webnovel

BAB II Gagak Gurun

Mata ku menangkap semua dengan jelas.

Utusan Perancis yang dengan gugup membuka ikatan kotak. Wajah para mentri yang berubah saat kotak itu terbuka. Dan, satu anak panah yang meluncur lurus menuju jantung Ibuku.

Bila saat itu Kaheed tak merespon cepat dengan mengulurkan pedangnya dari sarung di pinggulnya, ... mungkin saat ini Ibuku telah tiada. Namun, serangan para vandal yang terjadi begitu cepat itu berhasil di tanggulangi Kaheed dengan kepiawaiannya. Meskipun pada akhirnya Ibuku di tawan dan kerajaan di taklukan. Setidaknya nyawa kami masih terselamatkan.

Namun kenyataan tentang penaklukan tetap tak berubah. Karena selain para tentara kerajaan yang di habisi pasukan vandal yang bersembunyi di luar Istana. Dari serangan tiba-tiba di singgasana tersebut, banyak mentri dan para petinggi kerajaan yang ikut terenggut nyawanya, demi melindungi aku dan Ibuku.

Hari itu semua terasa berubah seketika.

Kejayaan kami yang tak pernah terasa sebelumnya olehku, sekarang kehidupan nyaman itu seakan sebuah mimpi...

Vandalis, mereka adalah orang-orang barbar yang seharusnya berdiam di daratan Eropa. Disana mereka bahkan mendirikan negaranya sendiri. Terlebih dengan jumlah yang begitu banyak hingga mampu menumbangkan dan mengungguli jumlah tentara Istana. Apa mereka memutuskan bergeser dari kampung halaman mereka? Sungguh tak mengerti aku, akan apa yang sebenarnya terjadi.

Sempat beberapa kali pun aku memaksa Kaheed untuk menemaniku menerobos dan menyelamatkan Ibu. Namun, Kaheed menghentikanku! Dia bilang, dengan jumlah tentara Istana yang tersisa dan berbanding dengan para Vandalis yang berdiam di Istana. Upaya kami akan sia-sia.

Aku pun tak punya pilihan lain selain menghentikan niatku. Terlebih mengingat ia lebih berpengalaman dari diriku yang hanya seorang pangeran manja. Ya ... pangeran manja! Meskipun aku tahu cara berpedang dan cukup piawai dalam pertarungan satu lawan satu. Namun, aku yang belum pernah mencicip perang ini tidaklah lebih dari seorang pangeran manja saja. Aku tak bisa menilai diriku lebih dari itu, mengesampingkan betapa siapnya diriku untuk bertarung.

Aku terlalu naif. Menganggap semuanya akan berjalan lancar seperti kehidupan sehari—hariku. Kenaifan ini juga yang membuat mereka berhasil merebut Ibu dan menawannya. Membuat ku kesal pada diriku sendiri.

Seraya mendatangkan sakit kepala hebat, sesaat sebelum aku terbangun dari mimpi tentang masa lalu ini. Mimpi, yang terus terulang di kala malam. Yangmana tak pernah kumiliki saat aku masih hidup di Istana dulu.

Kaheed pasti tertawa kalau kuceritakan hal ini...

Suatu tempat di daratan Eropa, 534 Anno Domini.

"Hei, lihat! Itu, Gagak Gurun!"

"Wah, benar! Ada, Gagak Gurun!"

"Gagak gurun!~ gagak gurun!~ ..." Berulang kali pun celotehan anak-anak desa berdengung di telingaku. Memaksa ku bangun dari nyenyaknya tidur di bawah pohon apel yang ramah ini. Sedangkan, helm teropong hitam yang masih lekat terpasang, melindungiku dari silaunya sinar matahari.

Maka, menghiraukan anak-anak desa yang menceloteh mengelilingiku. Kuambil pun perisai dan pedang usang ku. Penuh karat dan tercuil disana-sini. Apa ini sudah waktunya aku mencari pedang dan perisai baru?

Yang lebih penting, aku harus melanjutkan perjalananku...

.

.

.

