97 Sudut Kanan

Sesampainya di kantor Polisi, Salma langsung masuk seusai membayar ongkos ojeknya. Ia pergi ke bagian administrasi dan menanyakan tentang Wanda.

Seorang Polisi kemudian membawanya ke sebuah ruangan dan menyuruh Salma untuk menunggu selama 2 menit bersama seorang petugas yang mengawasinya.

Salma duduk di sebuah kursi dengan meja di hadapannya, tasnya dipegang oleh penjaga tersebut untuk memastikan bahwa Salma tidak menyelundupkan barang apapun.

Sekitar 2 menit kemudian, Wanda datang dengan tangan diborgol bersama seorang Polisi. Polisi yang mengantar Wanda itu lalu pergi dan meninggalkan Salma dan Wanda bersama seorang petugas.

Salma tidak mengatakan sepatah katapun ketika Wanda duduk berhadapan dengannya, ia bingung harus berucap apa sekarang.

"Kau ... Bagaimana bisa kau tega menipu orang dengan uang palsu?" Akhirnya Salma bertanya.

"Tidak, itu bukan aku," ujar Wanda.

"Hah?"

"Pergilah ke kostku malam ini pukul delapan, aku memiliki sebuah rekaman yang berisi percakapanku dengan Khansa, itu akan membuat semuanya menjadi jelas."

"Ada apa dengan Khansa?"

"Lakukan saja apa yang kusuruh, pintu kostku tidak terkunci."

"Tapi, apa para Polisi tidak mengamankan kostmu?"

"Besok mereka baru akan mengamankannya, jadi kau punya waktu."

"Kau yakin aku tidak akan apa-apa? Aku mengkhawatirkan para Polisi."

"Aku akan mengurus yang satu itu."

"Bagaimana? Petugas itu pasti mendengar percakapan kita."

"Kau jangan pikirkan itu, datang saja ke kostku malam ini. Aku akan berbicara padanya setelah kau pergi."

"Tapi-"

"Terima kasih untuk kunjungannya, kalau tidak keberatan, aku ingin kau meminta Yahya dan Arvin juga datang mengunjungiku."

"Untuk apa?"

"Kau keberatan?"

Salma terdiam, Wanda terlihat benar-benar aneh sekarang. Wanita itu bersikap jauh lebih dingin dari biasanya, dan setiap perkataannya menunjukkan seolah ia akan mati.

"Tidak," jawab Salma.

"Yasudah."

"Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi kurasa aku akan pergi saja sekarang, aku akan datang ke kostmu nanti malam."

"Baiklah."

Salma lantas bangkit dari duduknya dan mengambil tasnya dari petugas itu. Ia lalu pergi dari kantor Polisi tersebut dengan rasa heran yang teramat sangat.

"Kau yakin dia akan datang?" tanya petugas itu pada Wanda.

"Entahlah, tapi pada jam sembilan nanti kalian sudah boleh mengambil rekaman itu lagi," ucap Wanda.

"Jadi dia ya yang berusaha kau rusak hubungannya?"

"Ya, dan kita lihat nanti, apa mantannya akan datang atau tidak."

***

Di mansion Dhananjaya, Bunga akhirnya pulang bersamaan dengan Raya. Raya yang memarkirkan mobil bersamaan dengan Bunga pun menyapa iparnya tersebut dengan wajah gembira.

"Hai."

"Hai?" balas Bunga dengan wajah bingung, terlebih lagi Raya langsung masuk ke mansion begitu saja.

'Ada apa dengannya?' batin Bunga.

***

Di dapur, Kania sedang memeriksa perangkap-perangkap tikus di sana, sementara Indira tampak sedang mencuci piring.

"Aduh, aku lupa mengisi perangkap-perangkap ini, padahal Ismail memberitahu padaku bahwa dia sudah membuang semua tikus yang terperangkap di sini kemarin," kata Kania.

Indira pun hanya bisa terkekeh. "Faktor usia," ujarnya sembari menggeleng-gelengkan kepala.

