webnovel

Deja Vu ̴ Run Run Run by Hanifah Nofel Argubie

Apa jadinya jika kita menyia-nyiakan kesempatan yang telah Tuhan berikan pada hidup kita? Menyesal pastinya. Namun apakah Tuhan masih membuka kesempatan kedua untuk kita? Mengulang waktu? Mengubah takdir-Nya? Apakah bisa? Inilah harapan seorang cewek cantik yang kini tengah berdiri diatas balkon rumahnya, memasang tatapan nanar ke arah langit malam yang tak berbintang. Ditangannya ia memainkan (?) sepucuk surat merah jambu. Sebuah surat 'cinta' yang terlambat dia temukan kala itu.

"VERANDA..!! Sudah siap, Nak?" teriak sang mama di balik pintu kamar sang anak yang bernama 'Veranda'.

Namun Veranda tak menggubrisnya, dia masih asyik dengan pikiran galaunya. Yah. Sebenarnya malam ini, Veranda mendapat undangan reuni alumni SMA-nya. Namun dia tidak mempunyai hasrat sedikit-pun untuk datang ke acara itu tanpa ditemani oleh sesosok pria yang selalu membuat hari-hari Veranda terlihat menyenangkan di tiga tahun masa SMA-nya.

Pertemuan pertama Veranda dengan pria yang bernama asli 'Evan Septiano' kala mereka mengenyam bangku kelas X SMA cukup memberinya sebuah alasan untuk membangun sebuah rasa yang biasa orang sebut sebagai 'cinta pertama'. Yah. Tiga tahun lamanya waktu itu berselang, waktu yang sangat berharga bagi keduanya untuk senantiasa bersama dalam ikatan 'Persahabatan'. Persahabatan yang entah mereka sadari atau tidak memunculkan sebuah rasa kekaguman satu sama lain yang kemudian kekaguman itu-pun tumbuh menjadi sebuah perasaan cinta. Cinta yang tak pernah bisa jujur di bibir keduanya yang menyisakan sesak di hati mereka saat itu karena tak pernah mendapatkan sebuah kepastian cinta. Hingga di akhir episode pertemuan mereka, sungguh Evan sangat ingin sekali mengutarakan perasaannya pada Veranda sebelum ia harus meninggalkan

Veranda untuk sementara karena harus mengikuti jejak sang Papah yang dimutasikan ke Jepang.

Dengan sebuah surat yang sengaja Evan sembunyikan diantara tiap lembar novel 'sherlock hommes' yang Evan berikan pada Veranda sebagai simbol kenang-kenangannya, Evan menuliskan perasaan terpendamnya dan juga keinginan tersiratnya agar Veranda dapat mengantarkan kepergiannya hari itu.

***

Veranda menghempaskan tubuhnya tepat di atas ranjang tempat tidurnya. Melepas lelah setelah seharian ini merayakan kelulusan bersama teman-temannya. Saking senangnya Veranda berhura-hura, dia sedikit melupakan sosok sahabat yang sebelumnya memberikannya sebuah novel. Bukan hanya itu, dia-pun (sahabat Veranda) memberikan pelukan terakhirnya.

Sehari setelah hari kelulusan itu, Veranda baru membuka-buka novel pemberian Evan, sahabatnya. Tiba-tiba, ada sesuatu yang jatuh dari novel itu. 'Apa ini?' pikir Veranda sambil memungut sesuatu yang jatuh itu. Dibukanya perlahan.

Tak pernah kusangka sekejap kesanmu melekat terbawa dalam rasa.

Sekilas kenangan engkau tinggalkan begitu memikat.

Tak ingin risau jiwaku mengharapkan engkau menjadi milikku.

Dan seandainya saja pertemuan itu akan mungkin terjadi kembali.

Betapa kuingin melihat dirimu.

Walau sekedar merasakan ternyata jiwaku medambakan engkau menjadi milikku.

Angan dirimu selalu kunantikan.

Tak kunjung hilang meski mungkin telah sadari...

