2 Makan Malam

   Jhana kembali memikirkan kata-kata Mona, 'Aku ingin bertemu dengan ayah, karena mungkin cuma ayah yang bisa memahami perasaanku! Aku tahu, ayah selalu memikirkan kami, disuatu tempat yang aku tidak tahu, di dunia atau akhirat.'

Pertanyaan demi pertanyaan muncul dipikirannya.

Apa mungkin Mona masih mengingat tentang Rasyid ayahnya?

Apa dirinya tidak pernah memahami perasaan anaknya?

Apa ia tidak bisa menjadi ibu yang baik?

Apa anak-anaknya menderita dan tidak pernah bahagia?

Dan tanpa ia sadari, rumah makan tempatnya bekerja, rumah makan Populer, sudah di depan matanya.

"Oh, hai Nyonya besar," sapa Wanda dengan sinisnya. Jhana berusaha mengabaikannya dengan cara berlalu mencari celemeknya, namun Wanda menahan tangan kirinya, dan mengajaknya untuk berbicara.

"Nyonya besar, sekarang jam berapa? Hm?" tanya Wanda.

"Tiga," jawab Jhana.

"Anda pergi sejak jam berapa Nyonya besar?"

"Setengah satu."

"Semuanya, lihat, seorang janda dengan tiga anak berusaha untuk menjadi bos ditempatnya bekerja. Bekerja sesuka hatinya, dan mengambil jam istirahat semaunya, luar biasa," sindir Wanda.

'Mereka gila, bertengkar ditempat seperti ini, untung saja sedang tidak ada pelanggan,' pikir Yahya.

"Jika alasanmu masih dengan masalah pribadi, masalah pribadi dilarang selama bekerja, itu adalah salah satu peraturan untuk bekerja disini, aku yakin pak Toni memberikan peraturan yang sama kepadamu," sambung Wanda.

"Wanda, kali ini berbeda," ucap Jhana.

"Dua tahun aku bekerja disini, dan aku selalu mendengar alasan yang berbeda, kau adalah pembuat alasan terbaik yang pernah kutemui."

Jhana terdiam. "Jam tiga adalah waktu istirahatmu, sampai dengan jam lima, tidak ada waktu untukmu beristirahat lagi, hari ini kau mengurangi jam kerjamu sendiri selama setengah jam, dan itu melanggar aturan yang ada disini," pungkas Wanda.

"Bukan kau yang berkuasa disini, kau tidak punya hak untuk mengatur pekerja yang lain." Jhana membela diri, sebab bila tidak ada waktu untuknya beristirahat, maka dirinya tidak akan makan selama belasan jam dengan jam kerja yang sama melelahkannya seperti biasa.

"Hei Jhana! Katakan hal itu untuk dirimu sendiri! Berkaca sebelum berbicara! Kau tidak punya hak untuk mengambil keputusan sendiri disini." Wanda merasa geram.

"Tapi aku tidak pernah mengatur pekerja lain."

"Aku satu-satunya yang berhak mengaturmu saat seperti ini datang! Aku yang bekerja keras saat kau tidak ada! Harusnya kau berterima kasih ke aku!"

"Sebuah pekerjaan baik yang berat, akan terasa menyenangkan apa bila dikerjakan dengan ikhlas. Lebih baik tidak usah dikerjakan dari pada tidak ikhlas, karena ketidak-ikhlasan itu akan dirasakan yang lainnya juga."

"Kau menantang?! Punya otak apa tidak?! Kalau tidak dikerjakan rumah makan ini bisa rugi! Makanya jangan bertindak sesuka hati!"

"Wanda, tapi kau tidak mengerti," kata Jhana.

"Halah sudahlah! Bisa busuk lama-lama telinga aku mendengar suaramu terus, dasar perempuan tidak jelas."

"Maksudmu apa?!" Jhana mulai naik pitam.

"Jelas kan? Perempuan sepertimu, pasti perempuan yang hamil diluar nikah, lalu diusir oleh keluarga sendiri. Haha, ini karma untukmu, dasar perempuan murahan."

Melihat situasi memanas, Yahya yang menggantikan Dina pada saat jam istirahat Dina pun mulai berdiri dan menghampiri 2 wanita tersebut. Pekerja yang mendapatkan tugas cuci piring dan memasak pun mulai keluar dari dapur untuk melihat ribut-ribut apa yang sedang terjadi.

