91 Mematung

Usai menyadari bahwa nyawa Ny. Zemira benar-benar sedang berada di ujung jurang, Jhana pun kembali ke mansion Dhananjaya dengan nota belanjaan itu.

'Nota ini bisa menjadi bukti pertamaku tentang bibi Tamara, selanjutnya aku harus mengetahui untuk apa racun sebanyak itu dia beli. Kalau dia ingin meracuni ibu, maka seharusnya satu jenis racun saja cukup,' batin Jhana.

***

Di rumah Jacob, Jacob dan Jasmine sedang membicarakan Juliet yang hingga sekarang tak ada kabarnya.

"Kita mencurigai kalau dia berada di mansion Dhananjaya, jadi kenapa sampai sekarang kau melarangku untuk datang ke sana? Bahkan kau melarangku untuk menghubungi Bunga. Baik kak Juliet mau pun Bunga tidak memberi kabar apa-apa pada kita sampai sekarang, jadi kuharap hal ini bisa mengubah jalan pikiranmu," ucap Jasmine.

Jacob hanya terdiam mendengar ocehan adiknya itu.

"Baiklah, batasnya besok, lalu kita akan mulai mencarinya. Tapi aku rasa kita harus mendatangi Romeo lebih dulu," ujar Jacob.

"Sidang perceraian mereka belum dimulai, jadi Romeo tidak mungkin bertemu dengan kak Juliet akhir-akhir ini."

"Kita tidak mendapatkan informasi apapun dari Juliet tentang sidang perceraiannya, jadi bisa saja sidang itu sudah dimulai."

"Tapi ini terlalu cepat."

"Segala kemungkinan bisa terjadi, lagi pula tidak ada salahnya kita bertanya kepada Romeo jika bertanya kepada bibi Vey saja kita bisa."

Jasmine menghela napas sebelum berucap, "Baiklah."

"Ada kabar tentang kak Jamal? Seharusnya dia sudah berada di Jogja minggu ini, kan?" tanya Jasmine.

"Dia tidak bisa kuhubungi, entah kenapa ponselnya selalu mati ketika aku menghubunginya," jawab Jacob.

"Bagaimana dengan kak Johan?"

"Dia akan tiba sekitar dua minggu lagi."

"Kau tidak menceritakan tentang kak Juliet kepadanya?"

"Tidak. Hei, apa kau tidak berkomunikasi dengan mereka? Kenapa kau bertanya tentang mereka padaku?" tanya Jacob sambil mengernyitkan dahinya.

"Bukannya saudara-saudaraku paling anti jika aku menghubungi mereka?" sindir Jasmine, Jacob hanya terdiam.

***

Sementara itu, Raya yang sedang berada di kamarnya seorang diri, memikirkan sebuah hal yang tiba-tiba melintas di pikirannya.

'Ibu Zemira bilang rasa obatnya menjadi aneh kemarin, apa itu ulah dari ibu?' batin Raya. Ia lalu mengunci pintu kamarnya dan menggeledah barang-barang Tamara, namun ia tidak menemukan hal-hal mencurigakan dari barang-barang ibunya itu.

"Apa yang sebenarnya dia lalukan?" gumam Raya. "Aku harus lebih berhati-hati padanya," sambungnya.

***

Ny. Zemira baru saja selesai pakaian sekarang, setelah sebelumnya ia baru mandi setelah lebih dari 24 jam tidak membasuh tubuhnya dengan air. Ia sedang sendirian di kamarnya sekarang, sementara Tn. Farzin diajak oleh Isa dan Dina pergi ke halaman belakang untuk melihat-lihat pelaminan mereka yang sudah 95% jadi. Pelaminan itu baru bisa rampung sekitar H-2 pernikahan Isa dan Dina, sebab beberapa bunga impor yang menjadi hiasan pelaminan tersebut baru bisa sampai sekitar seminggu lagi.

Di kamarnya, Ny. Zemira meraih obat-obatnya, ini adalah waktu baginya untuk meminum obat-obat yang sebenarnya adalah racun itu. Ia merasa sangat berat untuk meminum obat-obat itu lagi, sebab di lidahnya, obat-obat itu benar-benar terasa tidak enak.

'Aku harus meminum ini semua agar aku benar-benar pulih,' batin Ny. Zemira, ia merasa sangat sulit untuk sekedar meminum racun-racun yang dipikirnya sebagai obat itu.

"Sedikit sup buatan Karin mungkin akan membantuku untuk menelan obat-obat ini," gumamnya. Wanita tua itu kemudian pergi ke dapur dengan obat-obatnya, berharap ia mendapati Jhana di sana.

