13 Rutinitas Baru

Pagi hari di mansion Dhananjaya dipenuhi oleh senyuman. Shirina dan Arka bersiap untuk berangkat PAUD, Isa yang setiap hari mengantar mereka pun sudah siap untuk memulai kegiatannya.

Indira sedang membereskan meja makan yang baru saja dipakai oleh seluruh keluarga Dhananjaya untuk sarapan pagi ini, sedangkan Kania sibuk mencuci piring di dapur.

Ismail sedang memberikan kelinci-kelinci makan, dan Jaya sedang sibuk membersihkan kolam renang.

Tantri masih fokus meyedot debu seisi dalam mansion, di sisi lain Ayang membawa sebuah keranjang berisi pakaian yang siap dicuci ke lantai 3.

Bunga pun tak kalah sibuk dengan memasangkan dasi pada Kevlar yang akan berangkat kerja di kamar mereka.

"Terjun langsung ke gedung yang masih dalam proses pembangunan untuk kepentingan keluarga ini bukanlah pekerjaan yang mudah, terlebih lagi mulai hari ini untuk pertama kalinya ibu akan membiarkanmu membuat kesepakatan dengan klien baru. Sepertinya hari ini akan melelahkan bagimu, tapi usahamu hari ini, akan membuatmu menjadi bos besar seperti ayah dulu suatu saat nanti," ucap Bunga pada Kevlar sambil menepuk-nepuk jas Kevlar untuk membersihkan sedikit kotoran yang ada di jas tersebut.

"Yah, kau benar. Atas dukungan kau juga, hal itu akan tercapai suatu hari nanti," ujar Kevlar.

Bunga tersenyum. "Satu ciuman sebelum bekerja?" Bunga mengajak suaminya berciuman.

"Sudahlah, aku tidak punya waktu lagi untuk melakukan hal seperti itu." Namun Kevlar pergi meninggalkannya seorang diri di kamar.

Bunga pun terdiam.

'Kenapa semakin hari dia jadi seperti semakin menjauh dariku?' batin Bunga.

Dikala semua orang sedang sibuk dengan urusan mereka masing-masing, Raya malah kebingungan harus memakai perhiasan yang mana. Ia mengeluarkan seluruh kotak perhiasannya dan terus berpikir akan memakai perhiasan yang mana hari ini, dan akhirnya Raya memutuskan untuk hanya menggunakan sepasang anting dengan berlian yang sangat berkilau.

'Ini saja sudah bagus, tidak perlu norak seperti Bunga,' pikirnya.

Sementara itu, Ny. Zemira baru saja keluar dari ruangan kerjanya, dan secara tidak sengaja, ia melihat Arvin yang berjalan menuju pintu depan dengan pakaian yang rapi.

"Arvin?" panggilnya.

Arvin menoleh. "Ya?" sahut Arvin.

"Kau mau kemana berpakaian rapi seperti ini? Biasanya jam segini kamu hanya di kamar."

"Aku ... mau ikut mengantar Shirina dan Arka bersama Isa," jawab Arvin.

"Tumben sekali." Ny. Zemira terlihat curiga.

"I-iya, aku ingin memulai rutinitas baru yang lebih bermanfaat dari pada hanya menghabiskan waktu di kamar."

"Oooh, bagus kalau begitu."

Tiba-tiba seseorang membuka pintu depan yang akan dibuka Arvin.

"Paman, ayo cepat! Kami sudah menunggu paman dari tadi!" Dan ternyata orang itu adalah Shirina, gadis kecil itu menarik-narik tangan Arvin.

"Ibu, kami pergi dulu, ya," pamit Arvin, Ny. Zemira mengangguk seraya tersenyum.

Arvin dan Shirina pun masuk ke dalam mobil Isa, Arvin duduk di depan bersama Isa, sedangkan Shirina dan Arka duduk di bangku tengah.

"Kakak membuat alasan apa pada ibu?" tanya Isa pada Arvin.

"Bicara soal itu nanti saja, antar mereka dulu," jawab Arvin, Isa memutar kedua bola matanya.

Setelah kedua putranya dan cucu-cucunya pergi, Ny. Zemira pun berjalan menuju ruang tamu, namun ia berhenti tatkala Kevlar memanggilnya.