Jhana melayangkan tangan kanannya untuk menampar Wanda, namun berhasil ditahan oleh Yahya.

"Apa?! Mau nampar?! Tampar aja! Kau pikir aku takut denganmu, iya?! Mentang-mentang kau senior disini?! Hei! Aku tidak pernah kalah dari orang yang tidak punya harga diri!" teriak Wanda.

"Sudah, sudah, kalian memancing semua orang untuk datang kesini, malu dilihat orang." Yahya berusaha melerai mereka berdua, sedangkan Andra hanya diam tak berkutik.

Emosi Jhana tampaknya mulai turun, ia melemaskan tangannya dan mulai menangis.

"Tidak usah sok suci kau!" lanjut Wanda. Hanya 1 kata yang dapat diucapkan oleh Yahya. "Sudah."

"Satu hal yang harus kau ketahui, biasanya seseorang yang berkata hal buruk mengenai orang lain, jauh lebih buruk dari pada orang yang dibicarakannya," kata Jhana. Tak terima dengan perkataan Jhana barusan, Wanda berusaha meraih rambut Jhana untuk dijambak, namun Yahya berhasil mencegahnya.

"Sudah, sudah, kalau kalian ketahuan pak Toni bertengkar seperti ini, kalian berdua bisa dipecat. Selama kalian tidak melanjutkan pertengakaran ini, kami semua pekerja disini masih bisa menjaga mulut kami untuk tidak memberi tahu pak Toni tentang pertengkaran ini. Makanya aku bilang, sudah," ujar Yahya.

Untuk sesaat, suasana berhasil hening, namun Wanda langsung angkat bicara. "Jhana, disini urusan kita berakhir, namun tidak dengan diluar. Awas kau." ia kemudian pergi ke kamar mandi. Tepat ketika Wanda masuk ke kamar mandi, Dina datang.

Gadis itu tampak bingung dengan mematungnya seluruh pekerja di rumah makan itu, dengan menghadap ke arah Jhana.

"Ada apa ini?" hanya pertanyaan itu yang bisa dilontarkannya. Jhana menjawabnya dengan gelengan kepala.

"Kenapa kau cepat sekali datangnya, Din?" tanya Yahya yang berusaha mencairkan suasana.

"Perasaan aku tidak, ini kan sudah jam tiga lebih, hampir setengah empat," jawab Dina. Seluruh pekerja baru sadar kalau sekarang sudah mendekati pukul setengah empat sore, mereka semua pun kembali pada tugas masing-masing, terutama yang berada di dapur.

"Kak Jhana?" panggil Dina, setelah semuanya bubar.

"Ya?" sahut Jhana.

"Kakak tidak apa-apa, kan?"

"Tidak, tidak." Jhana melemparkan senyuman manis, lalu mengalihkan pembicaraan. "Besok jadi kan?"

"Besok? Besok ada apa?" Dina tampak heran.

"Ya ampun, Din, besok kan Rabu, acara makan malam keluarga tunanganmu loh, masa kau lupa."

"Oh iya, astaga aku lupa! Besok sudah hari Rabu, dan ini hari Selasa, aku pikir ini masih hari Senin! Haduh! Aku belum menyiapkan pakaian untuk acara itu, lagi!" Dina terlihat panik ketika sadar bahwa hari ini adalah hari Selasa dan acara makan malamnya adalah besok.

Jhana hanya tertawa melihat tingkah juniornya itu, entah mungkin karena banyak mendapatkan tugas kuliah, gadis itu menjadi lupa hari.

    Malam hari tiba, jam menunjukkan pukul 21:10, banyak pekerja yang sudah pulang, dan yang tersisa hanya Yahya, Dina dan Jhana. Seharian ini adalah hari yang sangat melelahkan untuk Jhana, ia menghadapi banyak masalah, terlebih ia hanya makan saat sebelum berangkat bekerja, dan malam ini adalah kali kedua dirinya makan selama satu hari ini.

"Kalian tidak pulang?" tanya Yahya.

"Aku pulang bersama kak Jhana," jawab Dina.

"Aku akan menunggu sampai pak Toni datang dan kita bertiga akan pulang pada jam yang sama." Jhana memberikan jawabannya.

"Jhana, ini tugasku untuk menjadi yang paling terakhir pulang dan menunggu pak Toni datang untuk mengunci pintu rumah makan ini, kau tidak perlu merasa bersalah atas kejadian tadi siang. Bukan berarti kau harus menggantikan setengah jam itu dengan cara seperti ini, kasihan anak-anakmu dirumah, pasti mereka menunggumu," ucap Yahya.