"Hu'um." Kania lantas membuka laci tempat racun tikus berada. Wanita paruh baya itu terdiam beberapa saat dan mengernyitkan dahinya ketika ia mendapati bahwa racun tikus tersebut ditaruh terlalu ke depan. Kebetulan laci itu hanya berisi racun cair itu, jadi Kania yang bertugas sebagai penaruh umpan di perangkap-perangkap tikus yang ada di dapur pun sudah hafal di mana seharusnya racun tersebut berada.

Ia selalu meletakkan racun tikus tersebut di ujung dan sangat kebelakang hingga menempel pada badan dalam laci tersebut agar tidak bisa dijangkau oleh anak-anak.

"Indira?" panggil Kania.

"Ya?" sahut Indira.

"Kau ada membuka laci ini setelah Nyonya Zemira keracunan?"

"Tidak, aku bahkan tidak pernah membuka laci itu. Untuk apa juga, kan? Isinya kan cuma sebotol racun tikus dan yang bertugas untuk memasang umpan kan bukan aku. Memangnya ada apa?"

"Ada hal yang janggal di sini," ujar Kania seraya mengeluarkan racun itu.

Indira lantas mengernyitkan dahinya. "Kenapa?"

"Racun ini tidak diletakkan pada tempatnya. Maksudku, tidak ada yang bersentuhan dengan laci ini selain aku di sini, dan kalian para pekerja sudah kuberitahu pada posisi di mana racun ini harus ditaruh beserta alasannya, kan?"

Indira mengangguk.

"Tapi meski begitu, aku yakin kalian sama sekali tidak pernah menyentuh racun ini, kan? Selain ketika Karin meracuni Nyonya Zemira," sambung Kania.

"Ya." Indira kini berhenti mencuci piring dan fokus menyimak omongan Kania.

"Karin yang baru dua minggu bekerja di sini pun sudah puluhan kali kuberitahu tentang racun ini. Aku berjaga-jaga, agar jika seandainya tiba-tiba aku sakit dan umpan harus ditaruh, kalian tahu bagaimana racun ini harus diletakkan agar tidak bisa dijangkau oleh anak-anak. Tapi bukankah ini aneh jika racun ini berada sangat dekat dengan pintu lacinya?"

"Tunggu, apa ini tentang Karin?"

"Ya, jika dia memang meracuni Nyonya Zemira menggunakan racun ini, seharusnya dia tidak asal menaruh racun ini. Aku tahu dia pintar, jadi jika dia memang melakukan itu, seharusnya dia menjalankan aksinya dengan sangat halus, termasuk dalam dalam peletakkan racun ini."

"Dia memang harus menaruhnya dalam posisi seperti itu agar kita para pekerja tidak curiga padanya, kan?"

"Ya, dia memang harus menaruhnya dalam posisi yang salah, tapi seharusnya dia tidak menaruhnya sangat dekat dengan pintu laci. Karin itu pintar, mungkin bisa dikatakan licik, dan dia cukup teliti, untuk mengecohku dan membuatku berpikir bahwa bukan dia yang telah meracuni Nyonya Zemira, seharusnya dia menaruh racun ini di sisi yang berlawanan dari tempat racun ini seharusnya ditaruh, tapi harus tetap menempel pada badan laci."

"Aku sedikit bingung."

"Itu bermaksud untuk benar-benar membuatku berpikir bahwa dia telah dijebak. Begini, sebut saja jika Tuan Farzin yang meracuni Nyonya Zemira, dia tidak tahu apa-apa tentang peraturan untuk peletakkan racun ini, kan? Jika seandainya dia sehat-sehat saja dan memang akan meracuni Nyonya Zemira, dia pasti akan lupa persisnya racun ini ditaruh di mana sebelumnya, tapi dia pasti akan memperkirakan antara sudut kiri dan sudut kanan, karena dia pasti akan sedikit ingat bahwa racun ini sebelumnya ditaruh di salah satu sudut, dan di sini dia pasti salah memilih sudut, dia menaruh racun ini di sudut kanan, padahal pada mulanya racun ini ada di sudut kiri. Dan pada keadaan ini, aku akan langsung tahu bahwa yang telah meracuni Nyonya Zemira bukan dari pihak pekerja, dan seharusnya, jika Karin memang meracuni Nyonya Zemira, dia akan melakukan hal itu untuk mengecohku," papar Kania.

