69 Kecewa

[14 HARI MENUJU PERNIKAHAN ISA & DINA]

Pukul 05:00 di kontrakan Salma dan neneknya, Marimar. Salma, nenek Marimar dan Gusiana sedang menunggu kedatangan Arvin dengan wajah cemas.

"Salma, bagaimana ini? Matahari sudah mulai terang tapi Arvin belum datang juga," ucap Gusiana.

"Engh? Mungkin dijalan macet, bibi, aku yakin sebentar lagi dia akan sampai," ujar Salma.

"Kita sudah menunggu setengah jam disini, brownies-brownies ini bisa dingin jika tidak cepat disajikan. Lagi pula ini sudah jam lima, para pembantu di rumah besar Arvin pasti sudah mulai menyiapkan sarapan untuk majikan mereka."

"Tidak apa jika dingin, kan? Dan mereka biasanya mulai sarapan pada jam enam," kata Salma.

"Iya, memang tidak apa-apa jika dingin, tapi aku takut jika brownies ini tidak lembut lagi. Kau tahu kan kalau saat paling enak untuk memakan browniesku adalah ketika brownies ini masih hangat, jadi teksturnya masih sangat lembut. Kalau dingin, aku hanya takut kelembutan itu tidak akan bisa dirasakan oleh lidah orang-orang dirumah itu."

"Bibimu benar, nak. Apa dia sudah memberimu kabar?" tanya nenek Marimar.

"Belum, nenek," jawab Salma.

"Apa kemarin dia menjajikan waktu padamu?"

"Tidak, nek. Dia bahkan tidak berjanji untuk datang menjemput bibi dan aku."

"Lalu kenapa kau menyuruh kami untuk bangun sangat pagi dan menunggu disini sejak jam setengah empat? Astaga," keluh Gusiana.

"Itu karena aku hanya tidak ingin membuatnya menunggu," ucap Salma.

"Aku masih bingung. Arvin tidak berjanji dia akan menjemput kalian. Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya nenek Marimar lagi.

"Iya, nenek. Kemarin dia hanya mengatakan padaku untuk membawa bibi ke mansion dengan brownies sebagai buah tangan. Tapi seharusnya, sebagai kekasihku, dia menjemputku dan bibi, aku tidak perlu mengatakan hal itu padanya, bukan? Lagi pula dia yang meminta bibi datang ke mansion," papar Salma.

"Secara logika, sebenarnya kau memang benar, tapi belum genap kau mengenalnya selama tiga minggu, jadi kau belum tahu bagaimana sifatnya yang sebenar-benarnya. Kau tahu kalau sebagian orang tidak memiliki rasa peka sama sekali."

"Jadi menurut nenek, Arvin tidak merasa kalau dia harus menjemputku dan bibi?"

"Yah, kurang lebih begitu."

"Walaupun kedatangan bibi ke mansion adalah kemauannya?"

"Balik lagi ke pendapatku, setiap orang punya pendapat, sifat dan pemikiran yang berbeda. Mungkin baginya Gabriela wajib memperkenalkan diri kehadapan keluarganya. Dan kewajiban itu, bukan berarti dia harus menjemput Gabriela untuk melakukan hal itu bukan?"

"Tapi seharusnya tidak begitu, nek."

"Seharusnya tidak begitu bagimu, tapi seharusnya begitu bagi Arvin."

Salma kemudian terdiam.

"Mm, dari pada repot memikirkan pemikiran orang lain, lebih baik kau hubungi saja dia, atau setidaknya kirimkan dia pesan untuk membuat semuanya menjadi jelas," saran Gusiana.

"Nenek, bagaimana menurut nenek?" tanya Salma yang mempertimbangkan saran Gusiana.

"Bagaimana menurutmu? Nenek ingin mendengar keputusanmu sebelum nenek memberikan jawaban." Nenek Marimar bertanya balik.

"Entahlah, aku hanya merasa kalau seharusnya aku tidak mengontaknya," ujar Salma.

"Kenapa? Kau berhak untuk memintanya menjemput kita, kan?" kata Gusiana.

"Iya, tapi, hal itu akan membuatku terlihat mengendalikannya, aku tidak mau orang- orang berpendapat seperti itu."

"Lalu apa kita akan menunggu disini selamanya sampai mengerak?"

Mendengar hal itu, wajah Salma semakin menunjukkan kecemasannya. Ia merasa serba salah sekarang dan benar-benar bingung harus berbuat apa.