"Tidak, tidak apa-apa, anak-anakku akan baik-baik saja." Jhana masih dalam pendiriannya.

"Memangnya tadi siang ada apa, ya? Kok rasanya hanya aku yang tidak tahu." Dina masih penasaran.

"Jhana berantam dengan Wanda," jawab Yahya.

"Berantam? Kenapa?"

"Yahya..." Jhana mengisyaratkan kepada Yahya untuk tidak memberitahukan kejadian tadi siang pada Dina.

"Kalau aku tidak memberitahunya, dia akan terus bertanya." Yahya memberi alasan. Jhana pun tak berkutik lagi.

"Wanda merasa keberatan karena Jhana kembalinya telat, dan dia mempermasalahkan kalau Jhana pergi selama dua jam setengah bukan pada jamnya untuk istirahat," jelas Yahya.

"Hanya itu? Tapi, kenapa semua orang di dapur sampai keluar?"

"Kau tahu sendiri kan bagaimana sifat Wanda. Tentu saja pertengkaran mereka semakin menggelegar apa bila salah satu pihak adalah Wanda."

Dina hanya mengangguk, tanda ia mengerti. Tak lama kemudian, pak Toni pemiliki rumah makan Populer pun datang.

"Loh? Kalian berdua kok belum pulang?" tanya pak Toni kepada Dina dan Jhana.

"Iya, pak, kami berdua lagi mau menemani kak Yahya," jawab Dina.

Jhana melirik Dina, sepertinya Dina mengerti kalau yang harus dikatakan bukanlah tentang perasaan bersalah Jhana, dan masalah ini harus dirahasiakan dari pak Toni.

"Oh, begitu," jawab pak Toni. Ketiga karyawannya kemudian keluar dan ia pun mengunci pintu rumah makan miliknya.

"Saya duluan, ya." Pak Toni berpamitan.

"Iya, pak, silakan," ujar mereka bertiga.

"Aku langsung ya." Yahya juga berpamitan setelah pak Toni pergi. Dina dan Jhana hanya tersenyum.

"Kakak mau aku antar pakai taksi?" tawar Dina.

"Tidak usah." Jhana menolak.

"Yasudah, besok pagi jam sepuluh aku jemput kak Jhana di kontrakan kakak, ya? Kita belanja pakaian."

"Iya," jawab Jhana sambil melontarkan senyuman.

    Sesampainya dirumah, Jhana disambut oleh putra bungsunya, sedangkan Mona sudah tertidur pulas, begitu juga dengan Fina yang tertidur di atas bukunya. "Ibu." Zhani memeluk Jhana. Jhana tersenyum melihat ketiga anaknya, mereka bagaikan malaikat baginya, ia kemudian mengunci pintu rumahnya, lalu menyelimuti Mona dengan benar, menarik buku Fina dan menyelimutinya.

"Zhani tidak tidur?" tanya Jhana.

"Mau dikelon," jawab bocah itu.

Jhana tersenyum. "Ibu ganti baju dulu, ya."

Baru saja Jhana akan berjalan menuju lemari, tiba-tiba Mona memanggilnya. "Ibu." Jhana menoleh kearah putri sulungnya tersebut, yang langsung memeluknya.

"Maafkan aku ya, ibu, aku tadi lancang bicara dengan ibu, aku tidak ingin menjadi anak durhaka."

Jhana membalas pelukan putrinya itu dengan hangat, dirinya sadar kalau segala yang dikatakan Mona tadi siang benar adanya, sebagai ibu, Jhana belum bisa mengerti 100% perasaan anak-anaknya, mungkin tak seharusnya ia terus menyembunyikan identitas ayah mereka, menyembunyikan masa lalunya. Namun itu semua membutuhkan waktu, perlahan namun pasti, Jhana berjanji pada dirinya untuk mengatakan segala kebenarannya kepada 3 buah hatinya.

"Ibu juga minta maaf ya, sayang, sebagai ibu, ibu mungkin belum bisa membahagiakan kalian dan selalu membuat kalian menderita," ucap Jhana yang mulai berkaca-kaca matanya.

"Tidak, ibu tidak pernah membuat kami menderita, ibu adalah wanita terhebat yang kukagumi, karena ibu selalu berusaha membuat kami bahagia."

