60 Khansa & Wanda, Salma & Mona

"Berhentilah mengejar Arvin, dan biarkan aku memilikinya, sekaligus merebutnya dari Salma," ucap Khansa.

"Letak otakmu dimana? Kau pikir itu akan menguntungkanku?" ketus Wanda

"Kau tidak sabar. Aku belum selesai berbicara!"

Wanda lalu mendengus. "Lanjutkan."

"Aku tahu itu akan merugikannya, jadi aku menawarkan satu juta Dolar Amerika untukmu, agar kau menyingkir dari hidupku. Rincinya, satu juta Dolar Amerika itu sama dengan empat belas miliar Rupiah. Tapi kau harus ingat. Kau tidak boleh menyentuh Arvin dan harus melupakan tujuanmu untuk mendapatkannya. Arvin adalah hakku, dan Salma adalah urusanku. Tugasmu hanya menerima uangku dan keluar dari urusan ini. Bagaimana?" tawar Khansa sembari menaikkan alis kanannya.

Wanda terlihat berpikir. Untuk orang menengah kebawah, Rp. 14.000.000.000 memang banyak, namun bagi Khansa yang berasal dari kelas atas, uang segitu bukanlah suatu hal yang besar.

"Oh, ayolah, jangan terlalu lama berpikir. Aku berbeda denganmu. Kau ingin memiliki Arvin agar kau bisa menguasai hartanya, sedangkan aku murni mencintainya. Akui saja itu. Kau pikir kau bisa memiliki empat belas miliar hanya dengan berpacaran dengannya? Seratus juta saja aku tidak yakin," ujar Khansa.

"Kau bayar pakai apa?" tanya Wanda.

"Hei, apa kau tidak tahu kalau kekayaan yang diwariskan untukku mencapai triliunan?" jawab Khansa.

"Kau akan bayar dalam bentuk apa?"

"Cash, agar kau lebih percaya. Dan akan kuberikan Minggu depan."

"Bagaimana jika kau melanggar perjanjian?"

"Kau bisa melanggar perjanjiannya juga. Dalam kata lain, kau boleh merebut Arvin dari aku, atau pun Salma. Tapi jika kau melanggar perjanjian, kubunuh kau."

"Itu sedikit tidak adil bagiku."

"Kau tidak mau? Kau akan membiarkan empat belas miliar melayang?"

"Baiklah, baiklah. Kau memang pandai membuat dirimu sendiri menang."

"Bagus. Yasudah, pergi sana, wajahmu membuatku muak."

"Kutunggu kau Minggu depan di Sunday Morning UGM. Tempat itu sangat ramai setiap hari Minggu pagi, jadi tidak akan ada yang mencurigai kita."

"Baiklah."

'Dasar wanita menjijikkan. Sudah miskin, banyak tingkah, matre, tidak tahu malu, maunya sama pria kaya. Dasar tidak tahu diri,' batin Khansa.

Sementara itu, di mansion Dhananjaya, tepatnya di bagian taman depan, posisi Raya-Salma-Mona masih sama.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Salma pada Raya sambil mengernyitkan dahinya.

Raya pun langsung bangkit. Sementara Mona terbatuk-batuk dan masih berusaha untuk bernapas dengan normal lagi.

"Kau baik-baik saja, dik?" tanya Salma pada Mona seraya mengelus-elus punggung gadis kecil itu.

"Ya, terima kasih," jawab Mona.

"Iblis apa yang merasukimu? Kenapa kau mencekiknya?" tanya Salma lagi pada Raya

"A-aku ..." Raya gelagapan.

"Tidak ada iblis yang merasukinya, karena dia lah iblis yang sesungguhnya," ucap Mona. Namun Salma masih terlihat bingung.

"Kak Raya, jelaskan," pinta Salma.

"Apa?! Apa yang perlu kujelaskan padamu?! Semuanya sudah jelas bagimu, kan?! Kau puas?! Hm?! Misimu berhasil! Selamat! Siapa kau?! Kenapa kau memata-mataiku?! Siapa yang mengirimmu kesini?! Katakan!" bentak Raya.

"A-aku tidak mengerti satu hal pun yang kau katakan," ujar Salma.

"Pura-pura bodoh, memuakkan sekali," maki Raya.

"Tapi-"

"Kau merekamnya? Hm? Berikan ponselmu padaku! Berikan!" sela Raya.

"Apa yang kau bicarakan?" tanya Salma. Raya kemudian menarik tas selempang Salma dengan paksa.

"Ei! Ah! Apa-apaan ini! Lepaskan tasku!" teriak Salma.

