26 Tolong!

Raya dan Bunga terkejut dengan kehadiran Ny. Zemira yang masuk kedalam kamar Raya tanpa mengetuk pintu.

"Raya! Dimana Arka?!" tanya Ny. Zemira.

"Dia ada dikamarnya, bu. Memangnya ada apa? Kenapa ibu terlihat panik?" jawab Raya.

"Kau sudah beri dia obat?"

"S-sudah."

"Syukurlah. Dimana kunci kamarnya? Ibu ingin melihat keadaannya."

"Kunci?"

"Beri saja, biarkan ibu melihat Arka, agar kita bisa melanjutkan pembicaraan kita dengan nyaman," ucap Bunga pada Raya

"T-tapi, aku lupa dimana aku menaruh kunci kamar Arka," ujar Raya.

"Astaga, kau ini. Kenapa harus mengunci kamarnya? Ibu tadi ingin melihatnya, namun kamarnya dikunci, oleh karena itu ibu jadi panik dan mencarimu," kata Ny. Zemira.

"Cari kunci itu sekarang, cepat," suruh Ny. Zemira.

"Baik ibu." Raya lantas bangkit dan pura-pura memeriksa meja riasnya.

'Menyebalkan sekali! Wanita tua ini, apa dia tidak bisa diam dalam sehari saja?! Kalau saja Jhana tidak menghalangiku waktu itu, si Zemira ini pasti sudah mati,' batin Raya.

Isa akhirnya sampai di mansion untuk mengantar Mona dan Zhani. Setelah memarkirkan mobilnya, Isa lantas mengajak kakak dan adik Fina itu untuk masuk kedalam mansion, tapi mereka menolak.

Malas untuk berdebat, akhirnya Isa menggendong mereka berdua sekaligus dan memaksa mereka untuk masuk. Ketika membuka pintu, Isa berpapasan dengan Arvin. Terjadi keheningan ketika mereka berpapasan, terlebih kemarin Isa tidak mempedulikan Arvin yang ingin curhat.

Isa merasa malu untuk sekedar tersenyum pada kakaknya itu, namun sangat mengejutkan, Arvin menyapanya dengan ramah.

"Aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi, hai."

"Kenapa lama sekali?" tanya Ny. Zemira pada Raya yang dari tadi menipunya.

"Iya ibu, sebentar, aku bilang, aku lupa menaruh kuncinya dimana."

'Sial, aku kehabisan ide. Apa yang harus kuperbuat agar mereka tidak bisa mengakses kamar Arka?' batin Raya.

Jhana kebetulan lewat di depan kamar Raya dan melihat kedalam kamar itu karena Ny. Zemira membuka lebar pintunya. Karena penasaran akan hal apa yang terjadi, akhirnya Jhana pun buka suara.

"Maaf, apa ada yang bisa saya bantu?"

Raya, Bunga dan Ny. Zemira lantas menoleh ke Jhana, hal itu sontak saja membuat Jhana menjadi gugup.

"Kau pekerja baru, kan? Apa kau melihat sebuah kunci?" tanya Raya.

"Saya belum melihat kunci dirumah ini selama bekerja, Nyonya," jawab Jhana.

Ny. Zemira lalu menatap Raya dengan tatapan yang menjelaskan perasaannya kalau ia merasa aneh pada menantunya itu.

"Tapi, saya melihat ada tonjolan di saku celana bagian belakang yang sedang Nyonya pakai," sambung Jhana.

Mendengar hal itu, Bunga dan Ny. Zemira langsung menatap bokong Raya. Raya memang sedang memakai celana jeans, dan di bokong bagian kirinya terlihat sebuah tonjolan menyerupai sebuah kunci.

"Kunci apa itu?" tanya Ny. Zemira.

'Aku bersumpah untuk membunuh wanita itu suatu saat nanti. Argh! Kenapa dia harus hadir disaat seperti ini?!' gerutu Raya di dalam hatinya.

"I-ini kunci ..." Raya tampak bingng harus menjawab apa.

"Kunci apa?!" tanya Ny. Zemira sekali lagi.

"Kunci kamar Arka, ibu," jawab Raya secara spontan.

"Tidak masalah bagi ibu jika kau lupa bahwa kau menaruh kunci kamar Arka di saku celana yang sebenarnya sedang kau pakai. Tapi, bawa kemari kunci itu," suruh Ny. Zemira.