***

Di dapur, Jhana sedang membongkar seluruh laci dan rak untuk menemukan racun-racun yang dibeli oleh Tamara, namun ia tidak menemukan apa yang ia cari, sebab racun-racun itu berada di tangan Ny. Zemira.

"Karin?" ucap Ny. Zemira ketika memasuki dapur, ia terlihat heran dengan Jhana yang tampaknya sedang mencari sesuatu yang penting.

"Y-ya, Nyonya?" sahut Jhana, ia langsung berdiri menghadap ke ibu angkatnya itu sambil menyembunyikan struk belanjaan Tamara di belakang punggungnya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Ny. Zemira.

"S-saya?"

"Ya, siapa lagi?"

"S-saya ... Saya sedang mencari lada hitam."

"Itu lada hitam." Ny. Zemira menunjuk botol lada hitam yang ada di dekat kompor bersama botol garam dan lada putih.

"Oh, i-iya."

"Ada apa denganmu?"

"M-maksud saya lada hitam yang masih utuh, bukan yang bubuk."

"Kalau di sini habis, kau bisa mengeceknya ke gudang bahan makanan, atau tanya saja pada Kania atau Indira."

"Oh, iya, ada mereka berdua, ya? Kenapa saya tidak menanyakannya pada mereka saja, ya?"

Ny. Zemira lantas memutar sempurna kedua bola matanya. 'Aku sudah tidak heran lagi dengan tingkah lakunya,' batin Ny. Zemira.

Jhana secara tidak sengaja melirik obat-obat yang dibawa oleh Ny. Zemira, ia lalu mengernyitkan dahinya.

"Ngomong-ngomong, anak-anaknya teman Dina mengatakan kalau sup yang mereka berikan padaku tadi adalah buatanmu, apa itu benar?" ujar Ny. Zemira.

"Ya, memangnya ada apa, Nyonya?" tanya Jhana yang tidak mengalihkan tatapannya dari obat-obat tersebut.

"Itu enak, aku tahu kau tidak menaruh racun di dalamnya."

Mendengar hal ini, Jhana akhirnya mengalihkan tatapannya dari obat-obat Ny. Zemira. 'Jadi yang dikatakan oleh mereka bertiga benar, ibu menyukai supku,' batin Jhana.

"Langsung ke intinya saja, Nyonya, saya tahu kalau Nyonya tidak akan memuji saya secara cuma-cuma," kata Jhana.

"Bagus, kau menyadarinya," ucap Ny. Zemira. "Aku hanya ingin kau terus membuatkannya untukku setiap hari, sup itu akan menjadi makananku untuk pagi, siang dan malam, aku tidak akan memakan apapun selain sup itu," lanjutnya.

"Hah? Saya paham jika anda menyukainya, tapi anda juga perlu karbohidrat, dari nasi contohnya, protein dari telur dan gizi-gizi lain seperti ikan, bukan hanya sup saya."

"Aku akan memakannya bersama nasi. Supmu memiliki banyak sayuran, jadi aku tidak perlu telur atau yang lainnya lagi."

"Ya, tapi-"

"Kupikir kau akan menambahkan kepiting atau udang di supmu."

Jhana lalu terdiam. "Kenapa anda hanya ingin memakan sup saya setelah keracunan yang anda alami?"

"Aku benci untuk menjelaskannya padamu, tapi, kuakui supmu memang sangat enak, itu membantuku untuk bisa meminum obat-obat ini."

"Memangnya ada apa dengan obat-obat itu? Saya perhatikan Nyonya biasa-biasa saja ketika meminum semua itu."

"Ya, tapi, obat-obat ini terasa sangat tidak enak, dan supmu lah yang kurasa akan membuatku sanggup untuk meminum semua obat ini."

"Kalau enak, namanya tentu bukan obat, Nyonya."

"Aku tahu bagaimana rasanya obat, kau tidak perlu mengatakan hal itu padaku," sewot Ny. Zemira.

"Jika tahu, maka untuk apa Nyonya mengatakan kalau rasa obat-obat itu tidak enak?"

"Aku tahu bagaimana pahitnya obat, tapi kemarin, obat-obat ini terasa tidak enak, aku sangat ingat rasanya, padahal aku belum meminumnya lagi selama hampir dua puluh jam."

'Ya Tuhan,' batin Jhana. "Boleh saya lihat obat-obat itu?" ucap Jhana sembari mendekat ke Ny. Zemira.

