75 Maafkan Aku

"Ini ... Kumpulan robekan kertas?" ucap Jhana yang masih tidak menyangka dengan isi plastik hitam itu.

Sembari mengernyitkan dahinya, Jhana mengeluarkan semua robekan kertas itu. Setiap robekan kertas memiliki coretan-coretan dari sebuah pulpen merah. Jhana lalu merapatkan 4 robekan kertas dan sadar akan satu hal: coretan-coretan itu memiliki arti.

'Ini bukan coretan-coretan biasa, ini adalah puzzle. Aku harus menempatkan kertas-kertas ini pada posisi yang tepat,' batin Jhana, ia pun langsung menyusun 'puzzle' itu demi bisa mengerti apa isi dari 'puzzle' itu sendiri.

Lain Jhana, lain pula Salma. Salma yang sedang tertidur di dalam mobil Arvin, terbangun karena dering dari ponsel sang kekasih. Ia melihat nama si penelpon, yaitu Khansa.

"Khansa?" gumam Salma sambil mengucek-ngucek kedua matanya. Tanpa ragu, Salma pun lantas menjawab panggilan itu.

"Halo?" Salma memulai percakapan. Khansa tentu saja terkejut mendengar suara itu, ketika pertama kali mendengarnya, ia sudah tahu kalau itu adalah suara Salma, sebab suara itu sangat asing baginya, dan satu-satunya suara asing baginya yang dekat dengan Arvin adalah Salma.

Dengan cepat, Khansa memutuskan sambungan teleponnya dan telepon Arvin.

"Itu suara Salma, aku tahu itu suaranya," ujar Khansa.

"Aneh sekali, kenapa dimatikan?" kata Salma.

"Apa dia tidak mau bicara selain dengan Arvin? Tapi, siapa Khansa ini? Apa penting bagi Arvin? Sebaiknya aku antar saja ponsel ini padanya, sekalian aku berpamitan dengan bibi Zemira," sambung Salma, ia pun memutuskan untuk keluar dari mobil itu.

Sementara itu, Mona menjadi gelisah karena Jhana tak kunjung datang ke kamarnya, padahal ia sudah sangat siap untuk menceritakan tentang kejadian tadi sore ketika Ny. Zemira masuk kedalam kamar ibunya.

'Apa aku susul saja ibu? Mungkin saja ibu sedang berada di kamar kak Tantri untuk melihat Fina dan Zhani, mungkin saja. Tapi mungkin lebih baik aku cek saja di kamar kak Tantri,' batin Mona dirinya kemudian peri ke kamar Tantri.

Di dalam mansion, tepatnya di ruang tamu, Gusiana sedang merapikan barang-barangnya, dan Arvin menunggunya.

"Sebentar, ya," ucap Gusiana.

"Di mana Salma?" tanya Ny. Zemira pada Arvin.

"Dia sangat lelah, dia tertidur di dalam mobilku, aku tak tega menyuruhnya ikut masuk bersamaku, jadi kubiarkan dia tidur," jawab Arvin.

"Baiklah, tidak apa."

Raya memutar kedua bola matanya ketika mendengar jawaban Arvin, sedangkan Bunga memilih cuek dan tetap fokus bermain ponsel.

"Ayo," ajak Gusiana. Disaat Arvin dan Gusiana baru ingin keluar dari ruang tamu, tiba-tiba Salma masuk dan sedikit mengejutkan mereka.

"Salma?" ujar Arvin.

"Kau berbohong soal dirinya?" tanya Raya pada Arvin.

"Tidak, dia memang tidur tadi!" sergah Arvin.

"Aku terbangun karena seseorang menelponmu, ketika aku menjawabnya, dia malah memutuskan sambungannya," papar Salma sambil memberikan ponsel Arvin pada pemiliknya.

