Arga sudah meletakkan tumpukan kertas yang tadi dibaca di atas meja, dia bersandar di sofa bed ketika Sinta keluar dari kamar mandi. Sinta duduk memiringkan badan di pangkuan Arga.
"Kalau setiap hari aku ke sini boleh?" tanya Sinta manja.
Dia mengalungkan kedua tangannya di leher Arga. Arga mengangguk, wajahnya mendekat dan ciuman panjang yang sudah lama Arga rindukan. Akhirnya, kini ia dapatkan dari sang istri.
Di depan pintu, Laila yang hendak masuk memberikan undangan pameran batik untuk Arga hanya berdiri mematung melihat pemandangan sang bos dan istrinya. Perlahan Laila berbalik mundur dan menitipkan undangan tersebut pada Bagas.
"Di dalam lagi hot, nitip ya." Nada jutek yang Laila keluarkan membuat Bagas dan Aan tertawa berbarengan.
"Praktek sama aku mau, La?" goda Bagas.
"Ogah males," teriak Laila yang sudah menuruni tangga.
Arga mengunci pintu ruangannya, ruangan yang kedap suara membuat dia leluasa bercinta dengan sang istri. Setelah seminggu menantikan moment seperti sekarang. Pagi ini, dia justru mendapatkan suguhan dan pelayanan yang luar biasa dari Sinta di kantornya. Sinta yang agresif dan memegang kendali permainan membuat Arga berhasil meneriakkan nama istrinya berkali-kali.
"Terima kasih sayang, I love you," bisik Arga di telinga sang istri yang masih memeluknya erat di sofa bed yang sebelumnya telah dia pasang menjadi bed tempat cinta mereka berlabuh.
"Love you too Daddy." Sinta memejamkan mata, lirih dia membalas ungkapan cinta yang masih ia dengar, kemudian terlelap didekapan Arga.
Jam sembilan lewat Arga membangunkan Sinta untuk segera mandi dan bersiap ke butik. Sebelum ke luar ruangan tak lupa mereka memastikan penampilan mereka kembali rapi, baru kemudian Arga membuka pintu ruangan. Mereka melangkah ke luar beriringan.
"Pak, ini ada undangan pameran batik." Begitu melihat sang bos bersiap pergi, Aan berdiri dan menyerahkan undangan yang dititipkan Laila.
"Kamu taruh di meja saja ya, sekalian tolong bereskan sofa di ruangan saya, soalnya...." Arga menjerit kesakitan karena pinggangnya dicubit sang istri.
"Sakit yang," protes Arga manja pada Sinta yang kemudian mengelus pinggang yang tadi dia cubit.
Bagas dan Aan menutup wajah mereka dengan kertas yang ada di atas meja.
"Adegan dewasa, Bos," seru Bagas.
Arga tertawa melihat tingkah mereka.
"Saya anterin Nyonya dulu ya, kalau ada apa-apa telepon saja," pesan Arga sebelum berlalu menuruni tangga.
Aan dan Bagas saling pandang dan melempar senyum.
"Habis perang, Bro." Bagas melempar kertas yang tadi dia gunakan untuk menutup wajah ke arah Aan.
"Bos mah bebas, habis perang, udah enak, anak buah yang beresin. Nasib...nasib," gerutu Aan. Dia berdiri dari duduknya dan masuk ke ruangan Arga membawa undangan. Bagas tertawa terpingkal-pingkal menanggapi Aan yang menggerutu kesal.
__I.S__
Arga kembali ke rumah batiknya setelah mengantarkan Sinta ke butik. Butik yang menyediakan berbagai model fashion batik yang dikelola Sinta adalah milik kedua orang tuanya, karena dia anak tunggal, mau tidak mau, Sinta yang menggantikan sang ibu mengelola Butik tersebut.
Jam setengah dua belas semua urusan Sinta dan customernya sudah selesai. Sinta menelepon Dinda, setelah sepuluh menit yang lalu dia terlebih dahulu mengirim chat bahwa, dia ingin mengajak sahabatnya berkunjung ke rumah remang-remang yang menjadi sarang Ulat Bulu menantikan mangsa.
"Assalamualaikum," sapa Dinda.
"Waalaikumsalam, sudah siap, Beib? Aku meluncur nih."
"Are you serious? Ngapain sih ke tempat begituan?" tanya Dinda menyakinkan sahabatnya.
"Ya iyalah serius, cepat ya dandannya, jangan kalah saing sama Ulat Bulu, bye," pamit Sinta dan langsung memutuskan panggilan suara.
