7 Yuuhi wo Miteiruka? (Apakah Kau Melihat Langit Mentari Senja?) by Hanifah Nofel Argubie

Di atap asrama sekolah, seorang perempuan berambut hitam sebahu duduk melamun memeluk erat kedua lututnya. Matanya menengadah ke atas menikmati keindahan langit mentari senja yang kini sedikit demi sedikit tenggelam tergantikan oleh titik garis yang berbentuk bintang sebagai pertanda siang akan mulai berganti malam dan hari ini pun akan segera berakhir.

Seketika, terpantulkan sosok bayangan pada permukaan bola matanya. Sosok perempuan cantik berparas oriental dengan pipi chubby menggemaskan tersenyum dari atas sana (Awan.red). 'Kamu masih cantik dengan senyuman itu, Ve' gumamnya dalam hati. 'Andai, insiden itu tak terjadi. Mungkin saat ini kamu ada di sampingku. Menikmati keindahan yang Tuhan ciptakan' Sesalnya kemudian.

Otaknya pun bekerja melintasi kejadian tiga tahun silam. Masih sangat teringat jelas kejadian itu. Ve melindungi dirinya dan rela bertukar nyawa dengannya. "Ve, aku kangen kamu. Aku kangen perhatianmu, aku kangen dengan Ve yang menyebalkan, dan aku juga kangen ocehanmu yang bisa membuat seorang Kinal naik darah" teriak perempuan yang memanggil dirinya sendiri Kinal.

'Tap....tap...tap' terdengar suara langkah kaki seseorang mendekati Kinal dari arah belakang. 'hap' seseorang itu menutup kedua mata Kinal dengan tangannya. Kinal meraba tangan seseorang itu. Sepertinya tangan itu tak asing untuk ia pegang. Perlahan dia menyingkirkannya, dan menoleh ke arah belakang. 'Hah. Kamu?' Kinal sangat terkejut dengan apa yang ia lihat kini. Kinal mengucek-ucek kedua matanya dan menepuk-nepuk kedua pipinya. Berasa seperti mimpi. 'Inikah keajaiban Tuhan?' sebuah pertanyaan muncul dibenaknya. Sangat jelas Kinal mampu melihatnya, bahkan menyentuhnya.

Mereka terdiam sejenak, kemudian Dia menatap lekat kedua mata Kinal. Seperti ada cahaya lorong waktu dalam matanya. Kinal terhipnotis. Dia terbawa arus lorong itu, menerobos lintasan waktu mencoba mengingatkan kenangan indah yang singkat itu.

***

Hari ini, adalah hari pertama Kinal mengenakan putih abu-abu. Namun, dia masih tertidur lelap di atas ranjangnya, masih menikmati dunia imajinasinya, bergelut dengan sebuah guling yang ia peluk dengan sangat erat dan dengan indah ia melukiskan sebuah pulau misterius di atas bantalnya.

"Kinal. Ayo Bangun...!!" Teriak seorang tiba-tiba sembari mengguncang-guncangkan tubuh Kinal.

"Ehhmm. Apaan sich, Ve? Aku masih ngantuk" Jawab Kinal cuek.

"Udah jam enam lebih, Kinal. Kamu mau kita terlambat sekolah?"

"Berangkat tinggal berangkat, ngapain harus nungguin aku sih? Aku bolos hari ini" ucap Kinal terkesan jutek terhadap Ve, teman sekamarnya itu dan tanpa dosa Kinal meneruskan aktivitas tidurnya.

"Bolos? Ya Tuhan, mau jadi apa generasi bangsa kita ini kalau semua remajanya kayak kamu? MALES. Mungkin sepuluh tahun mendatang, kamu akan menjadi salah satu dari dua juta orang pengangguran di Indonesia. Dan saat itu pula, aku malu punya temen kayak kamu". Sindir Ve berharap Kinal sadar agar ia tidak bolos sekolah.

Tak di sangka Kinal terpancing emosinya. Dia tak terima dengan sindiran Ve yang terdengar sangat pedas di telinganya. Dia bangun dan ingin cepat-cepat melabrak Ve yang menurutnya tidak bisa menyaring ocehannya.

