6 Kehidupan Mereka

Tn. Farzin masih dalam ketegangan yang sama, entah apa yang bisa dilakukannya agar bisa mencegah percakapan keluarganya dengan Dina tidak berlanjut. Namun yang bisa dilakukannya hanya menutup kedua matanya agar ia tidak semakin tegang.

"Jika Jhana temanmu itu ada disini sekarang, pasti akan seru, karena pada akhirnya keluarga ini akan mengenal dua wanita bernama Jhana," ucap Isa.

"Apa kau tahu nama lengkap Jhana temanmu itu?" tanya Bunga pada Dina.

"Tentu saja, namanya hanya satu kata, Rinjhana," jawab Dina.

"Rinjhana? Nama lengkapnya sama," ujar Ny. Zemira.

"Maaf, kalau boleh tahu, kenapa kalian memberikan banyak tanggapan ketika aku menyebut nama Jhana? Apa Jhana di kehidupan kalian memiliki peran yang penting?" tanya Dina.

"Jhana di kehidupan kami memainkan peran yang sangat penting. Tapi, itu bukanlah hal yang penting lagi sekarang," jawab Isa.

"Kenapa?"

"Karena sejak sepuluh tahun yang lalu dia sudah tidak memainkan peran yang penting lagi."

"Sayang, siapa Jhana yang kalian maksud?" tanya Kevlar pada Bunga.

"Aku pernah bercerita tentangnya padamu sebelum kita menikah, karena kau sibuk, tidak heran kau lupa akan ceritaku tentangnya," jawab Bunga.

"Tunggu, Jhana itu, bukannya anak ..."

"Ya," sela Bunga.

"Anak? Anak siapa? Anak apa?" Dina malah menjadi penasaran.

"Aku akan menceritakan segalanya padamu nanti, tidak enak berbicara tentang kak Jhana disini, di hadapan ibu dan ayah," kata Isa pada Dina.

"Kau memanggilnya kakak? Tapi kak Kevlar bilang dia adalah seorang anak."

"Dia pernah menjadi seorang anak," canda Isa.

"Iiihhh! Aku bertanya serius!" Dina tampak kesal hingga ia mencubit Isa.

"Aduh! Sakit! Ahahaha, maaf, maaf, lain kali aku menjawab dengan serius."

Tn. Farzin merasa lega karena akhir percakapan mereka seperti ini, meskipun Isa akan menceritakan tentang Jhana kepada Dina, tapi setidaknya tidak ada orang yang akan mengompori dan memancing Dina untuk berpikir bahwa Jhana yang mereka maksud dan yang dimaksudnya adalah orang yang sama.

"Ibu, bolehkah aku memakan makanan penutup ini?" tanya Shirina pada Bunga.

"Silakan saja, sayang, ayo semuanya, ini waktunya untuk memakan makanan penutup," ucap Bunga.

Makanan penutup yang disajikan kali ini adalah brownies, 1 orang mendapatkan porsi yang cukup banyak, sehingga browniesnya harus dipotong lebih dulu sebelum dimakan. Isa masih menyuapi Tn. Farzin yang memang harus disuapi, dan semuanya sedang menikmati brownies mereka masing-masing dengan pisau yang mereka pegang di tangan kanan dan garpu yang mereka pegang di tangan kiri.

Ya, semuanya, kecuali anak-anak Jhana. Mereka kebingungan untuk menggunakan garpu dan pisau secara bersamaan, sehingga mereka hanya melihat yang lain makan.

"Kenapa kalian tidak memakan browniesnya?" tanya Dina pada anak-anak Jhana.

"Aku, masih kenyang," jawab Mona.

"Aku menunggunya dingin saja," jawab Fina.

"Aku juga masih kenyang," jawab Zhani.

"Tidak apa-apa jika kalian masih kenyang, tunggu saja beberapa saat lagi dan kalian pasti tidak tahan untuk terus mendiami brownies kalian," ujar Bunga.

"Iya, bibi," kata Mona.

"Oh iya, siapa nama kalian? Kami belum mengetahuinya sampai sekarang."

"Saya Mona, ini Fina dan ini Zhani."

"Mona, Fina dan Zhani, semuanya adalah nama yang bagus."

"Terima masih, bibi sangat baik."

"Ah, terima kasih gadis kecil."

Setelah itu Bunga kembali memakan browniesnya.

"Dina?" panggil Bunga.

"Iya?" sahut Dina.

"Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu."

"Ya, tidak masalah, tanyakan saja."

"Apa pekerjaanmu?"

"Aku? Aku adalah seorang kasir disebuah rumah makan."

"Rumah makan? Maksudmu restoran ayahmu? Tapi, bukannya ayahmu hanya membuka restoran di lima negara dan lima benua?"