"Nenek, aku tidak menemukan keputusanku, apa jawaban nenek?" tanya Salma.

"Aku menyarankan hal yang sama dengan Gabriela, tapi setelah mendengar ucapanmu, aku memilih untuk diam sekarang dan menyerahkan segalanya padamu. Kau harus memikirkannya secara matang," jawab nenek Marimar.

Salma kemudian tidak berkata apa-apa lagi.

'Oh, ayolah, berpikir,' batin Salma. Ia memejamkan matanya dan memikirkan hal apa saja, berharap ada satu hal yang membuatnya bisa mengambil sebuah langkah tepat yang tidak akan membuatnya merasa serba salah. Sebab jika ia pergi, bisa saja Arvin datang.

Pikir punya pikir, pikiran Salma pun sampai pada kejadian saat Raya menghancurkan ponselnya, namun pikirannya langsung melompat saat ia membeli ponsel baru bersama Isa, dan ia tersenyum melihat wajah Isa.

'Isa!' pikir Salma.

"Aku akan mengirimkan pesan pada Isa!" ujar Salma dengan mantap.

"Siapa itu Isa?" tanya Gusiana yang tampak bingung.

"Adiknya Arvin?" Nenek Marimar justru terlihat memastikan.

"Ya, Isa adiknya Arvin. Aku akan bertanya kepadanya tentang keberadaan Arvin," ucap Salma.

"Itu ide yang bagus, kau harus mencobanya," kata nenek Marimar.

"Mari berharap pada si Isa ini," ujar Gusiana.

"Sudah?" tanya Gusiana pada Salma.

"Sudah apanya?" Salma bertanya balik, namun matanya masih tetap terfokus pada ponselnya.

"Kau sudah mengirimkan pesan pada Isa?"

"Belum bibi, jangan berisik, aku sedang mengetik."

Karena penasaran, Gusiana pun melihat Salma yang sedang mengetik beserta pesan yang akan dikirimnya ke Isa. Dilihatnya Salma yang mengetik satu persatu huruf dengan jari telunjuk kanannya dengan gerakan yang sangat kaku, kasar dan lambat, ditambah lagi Salma selalu membaca satu kata yang akhirnya selesai diketiknya dulu agar ia tidak memiliki kesalahan dalam pesannya yang bisa saja berakibat fatal.

"Katakan padaku, apa mengetik itu sulit?" tanya Gusiana.

"Sangat sulit mengetik di ponsel bermodel layar sentuh begini, di ponsel lamaku, aku bisa mengetik ratusan kata dalam waktu tiga menit saja, tapi di ponsel ini, tombolnya sangat banyak, satu huruf memiliki tombolnya masing-masing, sedangkan aku sudah sangat terbiasa dengan A, B dan C yang berada di satu tombol, jadi disini aku suka lupa dengan menekan dua kali sebuah huruf, sebab biasanya untuk mendapatkan huruf B, aku harus menekan dua kali tombol nomor dua di ponsel lamaku, dan untuk mendapatkan huruf C aku harus menekan tombol yang sama sebanyak tiga kali, sedangkan disini semuanya hanya perlu satu kali tekan. Tidak apa sebenarnya, ini hanya masalah adaptasi," jawab Salma panjang lebar. Gusiana terlihat bingung dengan jawaban Salma barusan, namun ia hanya mengangguk-angguk agar tidak mengecewakan Salma yang sudah menjelaskan kepadanya tentang sebuah hal yang sama sekali ia tidak mengerti isinya.

"Oh iya, dan soal ponselmu, aku baru sadar kalau kau mengganti ponselmu dengan yang lebih canggih dan mahal. Dari mana kau mendapatkan uang untuk membelinya?" Nenek Marimar bertanya dengan nada penuh selidik.

"Ini ... Isa membelikannya untukku," jawab Salma yang masih mengetik.

"Waaaaah! Baik sekali dia! Aku juga ingin berkenalan dengannya dan minta dibelikan ponsel seperti ini. Salma, katakan padaku, apa ini yang paling canggih? Hm? Apa ini ponsel keluaran terbaru? Aku juga mau memilikinya dari Isa!" ucap Gusiana yang tampak riang.

"Aku tidak tahu soal itu, bibi, memiliki smartphone saja sudah menjadi keberuntungan yang teramat sangat bagiku, tidak peduli kecanggihan dan modelnya," ujar Salma.