"Tapi dalam kejadian ini, si pelaku menaruh racun ini tidak di salah satu sudut, yang artinya si pelaku tidak berusaha untuk mengingat di posisi mana racun ini ditaruh sebelumnya agar aksinya tidak berantakan di mataku. Atau dalam kemungkinan lain, dia sangat pelupa, sehingga dia bahkan tidak memperkirakan kedua sudut sama sekali, karena seseorang yang akan melakukan kejahatan pastilah akan sangat teliti," sambung Kania.

"Jadi kesimpulannya?" tanya Indira.

"Karin bukanlah orang yang meracuni Nyonya Zemira, seseorang dengan sifat pelupa tersangkanya, sebab dia tidak mengingat bahwa sebelumnya racun ini diletakkan di sudut."

"Tapi bagaimana jika pelakunya memang Karin? Maksudku, mungkin saja dia sengaja menaruh racun ini di depan agar kakak atau aku tidak berpikir bahwa dia yang telah meracuni Nyonya Zemira, karena jika menurut kakak seharusnya dia menaruh racun itu di sudut kanan untuk mengecoh kakak, maka dia akan gagal untuk membuat kakak percaya bahwa bukan dia yang telah meracuni Nyonya Zemira, buktinya sekarang jalan pikiran kak Kania seperti ini."

"Tidak, aku justru berpikiran seperti ini karena letak racun ini berada di depan, bukan di sudut kanan. Jika racun ini diletakkan di sudut kanan, maka kemungkinan besar pemikiran ini tidak akan lintas di pikiranku. Terletaknya racun ini depan justru membuatku berpikir segala macam hal tentangnya tadi, sehingga membuka luas pendapatku. Maksudku, jika saja tadinya racun ini diletakkan di sudut kanan, mungkin aku tidak akan seyakin ini bahwa Karin tidak bersalah sama sekali. Pikirkanlah baik-baik."

Indira lalu terdiam.

"Apa kalian diperbolehkan untuk bergosip saat sedang bekerja?" ucap Tamara yang tiba-tiba ada di pintu dapur. Ia mengejutkan Kania dan Indira.

"Engh." Kania dan Indira mendadak salah tingkah.

"Lanjutkan pekerjaan kalian," lanjut Tamara.

"Baik, Nyonya," kata Kania.

"Kak, tidak ada yang memiliki sifat pelupa di sini kecuali orangtua," bisik Indira pada Kania setelah Tamara pergi.

"Sssshh, fokus bekerja saja dulu, kalau kita lanjutkan pembicaraannya, bisa jadi sangat panjang, terlebih aku juga orangtua, kan? Bisa saja kau mencurigaiku."

"Hahahaha."

***

"Nyonya." Jhana memanggil Bunga yang sedang berada di lantai 3, ia terlihat baru keluar dari kamarnya.

"Hm?" sahut Bunga.

"Boleh saya bertanya-tanya sebentar pada Anda?"

"Kenapa tidak?"

"Mungkin pertanyaan-pertanyaan ini akan agak mengganggu karena akan menyinggung soal kehidupan pribadi anda, tapi saya tidak tahan untuk tidak menanyai hal ini pada anda."

"Tidak masalah, tanyakan saja, lagi pula aku juga ingin memberimu sebuah tugas khusus."

"Soal Nyonya Zemira? Dia sudah memintanya langsung pada saya."

"Ouh, tapi dia tidak mengatakannya padaku."

"Mungkin saja dia lupa."

"Entahlah, mungkin saja. Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Engh ...." Jhana tiba-tiba menjadi ragu untuk bertanya, ia ragu sebab siapapun pasti akan merasa risih jika pembantu mereka berusaha untuk mencari tahu tentang pasangan mereka melalui diri mereka. Jadi Jhana berusaha memposisikan diri sebagai Bunga.

"Mmm, tidak jadi, Nyonya, mungkin lain kali saja," ucap Jhana.

"Kenapa? Ayo tanya saja, tidak apa-apa," ujar Bunga.

"Lain kali saja."

"Baiklah, terserahmu."

'Sekarang, aku harus mengembalikan kartu keluarga mereka, tapi aku akan menanyakannya pada Salma dulu, di mana dia menemukan kartu keluarga itu,' batin Jhana.

avataravatar
Next chapter