"Kuperhatikan kau terus melihat obat-obat ini dari tadi."

"Maksud saya, berikan obat-obat itu pada saya."

Ny. Zemira lantas menuruti permintaan Jhana, ia memberikan semua obat itu kepada Jhana. Jhana kemudian memeriksa setiap obat itu, mulai dari melihat warna, bentuk, bau dan teksturnya.

"Hei! Jangan menyentuhnya!" seru Ny. Zemira.

Tanpa mempedulikan ibu angkatnya, Jhana pergi ke pintu dapur, ia lalu celingak-celinguk ke luar pintu, dan setelahnya menutup pintu tersebut.

"Apa yang kau lakukan?!" tanya Zemira yang merasa tidak aman, sebab kini di dapur hanya ada dirinya dan Jhana dengan pintu yang tertutup.

"Nyonya, pada saat anda meminum obat-obat ini di hari pertama, apa rasanya biasa-biasa saja? Maksud saya, anda mengatakan rasa obat-obat ini menjadi tidak enak kemarin, apa rasa itu berbeda dari rasa saat anda meminum obat-obat ini pada hari pertama?" Jhana bertanya dengan penuh selidik, seolah ia adalah penginterogasi dari sebuah kasus kejahatan besar.

"Tentu saja iya, kalau tidak aku tidak akan mengeluh soal rasanya," jawab Ny. Zemira.

"Pada saat anda meminumnya di pagi hari, apa rasanya belum berubah?"

"Hah?" Ny. Zemira terlihat tidak menyangka kalau pertanyaan ini akan diterimanya, oleh karena itu ia berpikir keras sesaat untuk mengingat semua kejadian di hari kemarin.

"Y-ya, rasa obatnya menjadi aneh pada saat aku meminumnya di siang hari," jawab Ny. Zemira.

"Oh, astaga," lirih Jhana.

"Apa? Ada apa?" tanya Ny. Zemira.

"Anda ingin saya membuatkan anda sup untuk menu makanan sehari-hari anda, kan?"

"Ya, seharusnya Bunga yang akan berbicara soal hal ini padamu, dan kau akan mendapatkan tugas khusus yang akan memberimu gaji tambahan, tapi kupikir aku saja yang akan berbicara langsung padamu, jadi jangan kau permainkan atau kau peras aku, mentang-mentang aku yang memintanya langsung padamu."

"Saya tidak terpikir akan hal itu sama sekali, malah sebaliknya, saya akan menolak bayaran untuk membuatkan anda sup."

Ny. Zemira mengernyitkan dahinya. "Hah?"

"Tapi ada syarat yang harus anda penuhi jika anda ingin saya terus membuatkan sup untuk anda."

"Argh, apa syaratnya?"

"Anda harus membuang semua obat ini, dan hanya kita yang boleh tahu tentang pembuangan obat-obat ini."

"A-apa? Apa kau sudah gila?! Ini adalah obat-obat yang kubutuhkan! Obat-obat ini yang akan membuatku sembuh, kau-! Argh! Dengar! Aku akan membayarmu berapapun untuk membuatkanku sup asalkan kau tidak memberikan syarat ini padaku!"

"Saya tidak ingin dibayar untuk membuatkan anda sup, berapapun anda menyediakan uang, saya tetap akan menolaknya, dan saya tidak akan membuatkan anda sup sampai anda membuang semua obat ini. Pikirkan lagi, saya tidak akan menerima bayaran untuk itu."

"Tapi, ini tidak mungkin kulakukan! Kalau begitu lebih baik aku menelan semua obat ini tanpa harus ada sup darimu!"

"Tidak, ini semua bukan obat, Nyonya!" Jhana akhirnya memberanikan diri untuk membentak Ny. Zemira, hal ini tentu saja membuat Ny. Zemira terkejut. Jhana langsung tersadar akan hal ini dan ia tidak menyangka dengan apa yang dilakukannya barusan, ia membuat Ny. Zemira syok.

"K-kau, kau benar-benar berusaha membunuhku," ujar Ny. Zemira, ia lantas berniat untuk keluar dengan obat-obatnya.

"Itu semua bukan obat, tapi racun dari Nyonya Tamara." Jhana akhirnya to the point dengan nada bicara yang pelan, ia tidak punya pilihan lain untuk menyelamatkan ibunya selain mengatakan hal ini, dan tentu saja Ny. Zemira kaget dengan pernyataan Jhana barusan, langkahnya terhenti dan ia mematung di depan pintu.

avataravatar
Next chapter