Seketika muncul pertanyaan dibenak Veranda, 'jadi selama ini?' tak ingin lebih banyak menebak-nebak sesuatu yang tidak pasti, Veranda memilih untuk sesegera mungkin pergi ke rumah Evan memastikan semuanya. Memastikan perasaannya.

Lari. Lari. Dan lari. Menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Membuat sang mama menjadi bingung mendapati anak semata wayangnya seperti dilanda kekalutan.

"Ma, kunci mobil dimana?" Tanya Veranda sesampainya dilantai bawah berhadapan dengan sang Mama.

"Di atas meja makan, Nak? Kamu mau kemana, sayang?"

"Ke Rumah Evan, Mah" Jawabnya singkat.

***

'tok.tok.tok'

Wanita paruh baya yang merupakan asisten rumah tangga dirumah Evan membukanya.

"Eh. Non Veranda. Cari siapa, Non?

"Evan dirumah kan, Bi?"

"Non Veranda lagi mengigau atau lupa? Den Evan 'kan kemarin siang ikut papahnya dan melanjutkan kuliahnya di Jepang, Non?"

Mendengar jawaban si Bibi, lutut Veranda melemas. Seperti tak ada daya yang menopangnya untuk berdiri. Dia pun jadi terduduk lemah. Sesak dalam hatinya tercurahkan dengan air mata yang sedikit membasahi pipinya kini.

***

Veranda masih memakukan pandangannya pada langit malam. Seketika secercak cahaya terlintas. Persis seperti bintang jatuh. Lantas apa hubungannya? 'Katanya' bintang jatuh itu bisa mengabulkan permintaan-permintaan kita. Seketika Veranda memejamkan matanya, menyatukan kedua tangannya lalu ia dekatkan pada dadanya.

Dalam hati, dia berdoa 'Tuhan jika engkau memberiku satu kesempatan lagi untuk kembali mengulang waktu pertemuan terakhirku padanya, tidak akan pernah aku sia-siakan kesempatan itu lagi. Demi cinta yang aku yakin akan memberikan kebahagiaan untuk kita'.

***

"Veranda...!!!" Teriak seorang pria berlari kecil menghampirinya.

Veranda yang sedang duduk di bangku panjang sembari memejamkan matanya, sontak menoleh, "Ada apa, Van? Kok sampai lari-lari gitu?" tanyanya pada pria yang sudah berada dihadapannya yang setengah mati masih mengatur nafasnya.

"Hah. Dari tadi aku cariin ternyata kamu disini, Ve" Leganya Evan bisa menemukan sosok yang dia cari satu jam ini, sampai harus mengelilingi sekolah mereka yang cukup luas.

"Dari tadi aku emang disini, Van. Di taman sekolah. Kenapa emangnya?"

"Emmm. Anu Ve. Aku cuma mau ngasih ini ke kamu" Ucap Evan sambil menyodorkan sebuah novel. Terlintas sebuah gambaran tak jelas terlintas dalam otak Veranda. Membuatnya menerka kejadian ini apakah pernah terjadi padanya di masa lalu. Tapi kapan?

Tiba-tiba Evan memeluk Veranda. Pelukannya sangat erat. Seolah ini episode terakhir pertemuan mereka. Dan Evan tak ingin menyia-nyiakannya. "Jika suatu saat nanti kita tidak lagi bersama, tolong jangan pernah kamu melupakan aku, Ve" Bisiknya yang terdengar jelas dalam gendang telinga Veranda, kata-kata yang menyiratkan bahwa dia akan pergi meninggalkan Veranda. Sebuah kalimat yang tak asing pula untuk Veranda dengar. Entah itu pernah terucap dari bibir Evan sebelumnya atau tidak. Samar-samar Veranda menata memorinya. Yang terlintas 'hanya' bayangan-bayangan yang 'sepertinya' pernah terjadi sebelumnya. 'Novel ini? Pelukan ini? Kata-kata ini?' semuanya terasa Deja Vu.