"Ya, sejujurnya ayahku sedang menjalankan rencana untuk membuka cabang restorannya di Indonesia, tapi rencananya masih dijalankan."

"Jadi? Kau kerja di restoran mana? Ah! Kenapa aku tidak memikirkannya dari tadi! Sudah pasti kau bekerja di restoran bintang lima! Kau benar-benar gadis mandiri yang ingin memulai usaha seperti ayahmu."

"Hewmhewm. Tidak kak Bunga, aku bekerja di sebuah rumah makan, bukan restoran."

"Bukan restoran? Rumah makan? Apa maksudmu restoran rakyat kelas menengah kebawah? Bukan restoran rakyat kelas atas seperti kita?"

"Ya. Tapi rumah makan tempatku bekerja juga banyak mendapatkan pelanggan rakyat kelas atas."

"Euh, kenapa kau mau bekerja di tempat rakyat kelas rendahan? Itu adalah pekerjaan yang hina untuk orang kaya raya seperti kita."

"Kakak, kenapa kakak berbicara seperti itu? Bukankah bagus jika Dina bekerja sendiri dari bawah? Lagi pula tidak ada rumah makan untuk rakyat kelas menengah kebawah, semuanya sama, rumah makan atau pun restoran dibuka untuk umum, kakak tidak boleh berkata seperti itu, dia adalah gadis yang mandiri, itu adalah hal yang terbaik yang pernah dilakukan seorang gadis yang pernah kuketahui, meskipun kuliahnya masih dibiayai oleh orangtuanya, tapi itulah alasanku memilihnya untuk menjadi istriku kelak," ucap Isa.

Dina hanya tersenyum sambil memandangi Bunga, ia tidak menyangka bahwa inilah sifat asli calon kakak iparnya.

"Berapa gajimu?" tanya Bunga pada Dina.

"Satu juta tujuh ratus ribu rupiah," jawab Dina.

"Berapa jam kau bekerja?"

"Empat belas jam dengan dua jam istirahat, jadi aku bekerja hanya selama dua belas jam."

"Hah? Dua belas jam?! Ou tidak, tidak, tidak, apa badanmu tidak remuk bekerja selama itu setiap hari dengan hanya libur empat kali dalam sebulan?"

"Badan manusia tidak akan remuk hanya karena bekerja menjadi kasir selama dua belas jam, kecuali yang bekerja adalah manula seratus tahun keatas," pungkas Dina.

"Tapi, gajimu hanya satu juta tujuh ratus ribu dalam sebulan. Bahkan harga sikat gigi limited editionku lebih mahal dari pada gajimu itu."

"Yang aku cari bukanlah uangnya, tapi pengalamannya, aku ingin tahu bagaimana rasanya bekerja banting tulang dari nol, hidup seadanya tanpa barang-barang mewah. Aku berusaha untuk tidak menjadi sombong, dengan cara itu, setidaknya aku bisa tahu bagaimana sebuah proses itu berjalan, dan aku bisa tahu bagaimana seharusnya setiap orang harus menghargai sebuah proses."

Bunga terdiam dengan jawaban Dina barusan.

"Jadi, mereka bertiga adalah orang miskin?" Bunga kembali buka suara, kali ini ia bertanya tentang anak-anak Jhana.

Dina sontak saja terkejut dengan pertanyaan Bunga itu, ia tidak habis pikir bagaimana seseorang bisa merendahkan orang lain secara terang-terangan di hadapan orang yang di rendahkannya sendiri.

Karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Dina, Bunga pun memanggil nama calon adik iparnya itu "Dina?".

"Y-ya?" sahut Dina.

"Apa mereka ini orang miskin?"

Dina semakin terkejut tatkala Ny. Zemira bahkan membiarkan Bunga bertanya seperti itu, semuanya hanya sibuk memakan brownies.

"Kakak, kenapa kakak bertanya seperti itu?" Isa akhirnya buka suara.

"Aku tidak mau barang kita disentuh oleh orang miskin," jawab Bunga.

"Tapi kakak menyinggung perasaan orang lain."

"Itu lebih baik dari pada kita tertular virus miskin."

"A-aku tidak akan memberi jawaban mengenai hal itu," ucap Dina.

"Jadi begitu, mereka ternyata orang miskin, pantas saja tidak tahu caranya memegang pisau dan garpu secara bersamaan. Alasannya menunggu dingin dan masih kenyang, padahal tidak tahu cara makan ala orang kaya," dengus Bunga.

Anak-anak Jhana hanya tertunduk.

'Dia tidak baik,' batin Fina.

Arka kemudian turun dari kursinya dan menghampiri 3 bersaudara itu. Pertama ia menghampiri Zhani yang setahun lebih tua darinya. Arka memegangi kedua pergelangan tangan Zhani.