"Diam kau!" Raya menutup mulut Salma sambil mendorongnya hingga membuat gadis itu terjatuh dan ia berhasil merebut tasnya.

Tanpa pikir panjang, Raya langsung menjatuhkan ponsel jadul itu dan menghancurkannya dengan cara menginjak-injaknya dan terus membantingnya. Salma sontak saja terkejut melihat ponselnya hancur berkeping-keping dan ia benar-benar hanya bisa melihatnya.

"Aku membutuhkan tiga tahun untuk mengumpulkan uang demi membeli ponsel itu, dan kau menghancurkannya begitu saja," lirih Salma.

"Lalu?! Apa peduliku?! Kau rakyat jelata yang hina!" seru Raya yang langsung berbalik badan dan berniat pergi. Namun tidak di duga, Mona melemparkan sebuah batu kerikil tepat di kepala Raya.

"Kau rakyat kelas atas yang menjijikkan!" maki Mona. Kontan saja Salma terkejut dengan aksi Mona barusan.

"Kau pikir aku takut padamu setelah kau menenggelamkanku?! Kau pikir aku tidak berani melawanmu?!" sambung Mona, Raya lantas kembali membalikkan badannya menghadap Salma dan Mona. Tapi Mona mengejutkannya, Yap, gadis kecil itu mendaratkan sebuah cekikan ke leher Raya tepat setelah Raya berbalik. Tak pelan, Mona menyamai kekuatan Raya saat mencekiknya tadi.

Salma bukannya tidak mau menghentikan aksi Mona itu, ia hanya tidak mengerti tentang apa yang sedang terjadi, jadi ia hanya bisa diam, sama seperti saat ponselnya dihancurkan tadi.

"K-kau!" Raya memberontak dan berhasil melepaskan tangan Mona dari lehernya. Wanita itu kemudian terbatuk-batuk sembari mengelus lehernya. Mona pun menggunakan kesempatan ini untuk mendorong Raya sampai terjatuh seperti yang ia terima dari wanita itu tadi.

"Aku pernah melawan ibuku ketika dia memarahiku. Jika aku sanggup melawan wanita yang telah melahirkanku, maka aku tidak memiliki alasan untuk membiarkan diriku dianiaya oleh iblis berbentuk wanita jelek sepertimu!" ujar Mona.

"Anak haram!" Raya memaki Mona.

"Dasar anak haram!" lanjutnya.

"Dasar wanita haram!" balas Mona.

Dengan cepat, Raya menjambak rambut Mona dengan kuat, tak lupa, Mona membalasnya. Raya mengakhiri aksi saling membalas itu dengan cara mendorong Mona dengan keras, kemudian ia pergi dari taman itu.

"Selama aku belum menenggelamkanmu, kita belum impas! Aku tidak akan menenggelamkanmu di kolam itu! Tapi di lautan!" teriak Mona.

"Kau tidak apa-apa, kak?" tanya Mona pada Salma.

"Ya, bagaimana denganmu? Pertarungan kalian cukup sengit tadi," ucap Salma.

"Hahaha. Aku tidak akan bisa disakiti oleh wanita sepertinya."

"Ngomong-ngomong, siapa kakak? Baru ini aku melihatmu," sambung Mona.

"Aku Salma, teman dekat Arvin. Kau memanggilnya kakak atau paman?"

"Aku tidak pernah memanggilnya."

"Hah?"

"Kau teman dekatnya atau pacarnya? Jika keduanya, seharusnya kau tahu bagaimana dia dulunya. Karena sikapnya dulu, aku jadi tidak pernah mengobrol dengannya, bahkan sampai sekarang."

"Benarkah?"

"Ya. Jadi, kalian berpacaran atau hanya teman dekat?"

"Pacaran, sepertinya."

"Loh?"

"Hehehe."

"Siapa namamu?"

"Aku Mona, salam kenal."

"Dan adik-adikmu?"

"Mereka Fina dan Zhani. Hanya dua anak nakal."

"Seorang kakak memang selalu menganggap kalau adik-adiknya sangat nakal."

"Kau punya adik, kak?"

"Tidak, aku anak tunggal dari satu bersaudara."

"Hahahaha." Mereka berdua lalu hanyut dalam tawa.

"Aku minta maaf soal ponselmu. Jika saja kakak tidak menyelamatkanku, ponsel itu mungkin masih ada. Dan sekarang aku tidak bisa menggantinya," ujar Mona.