"Urgh!! ..." Berat badan ini hendak kulangkahkan. Atau mungkin ini karena aku belum makan sejak kemarin?

Dua, tiga hari tak makan bukanlah masalah, sebenarnya. Bahkan sebelumnya aku pernah melewati satu minggu tanpa setetes air pun, dan aku bertahan.

Aku yang saat ini sudah tak memiliki kemewahan hidup lagi, tak pantas merisaukan hal kecil. Aku harus tetap melangkah. Namun, langkahku segera terhenti...

Seorang gadis kecil berambut ungu, berdiri di depan ku dengan lugunya. Ia hanya diam, selagi mengangkat dagu menatapku. Lalu, diulurkannya kedua tangan yang memegang sebuah roti. Teringat pun aku akan siapa dirinya. Dia anak dari pedagang roti yang hendak di serang Chimera kemarin.

"Oh, terima kasih!" Seraya kuambil pun roti pemberiannya. Kemudian ku arahkan pandanganku ke arah desa.

Kedua orang tua anak ini pun melambai padaku, di depan kereta dagangan mereka. Ku balas pun melambai.

"Tuan Gagak Gurun, apa kau mau pergi?"

...

Tanyanya seakan mengharap sesuatu. Matanya pun sedikit berbinar. Membuatku sejenak bingung, hendak menjawab apa. Berlutut pun aku mensejajarkan pandangan kami. Lalu, ku belai kepalanya lembut.

Aku tak boleh membuat anak kecil khawatir kan, Kaheed?!

"Hei, ... siapa namamu, nak?"

"Vivian!"

"Vivian, ... nama yang indah. Apa kau suka berpetualang dengan kedua orang tua mu?"

Ia mengangguk, lalu pandangannya mulai ia alihkan ke bawah.

Pasti sulit baginya mendapat teman dengan pekerjaan orang tuanya yang selalu berpindah-pindah tempat, bukan!

...

"Apa kau mau ikut dengan kami?" Ucapnya dengan wajah yang sedikit tersipu.

Sedikit berat aku menjawabnya sebenarnya. Namun, aku juga punya misi yang harus ku selesaikan. Maka kugelengkan pun kepalaku, yangmana membuatnya terlihat mulai kecewa. Lalu kujawab ...

"Hei, Vivian, ... bagaimana kalau begini!" Sejenak berusaha kuatur nada bicaraku, "Untuk saat ini, mungkin kita akan berpisah. Namun, bila aku sudah menyelesaikan hal yang perlu aku urus di daratan ini ... aku akan mencari dan menemuimu."

"Benarkah?!"

"Ya, aku janji."

Ia pun kembali tersenyum.

Setidaknya aku dapat mengembalikan kebahagiaan anak ini. Lagi pula, anak kecil sering melupakan satu-dua hal, bukan?

"Kalau begitu ..." Gadis kecil ini pun mengulurkan jari kelingkingnya ke hadapanku. Kudengar di daratan ini, inilah yang mereka sebut dengan janji jari kelingking.

Apa aku juga harus memberikan jari kelingkingku? ... lagi pula tak akan membuatku rugi sedikit pun. Tak ada salahnya. Maka, kuberikan pun jariku, dan anak ini segera melingkarkannya dengan kelingkingnya. Simpul senyum pun ia perlihatkan di pipinya.

"Hmm ..., apa cukup dengan begini?"

"Ya, sekarang kau dan aku sudah terikat janji! Jangan sampai ingkar ya!"

"Bagaimana kalau aku ingkar?"

"Maka, kau akan terperangkap dalam kegelapan abadi selamanya!"

K—kegelapan abadi?! ... tidakkah ini cukup berlebihan untuk ukuran anak-anak. Siapa yang mengajarinya?

Selapas berkata demikian gadis itu pun berlari kembali pada orang tuanya, sembari melambaikan tangan padaku. Lalu, aku pun melanjutkan perjalananku. Perjalanan yang kumulai sekitar delapan bulan yang lalu. Saat kerajaan Moor, direbut oleh tentara Vandal, dan Ibuku mereka sekap.

Saat itu keadaan kami benar-benar terpojok.