"cie..cie..cie.." ejek beberapa teman Veranda yang tak sengaja melihat adegan pelukan mereka. Evan langusng melepaskan pelukannya. "ah. Kalian ini" ucapnya sembari menggaruk-garuk kepala belakangnya menjadi sedikit salah tingkah. Sedangkan Veranda terlihat biasa aja, wajahnya terlihat makin kebingungan. 'lalu, ejekan ini?'

'Arrgghhh' Veranda memegangi kepalanya yang serasa ingin pecah akibat memaksakan diri untuk mengingat sesuatu hal yang tidak dia ingat.

"Kamu kenapa, Ve?"

"Sakit, yah?"

"Aduh, Ve. Jangan sakit lah. Kita kan mau ngerayain kelulusan kita ini?"

Berbondong-bondong pertanyaan keluar dari mulut teman-teman Veranda, namun dengan entengnya Veranda menjawab "aku nggak apa-apa, yuk"

"Yuk kemana, Ve?" Tanya Evan

"Ah. Aku lupa buat bilang kamu dari kemarin kalau kita mau merayakan kelulusan kita, Van. Kamu bisa ikut kan?"

"Maaf, Ve. Mungkin lain waktu saja kali yah. Aku ada acara siang ini" jawab Evan yang sebenarnya ingin sekali jika Ve bisa mengantarkan kepergiannya siang ini ke bandara.

"Yah. Evan nggak asik lah. Kalau nggak ada kamu" Ve memasang wajah cemberut.

"Ada atau nggak ada aku, pasti mengasyikan kok. Yakin deh. Temen-temenmu 'kan super gila semuanya"

"Iyah. Ve. Mungkin Evan mau merayakan kelulusan bersama keluarganya juga. Ya udah, yuk. Keburu sore nih" Papar seorang teman Veranda. Kinal namanya.

***

"I want you...!!! I love you...!!!" Serunya mereka berkarokean bergila-gilaan sebagai ungkapan kegembiaraan mereka telah sukses menyelesaikan gelar 'siswa' nya. karena kedepannya mereka bukan lagi sebagai 'siswa' tapi 'mahasiswa'. Satu tingkat lebih dari siswa dimana semuanya terasa bebas memilih jurusan yang mereka sukai untuk menentukan masa depan mereka kelak.

Veranda kelelahan. Sekiranya sudah 5 buah lagu bergenre pop-rock dia nyanyikan bersama dengan Kinal. Giliran mereka sekarang yang menjadi penonton gratis konser dua teman lainnya yang kini sedang berduet. Sekilas pemikiran kejadian pertemuan Evan tadi tergambar dalam memorinya. Dia ingat novel pemberian Evan. 'Aku pernah melihat, bahkan 'sepertinya' juga pernah membaca cerita dalam novel ini. Padahal 'sepertinya' novel itu baru dirilis bulan ini di Indonesia'. Veranda membuka tasnya, kemudian mengambil novel pemberian Evan tadi.

Dan benar ada 'sesuatu' yang jatuh. 'Apa ini?' Di bukanya perlahan. Kemudian ia membacanya. Otaknya kini sudah bisa memastikan bahwa ini benar-benar pernah terjadi di masa lalu. 'Jadi kejadian setelah ini adalah ... ' tanya Veranda dalam hatinya yang saat itu tergambar dalam memorinya ketika dia tergesa-gesa pergi ke rumah Evan namun tak mendapati sosoknya karena telah lebih dahulu terbang ke Jepang.

'Evan ...' dia melihat jam dipergelangan tangannya. 'Masih siang. Semoga belum terlambat' ujarnya yang kemudian bergegas menjinjing tasnya, dan tanpa pamit dengan teman-temannya, dia langsung keluar dari ruang karokeannya.

"Ve kamu mau kemana?" tanya Kinal yang sudah dari tadi melihat gelagat aneh pada diri Veranda semenjak membaca surat berwarna merah jambu itu.

"Sorry, Nal. Aku ada acara mendadak" Jawab Veranda sekenanya.