"Kupikir dia orang penting karena dia sepertinya hanya ingin berbicara denganmu, makanya aku datang kesini, sekalian aku ingin berpamitan pada bibi Zemira. Bibi, kami pulang, ya," sambung Salma, Ny. Zemira hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan dan senyuman.

"Memangnya siapa yang menelpon paman Arvin? Setahuku dia tidak punya teman sejak dia taubat," tanya Shirina.

Salma sedikit terkekeh mendengar kata terakhir yang diucapkan oleh Shirina, lalu ia menjawabnya. "Namanya Khansa," jawab Salma dengan santainya.

Ny. Zemira tentu saja terkejut, begitu juga dengan Arvin, sedangkan Raya menyunggingkan senyum kecil di bibirnya.

Salma tampaknya peka akan suasana yang berubah ketika dirinya menyebut nama Khansa. "Ada apa? Tidak ada yang salah, kan?" tanya Salma.

"Tidak, tidak. Kau dan bibi Gucci pergilah ke mobil, aku akan menyusul nanti," ucap Arvin.

"Ok, baik. Ayo, bibi," ajak Salma.

"Kau saja, aku merasa sedikit mulas, aku buang air dulu," ujar Gusiana, ia lalu langsung pergi ke kamar mandi.

Sementara itu, Tantri yang baru keluar dari kamar mandi melewati dapur dan melihat dapur yang tiba-tiba berantakan, padahal ia merasa ketika dirinya pergi ke kamar mandi tadi, dapur terlihat sangat rapi. Tantri pun masuk ke dalam dapur, dan Gusiana masuk ke kamar mandi.

Di kamar gadis itu, anak-anak Jhana sedang berkumpul membicarakan ibu mereka.

"Coba kau kembali saja, siapa tahu ibu sudah berada di kamar," kata Fina pada Mona.

"Mungkin," ujar Mona.

"Yasudah sana," ucap Zhani.

"Mau temani aku?" tawar Mona.

"Kau takut?!" tanya Fina dengan nada menyelidiki.

"Jaga ucapanmu! Jangan suka benar kalau bicara!" canda Mona, mereka bertiga lantas tertawa.

"Baiklah, baiklah, aku akan menemanimu."

"Aku ikut, aku tidak ingin ditinggal sendiri disini," timpal Zhani.

Hampir mirip dengan anak-anak Jhana, Arvin yang hendak pergi ke ruangan lain untuk menghubungi Khansa balik, ditahan oleh ibunya.

"Apa yang terjadi?" tanya Ny. Zemira usai Salma pergi.

"Ibu, aku bisa jelaskan ini baik-baik, tapi biarkan aku menghubungi Khansa balik, dan aku akan menjelaskan segalanya pada ibu setelah itu," jelas Arvin.

"Tapi, ini sangat aneh, kau memiliki nomor Khansa? Apa yang terjadi padamu?"

"Ibu, biarkan dia menyelesaikan urusannya dengan Khansa terlebih dahulu, ibu bisa bertanya sepuasnya padanya nanti," kata Raya. Ny. Zemira lalu membiarkan Arvin pergi ruang kerjanya, sebab Arvin merasa kalau ruangan ibunya itu tidak memiliki resiko yang besar, dalam artian kemungkinannya sangat kecil apa bila akan ada orang yang menguping pembicaraannya dengan Khansa jika ia berada di ruang kerja ibunya.

Di dapur, Tantri mendapati Arka yang sedang duduk sambil minum segelas susu.

"Arka? Apa yang kau lakukan pada dapur ini?" ujar Tantri pada Arka.

"Kak Tantri? Hehe, maaf, tiba-tiba aku merasa ingin minum susu, jadi aku pergi kesini dan membongkar semua laci, karena aku tidak tahu laci mana yang di dalamnya ada kotak susu. Jangan khawatir, aku akan membereskan semuanya lagi," ucap Arka sembari meneguk tetes terakhir susunya.

"Kenapa kau tidak meminta tolong orang dewasa saja?"