"Tidak apa. Sebuah ponsel yang hancur bisa diganti dengan ponsel baru, tapi nyawa yang hilang, tidak dapat diganti dengan nyawa yang baru," kata Salma.

"Terima kasih karena telah menyelamatkanku."

"Kita saling menyelamatkan."

Mona kemudian tersenyum.

"Kenapa kak Raya bisa bersikap seperti itu padamu?" tanya Salma.

"Ibuku bilang, bibi Raya memiliki dendam terhadap-"

"Ibumu mengenal kak Raya? Bagaimana bisa? Aku tahu sedikit cerita tentang kalian, tapi aku tidak tahu kalau ibumu dan kak Raya saling mengenal," sela Salma.

'Astaga! Aku salah cerita!' batin Mona.

"Ya ampun. Maaf, maksudku, seseorang mengatakan padaku kalau bibi Raya memiliki dendam terhadap seseorang di keluarga ini. Astaga, aku sedang merindukan ibuku," ucap Mona.

"Maaf, aku tahu itu sulit. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya memiliki seorang ibu."

"Benarkah?"

"Ya, aku yatim piatu sejak aku lahir. Dan itu sangat tidak enak."

"Maaf, karena aku salah bicara dan menyebut kata 'ibu', kak Salma jadi teringat akan kepahitan seperti itu."

"Tidak apa, usiaku dua puluh lima dan aku sudah terbiasa dengan hal seperti itu."

Mona tersenyum.

"Bisa kita lanjut ke cerita tentang kak Raya? Kenapa kau merahasiakan dua identitas?" sambung Salma.

"Orang yang menceritakannya padaku dan orang yang di dendami oleh bibi Raya, suatu saat kakak akan mengetahui identitas kedua orang itu. Tidak sekarang dan tidak dariku. Yang harus kakak tahu sekarang dariku adalah, bibi Raya bukan orang baik-baik. Dia memang memiliki dendam dengan satu orang di keluarga ini, tapi dia tidak hanya menyakiti orang itu."

"Yah, terkadang dia tidak menyakiti secara fisik, kan?"

"Memang. Tapi jika soal omongan, bibi Bunga juaranya."

"Maksudmu?"

"Bibi Raya lebih baik saat main fisik, dan aku tidak pernah mengalami kekerasan fisik dari bibi Bunga. Tapi untuk urusan merendahkan orang, mengejek dan lain sebagainya, bibi Bunga lebih menusuk dari pada bibi Raya."

Salma lantas terdiam.

"Tidak apa, aku tahu kalau kakak khawatir jika paman Arvin juga bersikap seperti itu. Di keluarga ini, yang nyeleneh hanya dua orang yang kusebutkan tadi. Kakak hanya perlu menyesuaikan diri dengan mereka, itu saja," ujar Mona yang terlihat mengerti dengan kekhawatiran Salma.

Salma lalu tersenyum. "Ucapanmu itu, sangat menenangkan. Terima kasih atas pemberitahuanmu."

"Sama-sama," balas Mona dengan senyuman juga.

Mereka lalu berniat bangkit, namun tidak jadi ketika suara gerutuan Shirina, Fina dan Arka membuat perhatian mereka terpusat kearah 3 bocah itu. Di keliling mereka sendiri ada Isa, Ismail dan Zhani.

"Kenapa tidak ada yang mengatakan kalau hari ini adalah hari Minggu?!" gerutu Shirina yang terlihat sangat kesal.

"Ini sangat memalukan," keluh Fina.

"Aku tidak menyangka kalau tidak ada yang menyadari kalau hari ini adalah hari Minggu. Haduh," dengus Arka.

"Jangan salahkan aku. Yang kupikirkan hanya tentang pernikahanku," Isa 'buang badan'.

"Cepat, mereka tidak boleh tahu tentang apa yang sudah terjadi. Bisa-bisa kak Raya membunuh kita jika sampai mereka tahu tentang kejadian tadi," ucap Salma pada Mona. Namun tampaknya, mereka terlambat. Dari kejauhan, Isa melihat mereka dan mengernyitkan dahinya ketika ia melihat ponsel Salma yang sudah hancur.

"Apa yang terjadi?" gumam Isa.

"Jika kalian sudah selesai dengan amarah kalian, beri tahu aku. Aku akan ke taman sebentar," ujar Isa. Usai mendengar ujaran Isa, Ismail, Zhani, Fina, Arka dan Shirina kontan saja langsung melihat kearah taman dan membuat Salma juga Mona terkejut, karena mereka tidak menyangka kalau keberadaan mereka akan disadari.

avataravatar
Next chapter