Mendengar hal itu, Jhana kemudian mencium kedua pipi putri sulungnya, dan tersenyum setelahnya, Mona ikut tersenyum dan memeluk ibunya, lagi, namun kali ini lebih erat.

"Sudah, sudah," kata Jhana seraya menghapus air mata Mona setelah gadis kecil itu melepaskan pelukannya.

"Besok pagi jam sepuluh, kak Dina mau ajak kita pergi belanja pakaian baru, tapi sepertinya Fina tidak bisa ikut karena harus sekolah. Malamnya kita di ajak lagi untuk makan bersama keluarga tunangannya. Jadi, kita harus cepat tidur," lanjut Jhana.

"Wah, Mona jadi tidak sabar," ujar Mona. Jhana tertawa kecil melihat anaknya antusias.

    Pergantian hari pun tiba, keesokan harinya, sesuai perjanjian, Dina mengajak Jhana, Mona dan Zhani berbelanja pakaian mereka dan pakaiannya yang akan mereka gunakan malam nanti. Setelah memilah-memilih banyak baju dan celana, dan menghabiskan waktu yang cukup banyak, pakaian yang di inginkan pun berhasil di dapatkan.

Jhana berterima kasih kepada Dina, dan merasa tidak enak hati, namun Dina yang sudah menganggap Jhana sebagai kakaknya sendiri merasa Jhana tidak perlu merasa tidak enak hati, terlebih lagi mereka menjemput Fina dengan taksi dan Dina menyuruh sang sopir taksi mengantar mereka ke kontrakan Jhana, hal ini tentu saja menambah rasa tidak enak hati pada Jhana.

    Seperti biasanya, ketika hari Rabu tiba, waktu Jhana hanya untuk anak-anaknya, ia juga mengerjakan tugas rumah, dibantu oleh Mona. Jhana tetap tidak bisa bercengkrama dengan tetangga-tetangganya, ia terus saja sibuk sepanjang hari, dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. Bahkan Jhana memiliki alasan sendiri mengapa tidak membeli TV selain karena tidak memiliki uang, yaitu karena takut pada akhirnya tidak akan terpakai juga.

Sebab ia berangkat dari rumah pada pukul 5:30, mengantar Fina sekolah, lalu sampai di rumah makan Populer pada pukul 6:45, pulang selalu pada pukul 21:30. Waktunya menonton TV hanya di rumah makan Populer.

    Hari ini Jhana membuat Pudding untuk cemilannya dan anak-anaknya, ia memilih membuat Pudding rasa jeruk, yang membawa kenangan manis di masa lalu untuknya.

'Pudding rasa jeruk adalah makanan kesukaan Rasyid, dia selalu berharap aku membuatkannya Pudding rasa jeruk saat dia mengunjungiku, Mona dan Fina,' batin Jhana, ia tersenyum saat melihat Pudding tersebut sudah jadi dan siap untuk disantap.

'Rasyid, aku merindukanmu.'

    Waktu bergulir sangat cepat, tanpa terasa, malam pun tiba, Jhana dan anak-anaknya bersiap untuk menunggu jemputan dari Dina yang biasanya menggunakan taksi. Mereka sudah rapih dengan setelan masing-masing. Jhana yang biasanya hanya memakai bedak tipis, celak tipis dan lipstick tipis, kini akhirnya menggunakan make-upnya dengan formasi lengkap. Ia terlihat cantik dengan make-up buatannya sendiri, yang sempat membuat anak-anaknya pangling.

Jhana memakai dress berwarna merah hati dan high heels, Mona memakai baju dan rok yang cantik, dengan gaya rambutnya yang dikuncir kuda. Fina memakai baju lengan buntung yang dilapisi dengan baju lengan panjang yang hanya menutupi bagian dada. Sedangkan Zhani menggunakan kemeja dan celana panjang.

Dan setelah menunggu selama 10 menit, akhirnya jemputan mereka pun datang, keluarlah sosok Dina yang membuat mereka semua pangling dengan dandanannya yang membuat siapa saja tak bisa mengatakannya jelek.

"Wah, kak Dina cantik sekali," puji Fina.

"Kau juga cantik, sayang," puji Dina balik.

"Kak Jhana?!" Dina tampak terkejut melihat Jhana. "Ini, kakak?!"

"Jangan lebay," ucap Jhana sambil tersipu malu.

"Hehe, ayo masuk, nanti kita terlambat," kata Dina.

avataravatar
Next chapter