Sinta segera memasukan dua set gamis di dalam paper bag yang dibawa sebagai hadiah untuk para Ulat Bulu yang nanti akan dia temui. Terlebih dahulu dia pamit dan menitipkan butik pada Santi sebelum berangkat ke rumah Dinda.
"Ada misi apa sih, Sin? Mesti banget datang ke tempat begitu?" oceh Dinda begitu pintu mobil terbuka. Setelah cipika cipiki, mobil Sinta kembali melaju ke luar dari komplek perumahan Dinda.
"Penasaran aku sama Ulat Bulu, Din. Dalam semalam berapa pelanggan yang mereka garap dan mereka puaskan, masa aku yang cuma garap mas Arga rasanya ih." Sinta bergidik membayangkan sikap gatelnya pada Arga pagi ini.
"Arga pelanggan Ulat Bulu?" duga Dinda. Dahinya mengernyit, matanya tajam menatap Sinta.
"Amit-amit, jangan sampai, Din." Sinta menceritakan apa yang didengarnya dari keluhan Arga sampai PR dari Lelis. Dia juga menceritakan hal apa yang dia lakukan pagi ini pada Arga dari bangun tidur sampai dia ke Butik.
"Olahraga di kantor, Sin. Astaghfirullah, sesuatu banget ya." Dinda geleng-geleng kepala dengan apa yang dilakukan sahabatnya.
Setidaknya Dinda memperlakukan Andi, suaminya, lebih baik dari pada Sinta. Apalagi mereka hanya tinggal berdua.
Dua puluh menit berlalu, Sinta membelokkan mobil ke kiri, ke luar dari jalan raya pantura. Mereka berhenti sejenak untuk salat zuhur di masjid. Usai salat zuhur, Sinta duduk di samping Dinda yang sedang menelepon Andi untuk mengingatkan salat dan makan siang pada sang suami. Melihat perhatian yang diberikan Dinda pada Andi, Sinta pun mengambil ponsel di tas untuk menghubungi Arga.
"Cantiknya istriku, tumben telepon," rayu Arga ketika sambungan video call terhubung.
"Assalamualaikum My hot Daddy," sapa Sinta dengan senyum manis yang membuatnya terlihat sang cantik di mata Arga.
"Waalaikumsalam, eh sampai lupa salam, terhipnotis sama bidadari cantik di layar handphone."
Selama ini Arga memang selalu bersikap manis dengan rayuan receh yang tekadang membuat Sinta sering risih dibuatnya. Kalau dulu, dirayu seperti itu dia langsung memutuskan panggilan dan mengirimkan chat pada Arga perihal maksudnya menelepon, tapi sekarang dia sudah berniat memperbaiki komunikasi mereka.
"Habis salat?" tanya Sinta yang melihat Aan di belakang Arga masih menggunakan kopiah.
"Iya, tuh ada Aan sama Bagas." Arga mengarahkan ponsel ke Aan dan Bagas. "Aan minta traktir habis beresin puing-puing sisa peperangan kita," sambung Arga dengan tawa.
"Ih apaan sih Daddy, kan malu. Udah ah Assalamualaikum," pamit Sinta, wajahnya merona mendengar kalimat Arga.
"Masya Allah, tambah cantik banget kalau lagi malu-malu kucing gitu, jangan lupa makan ya sayang, waalaikumsalam." Bibir Arga mengirim kiss pada Sinta, mendengar tawa cekikikan Bagas di samping Arga, Sinta langsung mengakhiri panggilan. Dia bahkan lupa niat awalnya menelepon untuk mengingatkan sang suami makan siang.
"Sin, makan dulu yuk, laper nih," ajak Dinda, dia meringis dan mengelus perutnya.
"Makan apa ya, Din?" tanya Sinta mencari pedagang makanan di sekitar masjid.
"Di situ Aja yuk, Nasi Langgi, udah pernah coba belum?" Sinta menunjuk pedagang tenda yang tidak jauh dari masjid.
"Belum, yuk ke sana," ajak Sinta. Mereka langsung berjalan kaki menuju warung tenda Nasi Langgi.
Mereka memesan dua porsi nasi langgi dengan ayam kecap. Begitu suapan pertama mereka langsung mengacungkan jempol. Meskipun warung tenda, tetapi rasa masakannya pas di lidah mereka.
Jangan lupa masukin kekoleksi ya kak. Bintang beserta kritik dan saran dari reader sangat diharapkan author nih.