"Jaga bicara kamu. Aku ga akan menjadi seseorang yang gagal. Dunia akan berada dalam genggamanku, dan kamu yang akan aku usir dari dunia ini" Emosi Kinal meledak.

"Oh, Ya? Coba aja kalau kamu bisa." Ucap Ve yang diiringi senyuman khasnya yang tertangkap oleh Kinal sedang meremehkan dia.

***

"Kinal, Cepetan...!!!" kembali teriakan Ve menggema di tiap sudut kamar ini. Benar-benar sangat memekakan telinga Kinal.

"Bentar napa? Aku lagi beribet pake dasi nie"

Selama ini memang Kinal tak pernah menggunakan dasi sendiri. Dengan alasan susah lah, ribet lah, akhirnya Mama yang selalu mengalah membantu Kinal untuk mengenakannya.

Tiba-tiba Ve menghampiri Kinal, lalu menertawainya. "Haha. Dasar anak Mami. Pake dasi aja ga bisa. Bisanya apa kamu? Sini aku bantu"

"Ga usah. Aku ga butuh bantuan kamu..!!" Tolak Kinal gengsi.

"Kalau kita ga terlambat, aku ga akan bantuin kamu kok, Nal" ucap Ve tak mau kalah, kemudian langsung melingkarkan dasi ke kerah baju Kinal. Dengan telaten, dia melipat-lipatkannya hingga membentuk dasi yang rapi. Kinal hanya pasrah memperhatikannya. 'kemana sifat menyebalkannya tadi?'

"Yeah. Selesai. Sarapan gih. Aku udah siapin nasi goreng di atas meja belajar kamu" Ucap Ve kembali menaruh perhatiannya pada Kinal. Sungguh ini membuat Kinal bingung memikirkan pertanyaannya tadi. 'Inikah kepribadian dia sebenarnya? Atau emang dia punya dua kepribadian?'

"Kinal, Ayo. 20 menit lagi gerbang di tutup" teriak Ve menyadarkan lamunan Kinal yang langsung bergegas untuk sarapan.

***

Asrama dengan sekolah memang tidak dalam satu gedung. Butuh waktu 10 menit untuk berjalan ke sekolah. Selama perjalanan, Ve mengoceh tak jelas. Dia terus menyalahkan Kinal atas keterlambatannya hari ini. Kinal yang susah dibangunkan. Kinal yang mandinya lelet dan Kinal yang sarapannya lama. Hal ini membuat Kinal tersadar bahwa teman sekamarnya itu telah kembali ke kepribadiannya yang awal 'Menyebalkan'. Kinal muak dan tidak kuat dengan ocehannya. Daripada beradu argumen seperti tadi pagi yang berujung remehan Ve padanya, Kinal memutuskan untuk lari meninggalkannya. Anehnya, Ve tak tinggal diam. Dia malah berlari mengejar Kinal. Saking cepatnya Kinal berlari, tiba-tiba dia menabrak seseorang seniornya dan menumpahkan minuman tepat di bajunya. Kinal yang notabene adalah orang yang cuek, menganggap kejadian itu biasa saja. Dia tidak minta maaf, malah cepat-cepat berlari untuk menjauhkan dirinya pada Ve. Dia tak ingin jika di kelas harus duduk sebangku dengan Ve.

"Sial..!! Siapa sih dia?" ucap Rica sambil membersihkan bekas tumpahan di bajunya.

"Bukannya dia Kinal yah? Adik kelas kita waktu SMP yang sempat mengalahkan loe di pertandingan Final Taekwondo" Terka Ghaida, salah seorang teman Rica.

Kekalahan itu sangat memalukkan bagi Rica. Seorang kakak kelas bisa dengan mudahnya di kalahkan oleh adik kelasnya sendiri.

"Iya kah?" Tanya Rica dengan tatapan yang masih ia tujukan pada Kinal yang sudah jauh dari pandangannya. Mata yang menyiratkan dendam diselubungi oleh emosi yang membuat Rica ingin memberikan sebuah pelajaran pada Kinal. "Kita harus buat dia bertekuk lutut dan bersujud meminta maaf ke gue" ucap Rica pada teman-teman se-Gengnya.