"Ibu?"

Ny. Zemira menoleh. "Ya? Ada apa?"

"Saya pergi dulu."

"Oh iya, iya. Selamat bekerja."

Kevlar pun berjalan keluar.

"Huft, rumah ini akan kembali ramai pada malam hari," gumam Ny. Zemira.

Ini baru pukul 06:30, tapi Dina sudah sampai di rumah makan Populer, ia mendapati Wanda dan Andra yang sedang bermesraan di tempat umum seperti itu.

"Pekerja dapur sudah datang?" tanya Dina yang berusaha merecoki kemesraan Wanda dan Andra, karena ia sendiri tidak nyaman dengan perbuatan mereka yang dianggapnya tidak pada tempatnya.

"Sudah," jawab Wanda.

"Semuanya datang cepat hari ini, ya."

"Tidak usah banyak basa-basi," sindir Wanda.

"Aku ... hanya berusaha akrab dengan seniorku," ucap Dina. Wanda mendengus.

Kemudian Andra dan Wanda kembali bermesraan.

'Mereka gila,' batin Dina.

"Kenapa pesanku belum dibalas oleh Isa?" gumam Dina.

"Apa hapenya mati? Atau dia sedang mengantar Shirina dan Arka?" lanjutnya.

Usai menyelesaikan masalah SPP Fina dan menyelesaikan urusan pekerjaan Jhana, Jhana dan Arini pergi ke sebuah kebun buah yang sangat besar.

"Ini kebun buah keluarga angkatmu?" tanya Arini.

"Iya," jawab Jhana.

"Arini, kau bisa bantu aku, kan?" tanya Jhana.

"Apa rencanamu?" Arini bertanya balik.

"Sepertinya aku akan bekerja di kebun ini saja dengan penyamaran, dengan begitu aku mungkin masih bisa memantau anak-anakku dan keluarga Dhananjaya sekaligus. Jadi aku ingin kau bertanya apakah disini ada lowongan pekerjaan," suruh Jhana.

"Baiklah, tidak masalah, bagaimana jika tidak ada?"

"Di Jakarta, mereka memiliki sepuluh kebun buah yang sangat besar seperti ini, dan disini sepertinya mereka juga memiliki lebih dari satu kebun buah, jadi jika disini tidak ada lowongan pekerjaan, maka kita akan pergi ke kebun buah yang lain."

"Dari mana kau tahu kalau mereka juga memiliki kebun buah di Jogja?"

"Awalnya aku sudah menduga hal itu, dan aku semakin yakin ketika tadi pagi saat kita sarapan di rumah pak Ustad Alman, aku melihat televisi dan menonton berita tentang perkembangan delapan kebun buah super luas milik keluarga Dhananjaya di Jogja, dan aku hanya mengingat lima alamat."

"Begitu rupanya. Tapi kenapa kau memilih bekerja di kebun buah mereka? Kenapa tidak di bidang yang lain?"

"Karena sepertinya hanya kebun buah mereka yang membutuhkan lebih banyak pekerja."

"Baiklah kalau begitu, aku masuk dulu," ujar Arini.

Jhana mengangguk dan akan menunggu Arini kembali.

"Dadah!" seru Shirina pada kedua pamannya, Isa kemudian melambaikan tangan kanannya, dan mulai menginjak gas.

"Jadi, apa alasan yang kakak berikan pada ibu?" tanya Isa pada Arvin sambil menyetir.

"Oh, ayolah, apa itu sangat penting untukmu?" Arvin menolak untuk menjawab dan hanya sibuk dengan ponselnya.

"Kakak sudah berjanji untuk menjawabku setelah kita mengantar mereka berdua."

"Dan aku bertanya, apa hal itu sangat penting untukmu?"

"Tidak, aku hanya ingin tahu apa reaksi ibu ketika tahu kalau kakak sebenarnya memintaku untuk diantar ke sebuah kasino, bukan hanya sekedar ikut denganku untuk mengantar mereka berdua."

"Jangan macam-macam kau, awas kalau kau sampai buka suara," ancam Arvin.