***

Di Jalanan, Veranda menunggu taksi untuk bisa mengantarkannya ke bandara yang memang cukup jauh dari tempat karokean ini. Namun sayang, sepuluh menit berselang belum ada yang datang. Sekalinya ada, diserobot oleh seorang cowok yang memang pada saat yang sama dia juga sedang tergesa-gesa. Veranda hanya dapat mendengus kesal. Berharap cemas semoga Tuhan masih memberinya kesempatan untuk bertemu dengan Evan. Memberikan kepastian cinta in kalau dia juga mempunyai rasa yang sama terhadap Evan. Veranda kalut. 'Ah. Halte. Pasti bis kota lebih banyak yang lewat di jalanan ini' dengan berlari-lari, Veranda menuju halte bisa.

Lagi-lagi, ketika dia telah berhasil menapakan kaki di halte bis, sepersekian detik bis dihadapannya telah melaju.

"Stop, Pak. Aku mau naik...!!" teriak Veranda yang mencoba mengejar bis itu. Namun...

'Bruugggh' Veranda tejatuh. Lututnya terlebih dahulu mencium aspal sehingga sedikit berdarah.

"Auuwwwhh" Rintihnya kesakitan. Alhasil dia pun berjalan terpincang-pincang untuk menepi, mungkin lebih baik dia menunggu bis berikutnya saja.

"Sepertinya sedang buru-buru neng?" tanya wanita yang berumur jauh di atas Veranda yang kini emang duduk bersebelahan dengan Veranda.

"Ah. Iya bu. Ternyata cinta butuh perjuangan yah, bu?" Keluh Veranda sambil sedikit-sedikit membersihkan lututnya yang berdarah.

"Kalau tanpa perjuangan bukan cinta namanya. Kejar dia sebelum terlambat. Meski kamu harus merubah takdir Tuhan. Buktikan-lah kamu pantas bahagia dengan dia" Ucap wanita itu membuat Veranda bingung, apakah dia tau kalau Veranda yang sekarang bukan-lah Veranda yang dulu yang sama dengan dimensinya dengan kebanyakan orang di masa ini.

Veranda menoleh, ingin sekali menanyakan hal tersebut. Namun sosok wanita itu telah menghilang. 'Kok ibu-ibu tadi nggak ada?' seketika bulu kuduk Veranda berdiri. "Siapa dia?" Gumamnya sambil mengusap-usap punuknya yang sedikit merinding. Selang beberapa menit Bis muncul dihadapannya, Veranda sukses menghentikannya. Namun kesialan menghampirinya lagi kala menaiki bis itu. Pandangan matanya dikejutkan oleh tidak adanya satu bangku yang kosong satu-pun di dalam bis ini. 'Yah. Harus berdiri nih? Astaga' Keluhnya kembali pada diri sendiri.

***

Di tengah keramaian orang yang berlalu-lalang di bandara, Evan menunggu kedatangan Veranda. Bolak-balik dia melihat jam, mengitari pandangan dipenjuru bandara ini, belum terlihat sosok yang ditunggu. 'Apa kamu tidak membaca surat aku, Ve' Gusarnya hati Evan saat ini.

"Evan. Ayo. Sebentar lagi pesawat akan take on" ajak sang papah, namun mendapat tolakan halus dari Evan.

"Sebentar, Pah. Tunggu 5 menit lagi. Evan masih menunggu teman"

***

Jalan yang dilalui bis yang Veranda tengah kendarai untuk sampai ke bandara mendadak macet. Entah ada apa, menurut selentingan 'katanya' ada penyempitaan jalan karena masih dalam perbaikan jalan yang mendadak ambles karena muatan berlebih. 'Ya Tuhan, Cobaan apa lagi ini? Sampai kapan aku terjebak di jalanan seperti ini?' Veranda kembali melongok jam tangannya. Sudah jam 2 lewat. Tanpa pikir panjang. Veranda meminta turun dan menerobos kemacetan jalan ini. Lari, lari dan lari sekuat tenaga demi sebuah cinta. Sesekali ada motor yang mengagetkannya hendak menabraknya saking cerobohnya Veranda ketika berlari tak tau arah.