***

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Ve melihat kejadian itu. "Waduh, sepertinya Kinal akan mendapat masalah besar. Aku harus gimana? Ayo, Ve. Berpikir. Kasihan Kinal"

Tanpa berpikir lebih panjang lagi, Ve memberanikan diri untuk mendekati keempat seniornya itu.

"Kak, maafin temen aku tadi. Dia lari karena aku mengejarnya. Jadi, kalau dia menabrak kakak tadi, itu salahku. Bukan salah dia. Please, maafin kita" ucap Ve membungkukan badannya.

Rica mengalihkan pandangannya pada adik kelas yang tiba-tiba datang menghapirinya, meminta maaf untuk Kinal. Makin membuatnya emosi.

"Oh. Loe temannya Kinal?" tanya Rica dengan pandangan yang tak mengenakan.

Ve membenarkan posisi berdirinya agar dapat sejajar dengan keempat seniornya itu. Tak disangka Rica malah mendorong bahu Ve.

'Bug' punggung Ve mentok menempel dinding.

"Ma...maafin kita, kak" Jawab Ve menunduk ketakutan. Menatap mata seniornya pun ia tak berani. Ve memang bukan sosok pemberani seperti ucapannya yang terkesan selalu berani. Meski begitu, tekadnya begitu kuat untuk melindungi orang-orang yang ada di dekatnya, bahkan jikalau ia yang akan celaka ia akan lakukan itu demi mereka.

"Sampaikan ke dia, sepulang sekolah nanti temuin gue" Perintah Rica yang membuat Ve makin ketakutan.

"Ingat. Kalau loe ga nyampein ini, loe yang akan berhadapan dengan kita" Bisik Sendy ditelinga Ve dengan nada mengancam. Diakhiri dengan pukulan tangannya di perut Ve, membuat Ve mengerung kesakitan.

***

Ve menjadi orang terakhir yang masuk ke dalam kelas. Dia terlihat berjalan lunglai sembari memegangi perutnya yang terasa sakit akibat pukulan tadi. Ve melihat sekeliling kelasnya tak ada bangku kosong. Hanya satu di sebelah Kinal. Ve enggan-engganan duduk di samping Kinal. Andai ada bangku kosong, mungkin Ve memilih untuk duduk dengan teman lain. Bukannya dia marah pada Kinal, karena insiden tadi. Tapi, dia makin tak tau harus berbuat apa, menyampaikan pesan senior pada Kinal atau menyembunyikannya.

Ve duduk tanpa menoleh sedikitpun pada Kinal. Dia membuka tasnya, mengambil sebuah novel dan kemudian membacanya. Kinal merasa keberadaannya diacuhkan oleh Ve. Kinal pun membuka suara. "Hah. Mau aku berlari secepat apapun buat menghindari agar aku ga sebangku sama kamu, kayaknya percuma. Tuhan sudah menuliskan dalam buku takdir-NYA agar kamu selalu dengan aku. Nasib nasib. Se-kamar sama kamu, sekarang sebangku sama kamu. Gimana hari-hari aku tiga tahun nanti, ya Tuhan? Harus barengan mulu dengan orang yang nyebelin kayak kamu" keluh Kinal sambil melirikkan matanya ke arah Ve yang tak memberi tanggapan.

Matanya masih fokus terhadap apa yang ia baca. Meskipun begitu telinga Ve masih normal untuk mendengar keluhan Kinal. Dalam otaknya kini tak ada ruang untuk menyerang ucapan Kinal, semua dipenuhi dengan bagaimana caranya agar Kinal dapat selamat dari para senior yang dendam terhadapnya.

Kinal merasa ada keanehan pada diri Ve. Sorot matanya memang terpaku ke arah novel terlihat seperti membaca, padahal tidak. Kinal menerka pasti ada sesuatu yang terjadi padanya pagi tadi. 'Apa dia sedang sakit?' Pikir Kinal. Gerakan-gerakan yang Ve tunjukan seperti tiba-tiba menggigit pena, mengusap-usap punuknya dan sesekali memegangi kepalanya itu mengisyaratkan kalau dia seperti orang yang sedang gelisah 'Atau dia ada masalah?' pertanyaan kedua pun muncul dalam benak Kinal. 'Ah. Ngapain juga aku mikirin dia. Dia juga belum tentu mikirin aku' elak batinnya.