"Katakan hal itu untuk diri kakak sendiri. Jangan macam-macam kakak denganku, sedikit saja kakak melakukan kesalahan padaku, aku akan membocorkan rahasia ini."

"Dasar!" sewot Arvin.

"Oh iya, tolong hidupkan ponselku, mungkin aku sudah menerima banyak pesan sejak aku tidur semalam," suruh Isa.

"Enak saja kau main suruh-suruh," tolak Arvin.

"Ok aku akan membongkar rahasia ini pada ibu," ancam Isa.

Arvin lantas menatap tajam adiknya itu, Isa membalasnya dengan senyuman penuh kemenangan. Arvin pun mengalah dan melakukan apa yang disuruh oleh Isa.

'Kasino pun sekarang ada yang buka pada pagi hari, huft ada-ada saja,' batin Isa.

"Ada pesan?" tanya Isa.

"Ada," jawab Arvin.

"Dari siapa?"

"Dina."

"Ah, bacakan!"

Mendengar hal itu, Arvin pun hanya bisa menggerutu.

"Lagian siapa suruh kakak memaksaku untuk mengantar kakak ketempat perjudian seperti itu?" ujar Isa seraya tertawa melihat kekesalan Arvin.

"Aku menyuruhmu mengantarku karena aku tidak pandai membuat alasan sepertimu."

"Maksud kakak?" tanya Isa.

"Jika ada keluarga kita yang bertanya tentang keberadaanku, pasti jawaban bohongmu akan meyakinkan mereka."

"Dari mana kakak bisa mengira kalau aku akan menjawab pertanyaan mereka tentang keberadaan kakak secara bohong?"

"Aku akan menghajarmu jika kau menjawab secara jujur pada mereka."

"Ups. Bacakan saja," suruh Isa, lagi.

"Isa," kata Arvin.

"Apa?" sahut Isa.

"Iya, Isa," ucap Arvin.

"Iya, apa?!" sahut Isa.

"Dia bilang, 'Isa', bodoh!" ujar Arvin.

"Astaga, lain kali katakan secara lengkap, kan bisa kakak bilang 'Dina hanya mengirimkan namamu',"

"Malas," jawab Arvin.

Isa membuang nafasnya secara kasar. "Lanjutkan," suruhnya.

"Tidak ada lanjutannya, dia hanya mengirim itu."

"Kapan dia mengirimnya?" tanya Isa.

"Dua puluh menit yang lalu," jawab Arvin.

"Ok, jawab 'Iya sayangku, cintaku, belahan jiwaku, separuh nyawaku, tulang rusukku, ada apa? Jangan pikirkan tentang ciuman kita semalam'," suruh Isa, padahal semalam mereka tidak berciuman dan hanya sibuk mencari Jhana.

"Kau lebih menjijikkan dari pada ingus, aku jadi malu bersaudara denganmu," ceplos Arvin.

"Kakak tahu? Itu memang benar, tapi menyakitkan, karena kenyataan itu sering menyakitkan. Tapi, hei! Tulis saja apa yang kusuruh tadi!" sewot Isa.

"Sudah," jawab Arvin.

"Cepat sekali. Mari sini biar aku lihat."

"Naaaah!" Arvin menyodorkan ponsel Isa dengan jarak 10 cm dari wajah adiknya itu.

"Ehehehe, ok, ok," ucap Isa.

Sesaat kemudian suasana menjadi hening, namun akhirnya Arvin angkat bicara.

"Apa kalian benar-benar berciuman semalam?" tanyanya.

Isa sontak saja tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Arvin, ia tidak menyangka bahwa kakaknya itu akan percaya dengan perkataan bohongnya.

"Kenapa? Aku kan hanya bertanya, tidak ada hal yang lucu," kata Arvin.

"Astaga, ternyata kakak percaya akan hal itu," ujar Isa.

"Sudah kuduga hal itu tidak benar," dengus Arvin.

"Hei, aku belum menjawab benar atau tidaknya," ucap Isa.

"Tidak perlu, aku sudah tahu jawabannya, sudah tentu tidak, Dina adalah tipe perempuan yang manjaga segala hal sensitif di tubuhnya, bahkan dia tidak akan membiarkan seorang pria mencium pipinya, tidak peduli jika itu tunangannya sendiri."