"Arka apa yang kau lakukan?!" tanya Raya.

"Mereka tidak tahu caranya memakai pisau dan garpu secara bersamaan, kak Tantri bilang tolong menolong adalah kewajiban setiap manusia dan itu adalah tindakan yang disukai oleh Tuhan, jadi aku ingin menolong," jawab Arka.

"Tangan kanan pegang garpu, tangan kiri pegang pisau," lanjut Arka sambil mengarahkan tangan Zhani.

Melihat hal itu, Tn. Farzin pun tersenyum bangga, karena setidaknya masih ada anggota keluarganya yang bersifat rendah hati. 'Nak, jiwamu, masih hidup di dalam diri Arka,' batinnya.

Raya tak tinggal diam, ia kemudian menghampiri Arka dan Zhani, Raya lantas melepaskan tangan putranya dari Zhani.

"Jangan bersentuhan dengan orang seperti mereka!" ujar Raya.

"Tapi mereka hanya tidak tahu caranya memakai garpu dan pisau secara bersamaan, aku hanya ingin membantu," kata Arka.

"Kau melawan?! Mau jadi anak durhaka?!"

"Ibu, aku hanya ingin melakukan kebaikan."

"Tidak ada yang melarangmu untuk melakukan kebaikan, tapi lihat dulu kepada siapa kau akan melakukan kebaikan."

"Bukannya kita tidak boleh membeda-bedakan orang lain? Apa lagi ketika akan melakukan kebaikan?"

"Argh! Sini ikut ibu!" Raya menarik tangan Arka, namun Arka melepaskannya.

"Aku tidak melakukan hal yang salah, ibu."

"Ibu hanya tidak ingin kau terkena virus kemiskinan orang miskin."

"Tidak ada yang namanya virus kemiskinan, ya kan paman Isa?"

"Ya, tentu saja tidak ada, kak Raya, kakak dan kak Bunga terlalu paranoid, tidak ada yang akan berubah jika Arka membantu mereka," ucap Isa.

"Terserah kalian saja." Raya kemudian kembali ke tempat duduknya.

"Kau harus lebih memaksakannya lagi," bisik Bunga pada Raya yang duduk disebelah kirinya.

"Jika aku bertindak lebih jauh, aku hanya akan menjadi pusing," ujar Raya.

"Nah, garpu di tangan kiri dan pisau di tangan kanan," kata Arka pada Fina dan Mona.

"Oooh, ternyata begini caranya," ucap Mona, Arka tersenyum.

"Terima kasih telah mengajari kami," ujar Fina.

"Sama-sama," jawab Arka yang kembali ke kursinya yang berada disebelah Shirina.

"Iih! Jangan duduk disebelahku! Aku tidak mau tertular virus kemiskinan yang masuk ke dalam tubuhmu!" protes Shirina.

Tapi Arka tidak menggubrisnya dan memilih untuk tetap duduk.

"Kau itu punya telinga tidak?!" Shirina mulai emosi.

"Aku punya hak untuk duduk disini." Arka membela diri. Tn. Farzin tersenyum mendengar jawaban cucu pertamanya itu.

Shirina kemudian turun dari kursinya dan naik ke atas pangkuan Kevlar. "Ayah, biarkan aku duduk di pangkuan ayah, itu lebih baik dari pada aku tertular virus kemiskinan."

Kevlar hanya diam.

Dina pun terkejut karena Kevlar juga tidak nengucapkan apa-apa, sebab yang selama ini tahu adalah Kevlar merupakan seseorang yang cinta damai dan baik hati juga tidak sombong. Ia tidak terkejut apa bila Isa angkat bicara tadi, karena Isa memang lah orang yang baik, Dina mengerti kalau Isa tidak bertindak karena harus menyuapi Tn. Farzin, namun yang sangat ia tidak sangka adalah sikap Ny. Zemira dan Kevlar yang memilih diam, ia pun mulai berpikir kalau mereka berdua sama saja dengan Bunga, Raya dan Shirina.

"Ayang! Ayang!" pangil Bunga, tidak lama kemudian Ayang pun datang.

"Iya, Nyonya?" sahut Ayang.

"Kau lihat tiga anak kecil itu?" tanya Bunga

"Iya, Nyonya, saya lihat," jawab Ayang.

"Kursi, sendok, garpu, piring, dan gelas yang mereka pakai disini, kau suruh Jaya buang nanti, aku tidak sudi apa bila ada barang dirumah ini yang disentuh oleh rakyat jelata. Dan sekalian dengan alas meja ini, mereka menyentuhnya tadi."

"Baik, Nyonya."