***

Bel sekolah pun berdering pertanda sekolah telah usai. Wajah Ve makin menampakan kegelisahannya. Dia kembali teringat ancaman seniornya.

'Bilang. Ga. Bilang. Ga. Bilang. Ga. Okeh, Ga. Okeh. Aku akan mencoba melindungi dia semampu aku' dalam batin Ve telah menetukan pilihannya. Entah pilihan itu benar atau tidak. Sepertinya Ve telah memikirkan masak-masak pilihannya seharian ini, termasuk konsekuensi yang ia dapat kalau dia bakal jadi korban seniornya.

Kinal makin risih melihat gelagat Ve ini. Kinal yang cuek, kini menjadi sedikit mengkhawatirkan Ve. "Kamu kenapa? Sakit?" Tanyanya pada Ve yang masih memberaskan alat tulisnya yang berserakan di atas meja.

"Aku ga kenapa-kenapa kok, Nal. Yuk, kita pulang" jawabnya disertai dengan senyuman. Pintar sekali Ve menutupi apa yang dia rasa dengan senyumnya. Senyum 'terpaksa' yang ia pertontonkan agar Kinal tak mengkhawatirkannya. Namun Kinal lebih pintar, meski dia cuek namun dia peka terhadap perasaan orang.

***

Baru selangkah mereka meninggalkan ruang kelas, Ve melihat Rica CS bergerombol menghadang jalan yang mereka lalui pagi tadi. 'Aduh. Jangan sampai mereka melihat Kinal. Bisa bahaya ini' Otak Ve mulai berpikir mencari cara untuk melarikan Kinal.

"Woy, ngapain masih bengong di sini, Ve?" tanya Kinal menepuk pundak Ve, membuyarkan lamunannya.

"Ah, Nal. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat yang indah banget. Yuk..!!" Tanpa aba-aba Ve menggendeng tangan Kinal, mengajaknya berjalan berlawanan arah dengan jalan yang telah dihadang Rica CS.

"Mau kemana sich, Ve?" Kinal masih mencoba memberontak agar Ve melepaskan gandengannya.

"Udah, kamu ikut ajah" genggaman tangannya makin erat yang membuat Kinal pasrah mau di bawa kemana.

***

Sesampainya di tempat yang di maksud Ve, Kinal tidak menemukan sesuatu yang indah. 'Hah. Di atap Asrama? Apa indahnya?'

Kinal bergegas untuk pulang. Namun lagi-lagi tangannya tertahan oleh genggaman tangan Ve.

"Yuk kita duduk di sana" ajaknya kembali menunjuk tempat strategis untuk memandangi langit senja. Lagi-lagi

Kinal hanya pasrah, mengikutinya saja.

Mereka duduk bersebelahan. Ve memandang langit dengan rasa kekaguman yang luar biasa, nampak sekali dari wajahnya. Sementara itu, Kinal malah memandangi wajah Ve yang nampak lebih tenang daripada sewaktu di sekolah tadi.

"Aku punya hobby memandangi langit. Warnanya yang putih dipadupadankan dengan biru selalu bisa menenangkan hati aku" Ve membuka suara di keheningan yang mereka ciptakan sedari tadi. Dia tak sadar kalau ucapannya menyiratkan bahwa saat ini dia dalam keadaan yang tidak tenang. Dan Kinal mampu menangkap maksud tersirat itu.

"Kamu beneran ga kenapa-napa?" Kinal benar-benar ingin tau.

"Aku ga kenapa-kenapa kok. Suer deh" jawab Ve menunjukan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf "v" mencoba meyakinkan Kinal.

"Eh, iya Nal. Apa arti bahagia menurut kamu?" tanya Ve mengalihkan pembicaraan Kinal.

"Aku ga tau bahagia itu apa" jawab Kinal sekenanya.

"Heh?" Ve menoleh ke arah Kinal, memasang wajah cengonya. Berbeda dengannya, tatapan Kinal masih tetap lurus ke depan.