Kami yang terpaksa bersembunyi dan tetap menjaga jarak demi mengawasi keamanan Ibu. Karena penguasaan bangsa Vandal atas Istana, membuat kami menjadi buronan di negeri sendiri. Tak jarang pun warga yang menyembunyikan dan melindungi keberadaan kami, beberapa harus kehilangan nyawa karenanya. Mungkin itu karena para Vandal takut aku yang adalah pewaris sah kerajaan setelah Ayahku yang tak di tempat, suatu hari akan merebut kembali Istana.

Padahal, pada kenyataannya aku tak bisa melakukan hal tersebut. Adat kerajaan kami yang begitu kental lah penyebabnya! Adat yang membuatku tak bisa naik tahta tanpa Ayahku terlebih dulu yang menerima tahta kakek.

Maka, Kaheed pun menyarankan suatu ide. Ide untuk mencari Ayahku.

Yangmana dengan membagi kelompok kami menjadi dua. Aku dan beberapa prajurit yang akan mengawalku, akan pergi mencari Ayah dan kembali untuk merebut Istana. Lalu, Kaheed dan beberapa prajurit yang tersisa, akan melebur dalam penduduk setempat dan terus melakukan pengawasan pada Ibuku yang masih tertahan.

Tentu aku pun setuju. Lagipula, sesuai rencanaku dan Ibuku, aku memang akan melakukan perjalanan tersebut satu tahun lagi.

Lalu, Kaheed memperlengkapiku dengan sirah dan teropong hitam yang selalu kupakai ini. Yangmana hal ini dikarenakan status buronan yang tertanggal atas kepalaku. Sehingga aku harus tetap menyembunyikan identitasku, terlebih di benua mereka. Benua tempat asal orang Vandal, Eropa.

Ksatria bersirah hitam, yang datang dari gurun pasir selagi menyembunyikan identitasnya. Dari situlah ejekan gagak gurun muncul. Dan mengejutkannya, ternyata tersebar kemana-mana. Membuatku disatu sisi malah mencolok. Namun, dengan munculnya identitas baru ini, sekaligus menutupi identitas asliku.

Haruskah aku bersyukur? ... entahlah.

.

.

.

Demikianlah awal perjalananku yang sebenarnya ditemani oleh beberapa prajuritku. Namun waktu demi waktu berlalu, mereka satu persatu gugur hinga hanya menyisahkanku sendiri. Gugur karena pengejaran para Vandal, gugur karena pertarungan tak terduga dengan perompak, lalu juga dalam pertarungan melawan monster.

Ya, ... monster.

Tak seperti di gurun tempat asalku yangmana dehidrasi dan kelaparanlah yang menjadi ancaman bagi para petualang. Di benua ini, sejak beberapa tahun terakhir, monster-monster mulai bermunculan dan menyerang manusia. Yangmana, telah lama ku dengar hal ini dari para pelancong yang datang ke negeriku. Dan semakin membuatku terperangah, begitu kami bertemu langsung dengan monster-monster dalam kisah tersebut.

Kekuatan mereka... ketangkasan mereka... keganasan mereka... mungkin aku sudah lama mati kalau Kaheed tak pernah melatihku berpedang. Terlebih dengann adanya para monster ini, setidaknya aku dapat pekerjaan yang cukup menguntungakan untuk memenuhi kebutuhanku dalam perjalanan. Pekerjaan yang tak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih. Pekerjaan berbayaha, yang disebut pemburu monster.

.

.

.

"T-tuan gagak hitam!!"

Salah seorang dari penduduk desa berlari kearahku. Nafasnya tersenggal-senggal, keringatnya bercucuran. Begitukah, ... ini hanya berarti satu hal. Monster!

"Dimana?" Jawabku tegas.

Ia pun segera mengarahkan telunjuknya menuju bukit di samping desa. Yangmana, dari kejauhan dapat kulihat asap tipis membumbul. Maka, ku lahap pun roti pemberian gadis kecil tadi, dan berlari pun aku menjemput asap tipis itu.

Sungguh kebetulan, aku sedang memerlukan persenjataan baru!

Next chapter