"Eh? Dari mana kakak tahu akan hal itu? Apa kalian pernah berbicara tentang hal seperti itu? Aku saja tidak tahu akan hal itu."

"Tidak. Tapi hal itu mudah ditebak."

"Hm? Iya kah?"

"Kau saja yang terlalu bodoh."

"Kalau begitu katakan padaku, apa hal yang bisa membuatku terlihat pintar di matamu, kak?" tanya Isa.

"Hal-hal yang kulakukan akan membuatmu terlihat lebih pintar. Berjudi, minum, itu adalah hal-hal yang keren yang akan membuatmu terlihat sedikit pintar dari sekarang," jawab Arvin.

"Maaf? Apa kakak membicarakan tentang hal-hal bodoh yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki hal bermanfaat di kehidupannya?"

"Aku malas berdebat denganmu, jadi terserahmu saja mau berkata apa."

"Humph! Kakak tidak pernah menang jika berdebat denganku."

Arvin menggelengkan kepalanya.

Yahya akhirnya datang, dan dengan begini, Dina hanya menunggu kehadiran Jhana.

'Apa kak Jhana akan datang?' batin Dina.

Tiba-tiba ponselnya berdering.

Iya sayangku, cintaku, belahan jiwaku, separuh nyawaku, tulang rusukku, ada apa? Jangan pikirkan tentang ciuman kita semalam

"Tentang ciuman kita semalam?" gumam Dina.

"Apa yang dibicarakannya?" sambungnya.

"Apa semalam dia bermimpi kalau kami berciuman? Argh! Dia bermimpi hal negatif tentangku," gerutu Dina.

Isa dan Arvin akhirnya sampai di kasino yang dituju oleh Arvin, Arvin pun lantas langsung turun tanpa berterima kasih.

"Sepertinya otaknya sudah dilarutkan oleh alkohol," sewot Isa.

Isa kemudian mengecek ponselnya untuk membalas sebuah pesan yang baru saja masuk. Namun ia justru dibuat kaget dan merasa lucu dengan jawaban yang di dapatkannya dari Dina.

I'M GONNA KILL YOU

Pemuda itu lalu terkekeh melihat jawaban calon istrinya tersebut.

We'll die together, babe

Balasnya.

Cukup bullshitnya, datanglah kemari, aku ingin membicarakan sesuatu padamu

Balas Dina.

'Bullshit? Dia mengatakan kalau kata-kata sayangku adalah bullshit?' batin Isa.

Ok

Balas Isa.

"Ini masih pagi, tapi kenapa sudah ada dua orang yang membuatku kesal!" gerutu Isa yang langsung tancap gas.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Jhana melihat Arini berjalan kearahnya.

"Bagaimana?" tanya Jhana.

"Tidak ada lowongan kerja di kebun buah ini, semua pekerja yang dibutuhkan sudah ada," jawab Arini.

"Huft." Jhana membuang nafasnya.

"Beristirahatlah dulu, baru kita berangkat ke kebun buah Dhananjaya lainnya. Tidak usah terburu-buru, ini baru pukul tujuh lewat lima, kau terlihat lelah," suruh Arini.

"Tidak, aku tidak akan membiarkan masalahku dan keluarga Dhananjaya semakin berlarut-larut, menemukan lowongan pekerjaan di kebun buah Dhananjaya adalah langkah awal yang bagus untuk memperbaiki kesalahanku, meskipun kesalahanku tidak bisa dilupakan," ucap Jhana.

"Iya, tapi beristirahat sebentar bukanlah ide yang buruk. Tidak akan ada yang bisa menemukanmu jika kita beristirahat sebentar, Dina tidak akan bisa menemukan jejakmu."

"Arini, waktu adalah suatu hal yang sangat berharga yang tidak bisa di ulang, aku tidak ingin bergelak lambat dan membuang waktu dengan beristirahat. Ayo kita lanjutkan perjalanan kita," ajak Jhana.

"Tapi, Jhana ..."

"Sudah, tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Ayo!"

Arini pun hanya menggelengkan kepalanya melihat ke-kerasan kepala Jhana.

avataravatar
Next chapter