"Kepada siapa aku harus meminta tolong? Paman Arvin akan mengantar kak Salma dan nenek Gusiana pulang, kan? Paman Isa sedang mengantar kak Dina pulang, kak Indira sudah selesai jam kerjanya, begitu juga dengan bibi Kania, kak Tantri dan kak Karin, yang lain entah sedang melakukan apa di ruang tamu."

"Andai kau tahu kalau aku baru saja keluar dari kamar mandi."

"Tidak apa, ini bukan sebuah masalah. Ini sudah malam, kak Tantri pergilah tidur, aku juga akan tidur."

"Kau pergi saja ke kamarmu, biar aku yang membereskan semua ini."

"Aku saja, aku yang membuat kekacauan ini, jadi aku harus bertanggung jawab."

"Untuk hal yang tidak salah, anak kecil harus menurut pada yang lebih tua."

Arka kemudian hanya bisa diam.

"Baiklah, aku akan menurut. Terima kasih, kak Tantri," kata Arka.

"Sama-sama, selamat tidur."

"Pastikan kau sikat gigi dulu sebelum tidur!" sambung Tantri.

"Iya!" sahut Arka yang sudah berjalan menuju kamarnya. Tantri pun langsung membereskan dapur yang benar-benar berantakan itu.

Sementara itu, Jhana akhirnya selesai menyusun kertas-kertas tersebut pada tempat yang tepat. Namun baginya, hal susunan itu tetap tidak mengartikan apa-apa. Ya, 'puzzle' itu menunjukkan gambar yang agak aneh yang tentu saja sudah disobek-sobek.

"Gambar apa ini?" gumam Jhana. Ia terus memperhatikan gambar itu, yang melukiskan 2 orang dewasa, pria dan wanita yang lebih tampak seperti 2 iblis, dengan seorang anak perempuan di hadapan mereka, anak itu terlihat dipasung kedua kakinya, dan dirantai kedua tangannya, sementara jauh dibelakang kedua iblis itu, ada seorang anak kecil yang memperhatikan.

"Ini terlihat menyeramkan," lanjut Jhana.

'Kenapa iblis-iblis ini membiarkan anak yang satunya bebas?' pikirnya.

'Lagi pula, ada orang yang menggambar hal seperti ini?'

"Ini gambar siapa? Bunga? Tidak mungkin, Bunga tidak suka menggambar. Shirina? Kenapa anak kecil sepertinya menggambar hal seperti ini? Apa ini berasal dari mimpi buruknya? Tapi kupikir kehidupannya terlihat bahagia, tidak mungkin dia akan bermimpi buruk, apa lagi usianya belum memungkinkan dia untuk mengerti tentang hal-hal mengerikan seperti di dalam gambar ini. Lalu Kevlar, jika dia yang menggambar ini, apa alasannya? Dan kenapa dia merobek-robek gambar ini lalu memasukannya kedalam sebuah plastik?" Jhana benar-benar berpikir keras sekarang.

"Apa ini gambaran hidupnya?"

"Tapi untuk apa dia merobek-robek gambar ini, lalu memasukkannya ke sebuah plastik dan menaruhnya di tempat yang sulit untuk dijangkau?"

Seseorang lalu membuka pintu kamar itu dan mengejutkan Jhana, sangat mengejutkannya, apa lagi ia tidak sempat membereskan kertas-kertas itu dan pastinya tidak sempat bersembunyi.

Mata Jhana langsung terbuka lebar-lebar ketika melihat sosok yang masuk kedalam kamar itu. Sosok pria bertubuh tinggi yang menjadi musuh barunya, siapa lagi kalau bukan Kevlar si pemilik kamar. Tak hanya mata Jhana yang langsung terbelalak ketika melihat Kevlar, Kevlar pun terkejut dan seketika membuka matanya lebar-lebar ketika melihat Jhana bersama gambar misteriusnya.