"Biar aku saja yang buka pintu kamar Arka, bu. Aku juga sekalian ingin melihatnya," ujar Raya.

"Mm, baiklah, ayo," ajak Ny. Zemira.

"Lanjutkan pekerjaanmu," suruh Bunga pada Jhana setelah ibu dan kakak iparnya pergi dari kamar itu.

"Baik, Nyonya, saya permisi," ucap Jhana yang kemudian berjalan menuruni anak tangga. Namun Jhana menghentikan langkahnya tatkala ia melihat Mona dan Zhani yang berada di ruang tamu, sedangkan Isa berjalan keluar dari ruangan untuk menjamu tamu tersebut.

'Astaga, mereka disini,' batin Jhana.

Tiba-tiba saja seseorang menyentuh bahu Jhana dari belakang, dan hal itu membuat Jhana terkejut setengah mati.

"Astaga!" ujarnya dengan nada yang menunjukkan bahwa ia sangat terkejut. Jhana pun berbalik dan melihat Tantri yang masih memegangi bahunya.

"Tantri, kau bikin kaget saja!" lanjur Jhana, ia terlihat masih deg-degan.

"Hehe, maaf jika kakak terkejut. Kakak sedang apa? Melihat anak-anak itu? Mereka bukan anggota keluarga ini, mereka hanya anak-anak tak berdosa yang ditinggalkan ibu mereka tanpa alasan," ucap Tantri.

Jhana meneguk ludahnya mendengar ucapan Tantri barusan. "Kenapa ... mereka ditinggal oleh ibu mereka?"

"Mau kuceritakan? Tidak masalah, tapi jangan disini, akan kuceritakan sambil kita bekerja. Ayo."

"Baiklah."

'Bahkan Tantri yang baru bekerja selama sebulan disini tahu tentang anak-anakku. Tapi sampai sejauh mana dia mengetahuinya?' batin Jhana, ia akhirnya berjalan disamping Tantri agar tidak terlihat oleh Mona dan Zhani.

Putaran kedua pada kunci yang diputar oleh Raya akhirnya selesai, artinya, pintu kamar Arka tidak dalam keadaan dikunci lagi. Dari sini, Raya semakin deg-degan.

'Wanita tua ini, membuatku begitu geram,' batinnya.

Karena tak sabar menunggu Raya yang hanya diam, Ny. Zemira akhirnya menekan engsel pintu kamar cucunya itu dan membukanya lebar-lebar. Kemudian terlihatlah Arka dalam posisi telungkup, kepalanya lurus ke arah pintu, sedangkan jaraknya dari ranjang agak jauh.

"Ya Tuhan ..., Arka!" seru Ny. Zemira yang langsung terlihat panik.

Mendengar seruan dari ibunya, Isa yang tadinya baru saja membuka pintu depan, langsung mendatangi sumber suara itu. Sedangkan Jhana dan Tantri yang sedang berada di gudang, tidak mendengar seruan itu.

Sama halnya dengan Isa, Bunga yang tadinya sedang memainkan ponselnya, langsung keluar dari kamar Raya dan menghampiri Ny. Zemira dan Raya.

Mona dan Zhani hanya diam dari tadi, mereka tidak berani melakukan apa-apa, terlebih lagi mereka berada di dalam mansion, yang mana Bunga dan Raya sangat melarang mereka untuk masuk.

Seruan Ny. Zemira terdengar oleh mereka dan hal itu membuat kakak adik itu menjadi panik, karena mereka pikir mereka akan dimarahi lagi.

"Ayo cepat keluar dari sini! Mereka pasti akan melihat kita!" ujar Mona pada Zhani. Namun bukannya menurut, Zhani malah bersembunyi di kolong meja dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ayo!" ajak Mona, namun lagi-lagi Zhani hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Yasudah, kau disini saja." Mona lantas berlari menuju halaman belakang dan bersembunyi dibelakang salah satu kursi lounger yang terdapat di pinggir kolam renang itu.

Ny. Zemira membalikkan posisi tubuh Arka menjadi telentang, ia lalu menepuk-nepuk pipi cucunya itu sambil terus memanggil namanya. Namun Ny. Zemira tak mendapat respon dari Arka. Tidak kehabisan akal, Ny. Zemira lalu memegang dada kiri Arka dan masih merasakan detak jantungnya, ia juga merasakan urat nadi putra Rasyid itu masih berdenyut.