"Semenjak Mama jadi single parents, dia menjadi orang yang super sibuk. Saking sibuknya, dia ga dateng ke pertandingan yang sangat penting buat aku. Padahal saat itu aku butuh supportnya. Aku ingin membuat dia bangga ke aku. Ah. Tapi kayaknya, dia udah ga perhatian lagi ke aku, Ve. Aku kesepian. Ini yang membuat aku memutuskan untuk tinggal di asrama ini. Meskipun ga ada dia, tapi setidaknya aku akan memiliki banyak teman dan aku ga akan pernah merasa kesepian lagi" Tak sadar bulir air mata jatuh membasahi pipi mulus Kinal.

Mungkin ini pertama kalinya dalam sejarah hidup Kinal mencurahkan perasaannya kepada seseorang. Ve merangkul bahu Kinal. Sepertinya dia dapat merasakan apa yang Kinal rasakan. Ve mencoba menenangkannya.

"Kamu liat matahari di atas sana?" tanyanya sambil mengarahkan telunjuknya ke arah sang surya yang hampir tenggelam. "Dia juga sendiri kayak kamu, Dia juga kesepian. Ga ada seseorang pun yang menemaninya. Tapi dia tetap bersinar. Kilaunya memberi kehidupan untuk makhluk lainnya. Jadi, meskipun kita sendiri, ga ada satu pun orang yang sejalan dengan kita, ga ada seorang pun yang mensupport kita, kita harus tetap fokus pada tujuan kita. Jika tujuan kamu adalah membuat bangga Mama kamu, meskipun dia ga pernah mensupport kamu, kamu harus tetap berusaha. Buktikan kalau kamu emang pantas buat dia banggakan"

Mendengar ucapan Ve, senyum mengembang di bibir Kinal. Dia merasa tidak salah mencurahkan perasaannya pada Ve.

"Kalau menurut kamu, bahagia itu apa?" Kinal berbalik tanya.

"Aku bahagia melihat orang tersenyum karena aku. Kayak liat kamu sekarang ini, aku sangat bahagia"

"Dih..Modus banget"

"Ga percaya ya udah. Prinsip aku cuma satu, bersyukur pada Tuhan maka kebahagian akan datang dengan sendirinya kita"

"Iya deh iya, percaya aja urang mah ama Dedy Ve yang dari tadi ngeluarin kata-kata mutiaranya" Ejek Kinal bergurau mengeluarkan logat Sundanya.

"Jiah. Aku cewek Kinal. Masak iya dipanggil 'Dedy'? Mama Veranda. Itu lebih cocok buat aku" Sanggah Ve.

"Ah iya. Pantes aja wajah kamu tua, Ve" Ejek Kinal lagi.

"Aku bukannya tua, tapi dewasa. Dibandingkan kamu, aku lebih cantik lagi" Ve balik mengejek.

"Parah...parah. Ngejeknya" Kinal cemberut.

"Ih..Kinal. Marah ya? Makin jelek tau" Ve menggelitiki pinggang Kinal.

Mereka menjadi saling bergurau dan terlihat makin akrab. Namun tiba-tiba... 'Brakkkkk' seseorang menendang balok kayu, sehingga terpecah menjadi beberapa bagian. Kinal dan Ve kaget, 'siapa yang melakukan itu?'. Mereka menoleh bebarengan, di hadapannya sudah berjejer empat seniornya.

"Gue cari-cari ternyata kalian disini?" ujar Rica.

Kinal tak asing dengan sosok yang berbicara itu. "Kak Rica?" tebaknya.

"Loe masih ingat gue, Nal?" jawab Rica berbalik tanya.

"Yang harusnya kalian hadapi itu aku, bukannya Kinal" Ve tak memberi kesempatan Kinal untuk menjawab pertanyaan Rica yang terkesan basa-basi itu.

"Ve?" Kinal bingung berani sekali Ve berbicara seperti itu. 'ada masalah apa di antara mereka' pikirnya.

Seketika, Ve bersujud di hadapan Rica CS, "Aku minta maaf atas nama Kinal" ucapnya membuat Kinal makin bingung apa yang telah diperbuatnya kepada ke-empat seniornya? Sampai-sampai Ve harus minta maaf atas nama dia? Tiba-tiba, Kinal teringat kejadian pagi tadi. 'Jangan-jangan? Jadi, Seharian ini? Dia mencoba melindungi aku' Kinal membungkam mulutnya.