Berpuh-puluh meter ia lalui, nafas yang sudah sulit di aturnya mulai menghambatnya untuk terus berlari. Dadanya sesak. Sepertinya dia kelelahan. Namun pemandangan mengejutkan ada di hadapannya. Ternyata di sudah berada di depan bandara. Sambil mengusap keringat yang bercucuran dikeningnya, Veranda mengembangkan senyuman. Ini-lah saatnya.

Seketika ia menarik tubuhnya untuk masuk dalam bandara itu, seketika itu pula pesawat yang akan terbang ke Jepang di umumkan telah

take on 5 menit yang lalu. Lagi-lagi terlambat.

***

"VERANDA..!!" teriak sang mama kedua kalinya karena tak mendapat tanggapan dari sang anak.

"Sayang kamu, nggak kenapa-kenapa kan?" khawatirnya hati mama karena Veranda tak kunjung menanggapinya.

'Ceklek' gagang pintu di bengkokkan (?) oleh Mama untuk masuk ke kamar Veranda sekedar ingin melihat keadaan sang anak.

"Sayang" Ucap Mama yang sudah berdiri di balik punggung Veranda menepuk pundaknya. Cukup untuk mengagetkan Veranda yang entah sudah beberapa lama matanya terpejam. Veranda sedikit menoleh guna ingin tau siapa yang sudah masuk kamarnya itu.

"Mama?"

"Kamu nggak jadi datang di acara reuni SMA-mu itu?" tanya Mama, Veranda hanya menggeleng.

"Hmm.. Yakin nie?" Goda Mama namun Veranda lagi-lagi tak menangapi lebih. Tapi bukan Mama namanya, kalau tidak tau apa yang dipikirkan oleh sang anak.

"Kalau boleh mama saranin sih, kamu cepat-cepat ganti baju terus langsung turun ke lantai bawah, di ruang tamu ada Evan yang sudah lama nungguin kamu"

"Heh?" Veranda sungguh tidak yakin dengan apa yang didengarnya saat ini.

"Udah Cepet sana. Mau terlambat lagi?" Ejek sang Mama.

"Nggak lah Ma" Cepat-cepat Veranda bergegas menemui Evan, sang pujaan hatinya.

***

Haru bahagia menjadi satu ketika Veranda benar-benar bisa melihat jelas Evan dihadapannya. Selangkah kaki makin mendekati, Evan-pun menyadarinya. Mereka-pun saling bertatapan, mata bertemu mata, Debar jantung makin tak karuan hingga bibir-pun terasa canggung untuk sekedar saling berbasa-basi bertanya kabar atau-pun pertanyaan retoris semacamnya.

"Evan?" hanya satu kata yang mampu terucap dari bibir Veranda, karena scene selanjutnya Veranda langsung memeluk erat Evan, sedikit berbisik "Aku sayang sama kamu. Bukan hanya sebatas teman tapi lebih dari itu" Lancarnya Veranda mengucap kata-kata itu. Dia tidak ingin kata 'terlambat' menghantuinya kembali.

"Aku juga sayang sama kamu, Ve. Makanya aku datang kesini untuk memastikan perasaanku ini. Mau-kah kamu menjadi pendamping hidupku untuk selamanya?" Tanpa malu-malu atau-pun berbasa-basi, Evan melamar Veranda yang ternyata langsung mendapat anggukan kepala dari Veranda pertanda dia mau untuk menjadi pendamping hidup Evan untuk selamanya.

Sekeras apapun kamu berusaha untuk mengubah Takdir-Nya, jika memang Tuhan tidak menakdirkanmu untuk bertemu dengan jodohmu di hari itu, usahamu akan terlihat sia-sia belaka. Akan tetapi, dengan usaha yang kamu perlihatkan pada Tuhan itu-lah yang akan membahagiakanmu dikemudian hari. Apa yang terbaik bagimu belum tentu terbaik bagi-Nya. Namun, terbaik bagi-Nya akan menjadi sesuatu yang terbaik bagimu. DIA-lah pemilik skenario terbaik di alam semesta ini, jalanin peran sesuai dengan masanya. Kelak, semua akan indah pada waktunya.

-the end-

Next chapter