'Astaga, perempuan ini gila, semua barang itu dibeli pakai uang, bukan daun, enak saja dia menyuruh pekerjanya untuk membuang barang-barang itu, dasar sombong,' batin Ayang yang langsung pergi dari halaman belakang.

Dina dan Isa kemudian saling melirik. Mereka berdua sama-sama tidak menyangka atas apa yang dikatakan oleh Bunga barusan, bahkan Isa baru ini melihat Bunga bersikap sangat sombong, dan ia juga tidak menyangka kalau ibunya tidak berbicara apa pun mengenai hal-hal yang barusan terjadi.

Anak-anak Jhana lantas tertunduk mendengar perintah Bunga pada Ayang, mereka menjadi tidak nyaman untuk berada di mansion Dhananjaya karena terus direndahkan.

"Ayo lanjutkan makan kalian, jangan khawatir, barang-barang yang kalian sentuh disini akan dibuang nanti. Tenang saja, kami memiliki uang untuk menggantikan barang-barang itu, mentang-mentang kalian orang miskin, tidak usah terkejut juga," ujar Bunga pada anak-anak Jhana.

Raya tertawa kecil, kemudian berkata, "Bunga, tentu saja mereka terkejut, mereka tahu kalau bahkan harga satu sendok yang ada disini sangat mahal, dan mereka bahkan tidak memiliki uang untuk membeli satu sendok yang ada di rumah ini, makanya mereka terkejut."

"Ah, benar juga," kata Bunga.

Setelah acara makan malamnya selesai, Bunga memanggil dan menghampiri Isa yang berjalan menuju kamarnya.

"Ada apa?" tanya Isa.

"Hal yang keluarga ini lewatkan saat petunanganmu dan Dina adalah menanyakan tentang pekerjaan Dina, jadi kenapa kau tidak pernah mengatakan tentang pekerjaan Dina?"

"Apa itu adalah hal yang penting?"

"Jika aku tahu kalau Dina itu adalah seorang kasir di rumah makan orang kelas menengah kebawah, aku tidak akan mengizinkan dia membawa teman kerjanya ataupun anak-anak teman kerjanya."

"Kakak, sudahlah tidak usah membahas hal itu lagi, ibu saja tidak membahasnya."

"Ibu tidak membahasnya karena ibu mengharapkan aku untuk membahasnya."

"Kalau begitu katakan pada ibu, masalah itu tidak usah dibahas lagi."

Isa kemudian pergi turun ke lantai 1 dan tidak jadi masuk ke kamar karena Bunga pasti akan membuatnya membuang waktu dengan berdebat bersama kakaknya itu mengenai hal yang menurutnya tidak penting.

Sementara itu, Dina yang gelisah karena Jhana tak kunjung kembali ke mansion, semakin gelisah karena ia tidak bisa menemukan anak-anak Jhana di seluruh ruangan mansion tersebut.

"Dina?" panggil Isa yang kebetulan baru turun dari lantai 2, pria itu berjalan menghampiri tunangannya tersebut.

"Ada apa denganmu? Kenapa kau gelisah?" lanjutnya.

"Ada dua hal yang membuatku gelisah," jawab Dina.

"Hm? Apa saja?"

"Pertama kenapa kak Jhana belum sampai dan tidak memberiku kabar? Dan yang kedua dimana anak-anaknya? Dimana Mona, Fina dan Zhani? Kenapa tiba-tiba mereka menghilang?"

"Kau sudah mencari mereka diseluruh ruangan?"

"Sudah."

"Kalau begitu, mari kita cari diluar," ajak Isa.

"Ya, itu ide yang bagus." Dina kemudian berjalan ke arah pintu, di ikuti oleh Isa.

Ketika membuka pintu, betapa terkejutnya mereka melihat anak-anak Jhana ada di luar sambil menggigil kedinginan.

Sama halnya dengan Dina, Ny. Zemira juga terlihat gelisah. Karena kegelisahannya yang tampak jelas ini, Indira pun menghampirinya.

"Nyonya, ada apa? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Indira.

"Kenapa Arvin belum pulang? Ada dimana dia sekarang?"

"Tuan Arvin sudah pulang sejak makanan penutup disajikan, Nyonya."

"Hah? Dia sudah pulang? Dimana dia sekarang? Kenapa dia tidak memberitahuku kalau dia sudah pulang?"

"Tuan Arvin ada di kamarnya, Nyonya. Hanya itu yang saya ketahui."

"Baiklah, kau boleh pergi ke kamarmu."

"Baik, Nyonya, saya permisi."

Usai mendapatkan informasi dari Indira, Ny. Zemira yang tadinya berada di ruang makan pun segera naik ke lantai 2 untuk mendatangi kamar Arvin.

avataravatar
Next chapter