Sedangkan Raya hanya diam di depan pintu.

"Apa yang terjadi ibu?!" tanya Bunga yang baru sampai di kamar itu.

"Apa yang terjadi pada anak ini?! Kenapa dia bisa pingsan?!" tanya Ny. Zemira pada Raya. Raya hanya terdiam tanpa tahu harus menjawab apa.

"Siapa yang pingsan?!" tanya Isa yang terlihat panik, ia baru saja sampai setelah langsung berlari menuju kamar Arka tadi.

"Ya ampun!" sambungnya. Dengan sigap, Isa langsung mengangkat keponakannya untuk ditempatkan di ranjangnya.

"Raya, apa yang terjadi padanya?!" tanya Ny. Zemira pada Raya.

"E-entahlah," jawab Raya.

"Kenapa kakak begitu tenang melihat Arka pingsan begini?!" bentak Isa pada Raya sambil memencet-mencet jempol kaki Arka.

"Aku tidak tahu apa-apa! Aku sudah memberinya makan dan minum! Aku sudah memberinya obat!" seru Raya.

Indira dan Kania langsung keluar dari dapur setelah mendengar kericuhan itu. Mereka berdua langsung naik ke lantai 2 dan berjalan menuju kamar Arka.

"Aku lapar," lirih Arka yang tampaknya mulai sadar karena rasa sakit di jempol kakinya.

Sontak saja semua orang menjadi kaget dengan pernyataan Arka tersebut, dan seketika saja Raya menjadi pusat perhatian.

"Aku ingin air," sambung Arka.

Ny. Zemira kemudian keluar dari kamar itu, berbeda dengan Bunga yang masuk ke kamar itu dan duduk di ranjang bersama dengan Isa. Kania dan Indira yang paham akan situasi pun langsung bergegas menuju dapur untuk membuatkan Arka makanan dan minuman.

Ny. Zemira menarik tangan Raya dan memaksanya jalan untuk mengikutinya berjalan menuju kamar Raya. Setelah dirinya dan Raya masuk, Ny. Zemira menutup pintu kamar itu.

"Katakan," ujar Ny. Zemira.

"Katakan apa, ibu? Apa lagi yang harus kujelaskan?"

"Apa yang sebenarnya kau sembunyikan?! Anakmu pingsan karena kelaparan dan kehausan!"

"Dia sakit, ibu! Dia hanya mengigau! Jangan terus menyudutkanku!"

"Raya! Turunkan nada bicaramu! Kau sedang berbicara dengan mertuamu!"

Raya yang tadinya ingin berbicara lagi, terdiam setelah Ny. Zemira meng'skak'nya. Namun ia terlihat kesal karena tidak bisa membalas perkataan Ny. Zemira.

Bunga dan Isa saling melirik tatkala mereka melihat dan mendengar Arka yang terus mengeluh tentang rasa lapar dan hausnya. Mereka hanya bisa menunggu Kania atau Indira, dan mereka hanya diam mendengar suara Ny. Zemira dan Raya yang terdengar hingga kamar Arka.

"Paman Isa ..., berikan aku makan, aku juga haus," ucap Arka.

"Iya, sebentar, ya. Makanan enak akan datang hanya untukmu," kata Isa.

"Jangan lama-lama, aku tidak makan sejak kemarin pagi. Perutku sangat sakit."

Bunga lantas mengernyitkann dahinya. "Sejak kemarin pagi?" gumam Bunga. Istri Kevlar itu lalu kembali saling melirik dengan Isa. Mereka berdua tidak berani menanyakan hal apa pun pada bocah itu, sebab keadaannya tidak memungkinkan.

Tak lama kemudian, Indira datang membawa sup dan air hangat.

Di dalam kamar Raya, Ny. Zemira membuka pintu kamar itu sedikit dan mengintip keluar pintu, ia melihat Indira yang berjalan menuruni tangga sambil membawa nampan kosong, yang artinya Indira sudah mengantarkan makanan dan minuman pada Arka.

"Ayo kita keluar dan lihat bagaimana anakmu makan," ujar Ny. Zemira, ia lantas membuka pintunya dan keluar, berjalan menuju kamar Arka.

Raya hanya bisa menggeram sambil mengikuti langkah Ny. Zemira.