"Dimana ponsel lamamu? Kenapa Isa membelikanmu ponsel baru? Dan kenapa kau tidak mengatakannya padaku?"

"Ponsel lamaku sudah hancur, tak sengaja hancur karena sebuah tabrakan kecil antara aku dan seorang anak kecil yang sedang berlari mengejar seekor kucing, dan Isa mengetahui hal itu, jadi dia membawaku ke sebuah mall untuk membeli ponsel ini. Kejadian itu terjadi saat bibi datang, hari dimana aku berkenalan dengan keluarga Dhananjaya, dan ketika aku pulang malam itu, nenek sedang marah, jadi aku yang awalnya ingin menceritakan tentang ponsel ini nadi mundur," jelas Salma.

"Apa?! Dia mengajakmu ke emol?! Maksudku, mall?! Mall?! Mall?! Oh, astaga! Salma! Kenapa kau tidak berpacaran dengan Isa saja? Kalau kau berpacaran dengan Isa, aku bisa pergi ke mall setiap hari!" kata Gusiana.

"Isa akan menikah dua minggu lagi, calon istrinya adalah mantan rekan kerjaku di rumah makan Populer. Mereka berdua baik, dan aku tidak mencintai Isa. Karena itu, bibi harus melupakan segala keinginan bibi itu," papar Salma.

"Tunggu, calon istrinya adalah rekan kerjamu?"

"Ya, jangan bibi pikir dia sama denganku. Dina namanya, dia terlahir di keluarga kaya raya, dia ingin hidup mandiri dengan caranya sendiri, jadi ia merantau ke Jogja dari kampungnya, Pontianak untuk merasakan kerasnya hidup yang sebenarnya. Sesungguhnya aku tidak mengerti betul tentang gadis itu, mungkin setelah dia tidak sibuk lagi aku bisa menanyakan banyak hak tentabg dirinya nanti." Salma akhirnya selesai mengetik.

Baru saja Gusiana akan membuka suara lagi, tiba- tiba ponsel Salma mengeluarkan suara notifikasi yang sangat besar yang mengejutkan mereka bertiga. Sontak saja Salma langsung menutup speaker ponselnya karena ia tidak tahu bagaimaba cara mengecilkan suara tersebut. Dan akhirnya notifikasi itu berhenti. Salma mendapatkan balasan dengan cepat.

"Kenapa suaranya besar sekali?!" tanya nenek Marimar.

"Aku tidak tahu, nenek. Aku tidak pernah mengotak-atiknya, dan entah dimana tombol volumenya, padahal yang kutahu ponsel canggih seperti ini memiliki tombol volume," ucap Salma.

"Huft, lupakan soal itu. Apa itu balasan dari Isa?"

"Sebentar." Salma mengecek notifikasi itu. "Iya."

"Iya? Itu artinya dia mengetik secepat kilat? Bagaimana bisa?" Gusiana terpelongo.

"Ini mustahil," gumam Salma yang juga tidak menyangka kalau balasan Isa yang lebih panjang darinya itu bisa Isa ketik berkali-kaki lipat lebih cepat darinya.

"Apa isinya?" tanya nenek Marimar.

"Isa mengatakan kalau Arvin ada di mansion. Semua orang menungguku dan bibi Gabriela," jawab Salma.

"Itu artinya Arvin tidak akan menjemput kita?" tanya Gusiana.

"Kupikir begitu," ucap Salma.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Semua orang disana sudah menunggu kalian dan brownies-brownies itu. Jangan membuang waktu disini, matahari sudah mulai terlihat jelas, jadi pergilah cepat," suruh nenek Marimar.

"Ya, tapi, kenapa Arvin tidak memiliki inisiatif untuk menjemput kami?"

"Salma cucuku, hal itu bukanlah sebuah perkara besar, sudah nenek bilang kalau setiap orang memiliki pemikiran dan pendapat yang berbeda, kau tidak bisa memaksa Arvin untuk berinisiatif dan memiliki jalan pikiran yang sama denganmu. Sudahlah, lupakan soal itu."

"Baiklah, ayo kita pergi," ajak Gusiana.

Wajah Salma yang tadinya menunjukkan rasa kecemasan, kini berubah menunjukkan rasa kekecewaan, dan kedua perasaannya itu ditujukan pada satu orang yang sama: Arvin.

avataravatar
Next chapter