Rica membangunkan Ve yang sedari tadi bersujud agar berdiri sejajar dengannya. "Gue ga butuh permintaan maaf loe, Bodoh. tapi permintaan maaf dari temen loe itu...!!!".

'Bug' Rica memukul perut Ve sampai dia terlempar kebelakang dan terbatuk-batuk. Kinal tak terima melihat Ve diperlakukan seperti itu. Dengan sigap dia langsung menyerang Rica. 'Bug. Bug. Bug.' Tiga pukulan beruntun berhasil dilayangkan Kinal untuk melemahkan Rica. Rica yang tak bisa membalasnya meminta agar teman se-gengnya membantunya.

"Woy, kalian ngapain bengong..!! Hajar dia..!!"

Mereka pun ikut menyerang Kinal. Namun itu tak menjadi masalah buat Kinal, sang juara Taekwondo. Tak butuh waktu lama, ia mampu melumpuhkan ketiganya. Di liriknya, Rica yang masih menyeka darah di sudut bibirnya. Kinal kembali menghajarnya. "Ini pelajaran buat orang yang sudah nyakitin sahabat, aku".

'Bug' tanpa ampun Kinal menghajarnya. Ghaida yang masih bisa bangkit, mengambil patahan balok kayu dengan ujung runcing. Dari arah belakang Kinal, Ghaida tengah siap melayangkan pukulan patahan itu tepat di kepala Kinal. Ve melihatnya. Dengan cekatan ia lari untuk melindungi Kinal. Alhasil, kepala Ve-lah yang terpukul oleh patahan balok kayu itu. Darah segar pun mengalir dari pelipisnya. Rica CS yang melihat Ve berbasuh darah, mereka segera berlari. Ada ketakutan kalau-kalau mereka tertangkap sebagai tersangka dalam kasus penganiayaan Ve. Ini akan sangat fatal buat masa depan keempatnya jika mereka harus merasakan kehidupan dalam jeruji besi.

Ve sudah tak sadarkan diri. Kinal mencoba menepuk-nepuk wajahnya. Sedikit ada harapan manakala mata Ve sedikit terbuka. Sayup-sayup pandangan Ve melihat Kinal yang menopang tubuhnya serta menangisi dirinya. "Kinal" panggilnya seraya tersenyum. Namun hal tersebut tak berlangsung lama, karena detik selanjutnya mata Ve kembali terpejam karena jiwanya telah terpisah dari raganya.

***

"Kamu ingat kejadian itu?" tanya seseorang yang telah mengembalikan Kinal menelusuri lorong waktu itu.

'Hmmm' Kinal hanya bisa menganggukkan kepalanya.

"Aku sebenarnya ga ingin mengingat itu lagi. Aku yang seharusnya mati bukan kamu" Kinal masih saja menyalahkan dirinya atas insiden itu.

'Sssttt' Telunjuk seseorang itu menempel di bibir Kinal.

"Tuhan telah mentakdirkan ini semua. Masih ingat perkataan aku? Selama kita bersyukur kebahagiaan akan datang ke kita. Karena insiden itu, bukannya mama kamu jadi lebih perhatian ke kamu dan mencurahkan kasih sayangnya kembali ke kamu?"

'Hmmm' Kinal hanya mampu mengangguk.

"Ve.." Kinal menitikan airmata dan ingin memeluknya namun pelukan itu terlepas, sosok bayangan Ve itu telah menghilang tiba-tiba, mereka sudah tidak dapat lagi bersentuhan. Mata Kinal kembali menengadah ke langit, 'Meski kita hanya sehari bersama dalam satu kenangan, namun kamu memberikan banyak pelajaran yang sangat berarti buat aku. Makasih Ve, aku akan buktikan ke kamu. Kamu ga akan pernah malu punya sahabat kayak aku. Karena aku pasti bisa untuk kamu banggakan'. Kehadiran Ve senja ini memunculkan motivasi itu lagi.

Meski mereka tak lagi dalam satu alam yang sama, namun jiwa mereka menyatu. Karena selamanya Ve akan hidup dalam sanubari Kinal. Memberinya kekuatan untuk mengarungi kehidupan dunia ini.

THE END

avataravatar
Next chapter