Di depan pintu kamar Arka, mereka melihat Arka yang makan dengan begitu lahapnya. Gelas yang di isi air hangat tadi sudah tidak berisi lagi, bahkan sop yang baru disajikan untuk bocah itu tadi sudah mau habis.

Jhana dan Tantri pergi ke dapur untuk meneguk air putih. Mereka berdua merasa heran dengan Kania dan Indira yang terlihat tegang dan saling menatap.

"Apa yang terjadi?" tanya Jhana.

"Ssshhhtt." Indira mengisyaratkan Jhana untuk diam.

"Apa? Ada apa dengan kalian?" tanya Tantri.

"Kalian akan paham situasinya nanti. Lagi pula kalian dari mana saja? Kenapa kalian tidak tahu apa yang terjadi?" ucap Kania.

"Kami tadi berada di gudang," jawab Jhana.

"Yah ..., menceritakan tentang Mona, Fina dan Zhani," timpal Tantri.

"Dimana anak-anak itu sekarang?" sambung Tantri.

Kondisi Arka terlihat lebih baik setelah makan dan minum. Ia tidak lagi terlihat lemas. Oleh karena itu, Ny. Zemira pun bertanya tentang apa yang terjadi pada diri cucunya itu sembari duduk disebelahnya.

Namun Arka tidak berani menjawab karena Raya terus menatapnya. Ny. Zemira mengerti bahwa Arka tidak menjawab karena tatapan Raya seolag mengancamnya, tapi ia tidak berhenti sampai disitu.

"Arka, apa kau sakit, sayang?" tanya Ny. Zemira. Namun lagi-lagi Arka hanya diam sambil menundukkan kepalanya.

"Raya, bisa kau keluar sebentar? Atau jangan menatapnya seperti itu," ujar Ny. Zemira.

"Memangnya salahku apa? Ada apa dengan tatapanku?" tanya Raya.

"Keluarlah sebentar," suruh Ny. Zemira.

Raut wajah Raya seketika berubah ketika Ny. Zemira menyuruhnya keluar hingga 2 kali. Ia terlihat sangat dongkol. Wanita itu lantas berjalan keluar dari kamar itu. Dari cara jalannya saja sudah terlihat kalau ia sedang sangat kesal.

'Awas saja kalau sampai dia buka mulutnya,' batin Raya. Ia memilih menjauh dari kamar itu, berjalan menuju halaman belakang dan berhenti di kolam renang.

Mona yang sedang bersembunyi dibelakang kursi lounger yang berada di dekat Raya pun menjadi panik ketika melihat Raya yang tidak menyadari keberadaannya, berada di dekatnya.

Saking paniknya, Mona yang tadinya ingin berdiri dan lari, malah terjedut dan membuat Raya menyadari keberadaannya.

"Kau lagi! Tidak bisakah kau dan saudara-saudaramu membuat hidupku menjadi tenang?!" seru Raya.

"Kalian membuatku terkontaminasi oleh virus kemiskinan kalian! Membuat anakku mau bergabung dengan orang miskin seperti kalian! Dan hal itu membuatku menghukumnya!"

"Tapi salah kami apa?" tanya Mona seraya berdiri.

"Diam kau!" bentak Raya, Mona sangat terkejut dengan bentakan itu. Raya lalu menghampiri anak sulung dari 3 bersaudara itu.

"Kalau sampai aku melihat wajah menjijikkan kalian lagi di daerah mansion ini, aku akan menghabisi kalian dengan cara yang sadis," ancam Raya.

"Tidak boleh! Bibi tidak boleh membunuh orang! Tuhan melarang hal itu!" ujar Mona.

"Diam kau! Diam!" Raya kemudian menjambak rambut Mona, hal itu lantas membuat Mona merintih kesakitan.

"Hari ini aku sangat geram! Dan itu karena kalian bertiga! Aku sangat geram denganmu dan adik-adikmu! Jadi matilah saja!" sambung Raya sambil mendorong Mona untuk masuk kedalam kolam itu.

"Aaaah! Tolong!" teriak Mona. Tentu saja ia berteriak, kolam itu memiliki kedalaman hingga 2 meter, sedangkan tinggi badannya tak lebih dari 135 cm, ditambah lagi dirinya tidak pandai berenang.

"Mati kau!" seru Raya sebelum akhirnya berjalan meninggalkan kolam itu.

avataravatar
Next chapter