga Nena terdiam. Ketiganya saling pandang satu sama lain. Tidak ada yang bersuara sama sekali. Hanya senyum kecut dan pucat pasi yang diterlihat di wajah ketiganya.

"Kalian dengar tidak? Jangan katakan ini hanya halusinasiku saja. Aku mendengar suara gamelan. Dan kalian tahu, jika suara itu terdengar maka akan ada itu ...." Nena menghentikan suaranya.

Doa terus mereka ucapkan dalam hati, tidak ada yang menoleh atau duduk tegak, masing-masing menunduk dan memejamkan mata. Ketiganya makin gemetar, kala suara gemericing gelang kaki berhenti di sebelah mereka.

Zuki tertunduk menutup kupingnya. Dan Angga jangan ditanya lagi, suara Darsimah terdengar jelas di telinganya. Suara gelang kaki Darsimah terdengar mendekati mereka. Ketiganya makin ketakutan dan menutup matanya.

"Tamat riwayat kau Zuki, dia berhenti di sebelah kau," cicit Nena pelan di telinga Zuki.

Zuki yang mendengar suara bisikkan Nena makin tidak karuan. Keringat bercucuran kencang. Dia juga sudah ingin pingsan, tapi jika dia pingsan akan malu sama baju kebanggaannya. Mana ada polisi pingsan pikirnya.

Brakkk!

Satu gebrakan meja terdengar jelas. Angga kaget dan untuk kedua kalinya dia jatuh. Komandan yang tidak ada harga dirinya ya hanya dia dan jangan tanyakan Zuki, dia pingsan seketika. Dia tidak peduli dengan baju yang dia banggakan.

Gubrakkk!

Nena yang di sebelah Zuki kaget, Zuki sudah tergeletak. Seseorang pria yang berdiri tegak di depan meja ketiganya menepuk keningnya. Bisanya mereka jatuh dan pingan. Nena melihat kedatangan Komandannya berdiri dengan gagah. Nena bangun dan memberikan hormat pada komandannya.

"Siap, Komandan." Nena mengangkat tangannya dan meletakkan di kening memberikan hormat.

Komandan menganggukkan kepalanya dan tersenyum kecil. Angga yang jatuh segera bangun dengan menumpu tangannya di meja kerjanya. Perlahan dia bangun dan memberikan hormat juga. Komandan yang datang mengangguk pelan ke arah Angga.

"Bangunkan dia cepat, kalian kenapa tertunduk di meja. Berjamaah lagi, apa kalian tidur berjamaah atau apa?" tanya Komandan dengan suara baritonya.

"Itu, kami dengar suara Darsimah Komandan. Itu korban yang meninggal di hutan pinus di desa Kemuning. Perbatasan jembatan kecil itu Komandan. Jadi, kami takut Komandan." Nena menjelaskan apa yang terjadi di ruangan itu.

"Polisi takut? Jadi, bagaimana dengan masyarakat jika kalian takut. Mana ada suara korban di sini. Kalian ini kebanyakan nonton drama horor. Mana laporan tadi, apa sudah selesai belum?" tanya Komandan dengan suara datar.

"Pak, polisi juga manusia. Lumrah jika takut, bapak saja takut jika mendengarnya, jangan kan suara Darsimah, suara istri bapak saja kedengaran, bapak juga takut kan?" tanya Nena sekenaknya.

Angga tersenyum kecil, dia tahu kalau Komandannya ini takut istri. Angga menduduki Zuki di kursi. Angga membiarkan Zuki pingsan dan bisa jadi dia tidur. Akalan Zuki luar biasa pikir Angga yang ingin memukul Zuki.

"Pak, laporannya itu di meja. Dan kami belum bisa menemukan pelakunya. Ini pembunuhan sadis dan tidak manusiawi." Angga menjelaskan apa yang dia lihat di lokasi.

"Kejam sekali Komandan, saya saja yang lihat fotonya merinding. Ini benar-benar psikopat. Dan kami belum ke rumah sakit untuk melihat otopsi." Nena menjelaskan lagi ke Komandan.

"Pergi ke rumah sakit, kalian yang harus mengawal kasus ini. Siapa yang di rumah sakit sekarang?" tanya Komandan lagi.

"Anak buah saya Komandan. Saya akan ke sana, setelah makan siang nanti. Karena, kalau ke sana sekarang saya masih merinding," kata Angga.

Komandan memijit keningnya. Bagaimana masyarakat mau percaya pada mereka. Angga tahu jika dia salah ucap, Nena hanya diam saja tanpa banyak bicara. Tidak berapa lama, dengar suara kentut siapa lagi kalau bukan Zuki. Zuki mengeluarkan kentut yang membuat hidung ketiganya menciut, Komandan mengumpat karena mencium aroma tidak sedap.

"Anak kurang ajar, bisanya pingsan di bumbui kentut. Bangunkan dia Nena, kurang asam benar," ucap Komandan yang sudah mual mencium kentut Zuki.

Nena membangunkan Zuki dengan menyiram Zuki dengan air minum. Zuki bangun dan kelelep karena air membasahi wajahnya. Mereka melihat ke arah Nena dan mendengus kesal. Zuki melihat Komandan di depannya, senyum kecut dia perlihatkan.

"Pergi sekarang juga ke rumah sakit. Dan cari tahu segera siapa pembunuhnya, jika tidak kalian akan saya kirim ke perbatasan yang sedang berkonflik." Ancam Komandan Ferdi.

Angga dan Nena bangun segera, Zuki yang masih rada setengah sadar harus terseret mengikuti Zuki dan Nena. Dia hanya bisa mengelus dadanya. Udah wajahnya basah sekarang di seret. Ketiganya keluar dan langsung masuk ke dalam mobil.

"Nena, kau yakin mau ikut?" tanya Angga.

"Apa menurutmu aku punya pilihan? Jika tidak, maka diam lah. Harusnya aku tidak ke ruanganmu Ngga. Aku menghindari ini juga, eh aku ikutan juga," kesal Nena.

"Makanya, tadi pagi jangan pura-pura sakit kamu, sekarang ikut juga kan," sindir Zuki.

Ketiganya langsung tancap gas. Satu jam perjalanan menuju rumah sakit polisi. Sampai di sana ketiganya turun dan menuju ruang otopsi. Sampai di sana anak buah Angga menghampiri mereka. Mereka memberikan hormat pada Angga dan keduanya atasan mereka.

"Lapor pak, kami belum melakukan otopsi, jasad wanita itu tidak bisa diotopsi oleh dokter Komandan," jawab anak buah Angga.

Angga, Nena dan Zuki mengangga mendengar pengakuan dari anak buah yang berjaga di rumah sakit. Ketiganya tidak percaya sama sekali. Mana ada jasad korban tidak bisa di otopsi.

"Kalian sudah ke rumah orang tua korban belum? Jika belum, maka kalian harus ke sana. Dan bawa orang tuanya ke sini, kita akan minta orang tuanya mengikhlaskannya, jika tidak kita akan kesulitan," kata Angga lagi.

"Baik Komandan. Saya akan ke sana bersama tim. Saya permisi dulu," jawab anak buah Angga.

Angga mengangguk pelan, ketiganya duduk di bangku sambil menunggu kedatangan orang tua Darsimah. Angga masih saja mendengar suara Darsimah yang lembut. Bulu kuduk Angga berdiri dengan sendirinya.

Yuk singgah dan simpan di rak kalian ya Mauliate Godang.

Next chapter