"Kau!" Kevlar menggeram, emosinya sedang berada dipuncak sekarang, dan kemungkinan akan melewati batas.

'Ini benar-benar buruk, sangat buruk,' batin Jhana, wanita itu lantas berdiri menghadap Kevlar yang menghampirinya dengan langkah kaki yang penuh amarah.

"Kau benar-benar melewati batas!" ujar Kevlar dengan nada pelan, namun sangat menunjukkan kegeramannya, ditambah lagi ia mencengkram kedua pipi Jhana hanya dengan satu tangan.

"Lepaskan aku!" Jhana berusaha memberontak, namun tenaga Kevlar benar-benar bukan tandingannya saat ini.

"Tidak setelah kau melihat gambar itu!"

"Kenapa kau menyimpannya jika kau tidak ingin ada yang melihatnya?!"

"Agar aku bisa merasakan rasa sakit itu terus menerus, dan kau tidak akan mengerti apa maksudnya!"

"Kau ..."

"Kau berpikir kalau kau sudah menang ketika kau melihat gambar itu dan merasa kalau dirimu sudah mengetahui segala hal tentang diriku, kan?! Tapi pada kenyataannya tidak, wanita sialan!" Kevlar berseru seraya mencekik Jhana.

"Tapi aku masih tidak mengerti apa-apa tentang dirimu! Jadi lepaskan aku!" pinta Jhana yang mulai kesulitan bernapas.

"Tentu saja, tentu saja aku akan melepaskanmu, tapi setelah kematianmu! Ini akhir bagimu! Kupastikan kalau hari ini adalah hari terkahir kau menghirup udara! Kesalahanmu, kecerobohanmu, langkah yang kau ambil benar-benar membuatku semakin muak denganmu! Kau sungguh telah melakukan hal yang salah besar, Jhana!" Kevlar semakin menggeram, ia mendorong Jhana secara perlahan dan menambah kekuatan cekikannya.

"Jangan, kumohon, aku memiliki tiga anak, bagaimana masa depan mereka tanpa aku? Tolong," ucap Jhana dengan nafas yang benar-benar hampir habis, hijabnya juga jadi berantakan karena Kevlar mencekiknya, make upnya luntur ditangan Kevlar.

"Cuih! Persetan dengan anak-anakmu! Mereka hanya anak-anak haram! Lahir dengan cara yang salah oleh ibu yang tidak punya harga diri! Kau pikir kau sangat keren dengan melahirkan tiga anak diluar nikah bersama saudara angkatmu? Tapi pada kenyataannya hal itu membuat dirimu menjadi tidak memiliki harga diri sama sekali! Tidak perlu kau khawatirkan masa depan anak-anak harammu, karena mungkin mereka akan mati dengan cara yang sama seperti ibunya, lagi pula mereka hanya anak-anak haram, mereka sama sekali tidak pantas untuk dipikirkan!"

"Kau ... uhuk!"

"Mengetahui tentang gambar itu adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal bagimu, tapi ku izinkan kau untuk mengucapkan kata-kata terakhirmu, ratunya anak-anak haram!" Kevlar kemudian melonggarkan cekikannya dan membiarkan Jhana berbicara walaupun masih kesulitan.

"Orang bilang, dosa seorang ayah ditanggung oleh anaknya, aku hanya ingin berdoa agar kau yang menanggung semua dosamu, bukan Shirina!" seru Jhana.

Wajah Kevlar berubah menjadi wajah yang sangat sadis sekarang. "Sampaikan salamku pada kakak ipar," pungkas Kevlar, ia lantas mendorong Jhana hingga wanita itu terjatuh dari ketinggian kurang lebih 20 meter.

'Aku tidak berhasil, aku benar-benar gagal untuk segalanya. Maafkan aku,' batin Jhana, ia menutup matanya dengan air mata yang mengalir deras, namun dirinya tidak berani berteriak, sebab ia ingin mati dengan damai.

avataravatar
Next chapter